Saat ini, istilah ‘celana cingkrang’ sedang hangat dibicarakan di kalangan masyarakat Indonesia. Celana cingkrang merupakan sebutan bagi celana panjang yang ujungnya tidak sampai mata kaki. Jenis fesyen ini kerap diidentikkan dengan kelompok tertentu dalam umat Islam, dan bahkan menjadi ciri pembeda antara kelompok tersebut dengan kelompok lain.
Kebalikan dari mengenakan celana cingkrang disebut isbal, yaitu memanjangkan pakaian berupa celana, sarung, jubah, dan sebagainya melebihi mata kaki. Perdebatan tentang hukum isbal tidak hanya terjadi saat ini, namun sudah ada sejak zaman dahulu. Para ulama mazhab empat berbeda pendapat tentang hukum memanjangkan pakaian melebihi mata kaki (isbal).
Pertama, mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab Syafi’i, dan sebagian ulama mazhab Hanbali menyatakan, memanjangkan pakaian melebihi mata kaki hukumnya mubah. Syekh Ibnu Muflih menyebutkan:
وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ، فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
“Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah rahimahullah mengenakan jubah mahal berharga empat ratus dinar, dan beliau menjulurkannya di atas (mendekati) tanah. Dikatakan kepadanya: Bukankah kita dilarang melakukan hal itu? Beliau berkata: Larangan itu untuk orang sombong, dan kita bukan bagian dari mereka” (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syariyyah, juz 3, h. 521).
Sedangkan Syekh Al-Munawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:
(وَالْمُسَبِّلُ إِزَارَهُ) الَّذِي يُطَوِّلُ ثَوْبَهُ وَيُرْسِلَهُ (خُيَلَاءَ) أَيْ بِقَصْدِ الْخُيَلَاءِ بِخِلَافِهِ لَا بِقَصْدِهَا
“Dan orang yang memanjangkan sarungnya, yaitu orang yang memanjangkan pakaiannya dan melepaskannya karena tujuan kesombongan. Berbeda (hukumnya) bagi orang yang memanjangkannya bukan karena tujuan sombong” (Lihat: Muhammad Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, juz 3, h. 436).
Senada dengan para ulama di atas, seorang ulama mazhab Hanbali bernama Ibnu Muflih menuliskan:
جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ
“Memanjangkan sarung, jika bukan bertujuan sombong, hukumnya tidak apa-apa. Dan pendapat ini merupakan dzahir pendapat lebih dari satu ulama mazhab Hanbali” (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syariyyah, juz 3, h. 521).
Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki dan sebagian ulama mazhab Hanbali yang lain, menegaskan bahwa memanjangkan pakaian melebihi mata kaki hukumnya makruh. Syekh Al-Adawi dari Mazhab Maliki mengatakan:
وَالظَّاهِرُ: أَنَّ الَّذِي يَتَعَيَّنُ الْمَصِيرُ إلَيْهِ الْكَرَاهَةُ الشَّدِيدَةُ
“Tampaknya, pendapat yang harus dipilih adalah bahwa memanjangkan pakaian sangat dimakruhkan” (Lihat: Ali bin Ahmad Al-Adawi, Hasyiyatul Adawi, juz 2, h. 453).
Senada dengan ulama mazhab Maliki di atas, seorang ulama mazhab Hanbali bernama Ibnu Qudamah juga menulis:
وَيُكْرَهُ إسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ
“Dimakruhkan memanjangkan gamis (baju kurung), sarung, dan celana” (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 2, h. 298).
Ketiga, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan keharaman memanjangkan pakaian melebihi mata kaki. Syekh Al-Qarafi menjelaskan:
يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ أَنْ يُجَاوِزَ بِثَوْبَيْهِ الْكَعْبَيْنِ
“Haram bagi laki-laki melebihkan kedua pakaiannya melewati kedua mata kaki” (Lihat: Al-Qarafi, Azzakhirah, juz 13, h. 265).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memanjangkan pakaian melebihi mata kaki. Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan sebagian ulama mazhab Hanbali membolehkannya. Sebagian ulama mazhab Maliki, dan sebagian ulama mazhab Hanbali yang lain menyatakan kemakruhannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain mengharamkannya.
Dari ketiga pendapat tersebut, penulis menilai bahwa pendapat yang membolehkan memanjangkan pakaian melebihi mata kaki merupakan pendapat yang kuat. Apalagi, para ulama yang memakruhkan atau mengharamkannya rata-rata berpegangan pada hadits yang mutlak, seperti hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Sesuatu yang berada di bawah kedua mata kaki berupa sarung tempatnya adalah di neraka” (HR. Imam Bukhari).
Sementara, ada hadits-hadits lain tentang permasalahan tersebut yang datang dengan redaksi muqayyad (terbatas), seperti hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
“Allah tidak akan melihat orang yang memanjangkan pakaiannya karena sombong” (HR. Imam Muslim).
Untuk memadukan kedua hadits tersebut, para ulama mendahulukan hadits yang muqayyad atas hadits yang mutlak. Dengan demikian, memanjangkan pakaian melebihi mata kaki tidak diharamkan, jika tidak ada tujuan kesombongan (Lihat: Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, juz 10, h. 263).
Kemudian, ada sebuah hadits riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam menoleh ke Abu Bakar, seraya mengatakan:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّهُ يَسْتَرْخي إِزَارِيْ أَحْيَانًا. فَقَالَ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم: لَسْتَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat kepadanya”. Mendengar hal itu, Abu Bakar bertanya: “Sungguh sarungku terkadang terjulur. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu bukanlah termasuk dari mereka” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Pada hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengecualikan Abu Bakar dari golongan orang yang pada hari kiamat nanti tidak dilihat oleh Allah, sebab mereka memanjangkan pakaiannya karena sombong. Dengan demikian, hadits di atas memberi isyarat bahwa memanjangkan pakaian melebihi mata kaki tidak diharamkan jika tidak ada tujuan kesombongan.
Terakhir, semoga tulisan ini mampu menjadi penyejuk bagi kondisi Indonesia yang beberapa hari ini menghangat akibat isu kontroversial berupa radikalisme, celana cingkrang, jenggot panjang, dan jidat hitam. Wallahu A’lam. []
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar