Selasa, 09 Februari 2021

(Ngaji of the Day) Ushul Fiqh Imam Syafi’i, Sebuah Pengantar Menuju Kemoderatan Berfiqih

Dalam kajian fiqih, kita kenal Imam Syafi’i sebagai salah satu dari mujtahid mutlak sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka dikategorikan sebagai mujtahid mutlak karena mampu berijtihad sendiri melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah.

 

KH Achmad Siddiq dalam bukunya Khittah Nahdliyyah (1980) menyebutkan, mujtahid mutlaq atau mujtahid mustaqil (bebas) yaitu Imam (tokoh agama) yang mampu berijtihad atau ber-istinbath sendiri dari Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menggunakan metode yang ditemukan atau dirumuskannya sendiri dan diakui kekuatannya oleh para tokoh agama (imam) lainnya.

 

Mujtahid mutlak memiliki metode tersendiri dalam berijtihad. Itulah mengapa para pendiri mazhab mempunyai keragaman metode dalam menggali hujjah mereka. Di samping itu, metode dasar hukum ini belum pernah dirumuskan secara konkret oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang sudah merumuskan metode itu menjadi aspek keilmuan baru disebut ushul fiqh.

 

Imam al-Fakhr al-Razi dalam bukunya berjudul al-Imam al-Syafi’i Manaqibuhu wa ‘Ilmuhu mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menuliskan tentang ilmu ushul fiqh, ia juga yang menyusun pembahasan ushul fiqh, mengklasifikasikan bagian-bagiannya, dan menjelaskan tingkatan dalilnya antara yang kuat dan lemah.

 

Selanjutnya, Imam al-Razi menambahkan bahwa para ahli fiqih sebelum Imam Syafi’i telah membicarakan masalah ushul fiqh, mereka ber-istidlal dan berargumentasi. Tetapi mereka tidak mempunyai aturan baku sebagai rujukan untuk mengetahui dalil-dalil syariat, mengetahui metode berargumentasi, dan mengukuhkan dalil yang sama-sama kuat. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i menggagas ilmu ushul fiqh dan meletakkan kaidah-kaidah universal sebagai rujukan untuk mengetahui tingkatan dalil-dalil syar’i.

 

Perumusan ushul fiqh oleh Imam Syafi’i ini dituangkan dalam karyanya bernama al-Risalah. Dalam buku al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabaihi al-Qadim wa al-Jadid (1988) karangan KH Nahrawi Abdussalam, karya al-Risalah ini pertama kali dikarang untuk Abdurrahman bin Mahdi sebelum Imam Syafi’i datang ke Mesir. Akan tetapi, karya ini belum mencakup seluruh pembahasan ushul fiqih mazhab Syafi’i.

 

Ketika beliau pergi ke Mesir, beberapa kitabnya tertinggal, termasuk al-Risalah, sehingga beliau menulis kembali kitab tersebut mencakup revisiannya. Kitab al-Risalah yang beredar kini adalah hasil revisi ketika berada di Mesir. Tidak banyak yang berubah dari versi lamanya, karena Imam Syafi’i hanya meringkas kitab tersebut agar tidak melebar dan tanpa mengurangi esensi ilmu dalam setiap topik pembahasannya. Selain al-Risalah, pemikiran Imam Syafi’i dalam bidang ushul fiqih terdapat juga pada karyanya yang lain, yaitu al-Umm, Ibthal al-Istihsan, dan Jima’ al-Ilm.

 

Pengembaraan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu tidak bisa dianggap hal sepele. Di Makkah, beliau belajar fiqih kepada ahli hadits seperti Muslim bin Khalid al-Zanji (wafat 179 H) dan Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), di sana pula beliau telah menghafal kitab al-Muwaththa. Setelah itu, ia menuju Madinah dan belajar metode fiqih aliran tradisional kepada Imam Malik bin Anas yang dikenal sebagai tokoh mazhab ahli hadis di Hijaz saat berusia 13 tahun.

 

Setelah Imam Malik wafat pada tahun pada 179 H, beliau melanjutkan pengembaraan ke Yaman untuk bekerja sambil menuntut ilmu. Di sana ia mengaji kepada Abu Ayub Mutharrif bin Mazen al-Shan’ani (wafat 190 H) yang menjabat sebagai hakim kota Sana’a Yaman. Kemudian pada tahun 184 H beliau berkunjung ke Irak dan menemukan perbedaan yang signifikan dengan di Hijaz.

 

Kendati kota Baghdad merupakan penganut metode fiqih aliran rasional yang diwariskan dari Abdullah bin Mas’ud. Tokoh yang mengusung aliran ini adalah Imam Abu Hanifah dengan ajaran yang berbeda dengan ahli hadits. Imam Syafi’i belajar fiqih rasional kepada Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, pengikut dan penyebar mazhab Hanafi.

 

Mengenai ushul fiqih Imam Syafi’i, beliau mampu menguasai dengan baik dua metode fiqih rasional dan tradisional, sehingga dua hal ini yang menjadi landasan metode fiqihnya. Melalui pengembaraannya, beliau sampai pada pendapat dan sikapnya sendiri yaitu tidak melampaui batas, sikap yang baik adalah moderat dan mengambil jalan tengah.

 

Beliau menyetujui metode fiqih rasional yang terpusat di Irak dalam menetapkan qiyas sebagai salah satu perbedaan beramal dengan syarat tertentu. Di samping itu, beliau tidak menyetujui metode fiqih rasional dalam hal mendasarkan amalan kepada istihsan, karena hal itu jauh dari tuntutan Al-Qur’an dan hadits, maka dikhawatirkan akan terjebak pada kekeliruan.

 

Begitu juga beliau tidak menyetujui metode rasional yang terlalu selektif memilih dan menerima hadits, karena hadis adalah sumber rujukan kedua dalam syariat Islam, maka untuk menerima hadits cukup dengan syarat hadits ini muttashil (tersambung sanadnya) dan sahih sanadnya.

 

Gagasan Imam Syafi’i tersebut yang diolahnya sebagai jalan tengah menyikapi problematika metodologi ushul di mana para pengikut mazhab rasional dan tradisional sempat mengalami perdebatan panjang. Rumusan ini menjadi pengantar kemoderatan antara kedua perdebatan itu sehingga terbentuk aliran baru bernama mazhab Syafi’i.

 

Kiai Nahrawi Abdussalam mengutip definisi pakar syariat bahwa mazhab adalah sekumpulan pemikiran para mujtahid dalam bidang hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan dalil-dalil terperinci (tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, dan memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan kesatuan yang utuh.

 

Dengan perdebatan panjang mengenai metodologi berfiqih, menjadi acuan berkembangnya diskusi keilmuan syariah. Dengan begitu, tidak perlu bagi kita untuk membuat mazhab dengan metode ijtihad baru, karena para ulama salaf sudah mengembangkan diskursus keilmuan itu selama generasi ke generasi. Alih-alih, semua konsep fiqih sudah disusun rapi melalui para mujtahid mutlak, mujtahid mazhab sampai kepada mujtahid fatwa.

 

Melalui diskusi yang luas, hingga akhirnya pengertian ushul fiqih telah disimpulkan secara singkat oleh Imam Sya’rani yang pendapatnya termaktub dalam buku Bughyah al-Mustarsyidin karangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, yakni kembali kepada tingkatan-tingkatan perintah (amar) dan larangan (nahi) yang telah muncul dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan kembali kepada mengetahui apa saja yang menjadi ijma para ulama, apa saja yang mereka jadikan qiyas, dan apa saja yang mereka kemukakan dari hasil ijtihad melalui proses menyimpulkan pendapat (istinbath).

 

Beliau menambahkan, terhimpun setiap perkara amar dan nahi menjadi dua tingkatan, yaitu ringan dan berat. Barangsiapa yang merasa dirinya lemah pada suatu hukum, maka ia boleh menggunakan pendapat yang memiliki tingkatan ringan, serta sebaliknya apabila ia kuat, maka ia gunakan pendapat yang memiliki tingkatan berat.

 

Itulah sebabnya mengapa para ulama kita di Nahdlatul Ulama lebih memilih pada tradisi taqlid mazhab ketimbang percaya pada slogan ‘kembali ke al-Qur’an dan Hadits’. Selain itu, Kiai Achmad Siddiq sudah merumuskan secara konkret mengenai prinsip kemoderatan NU dalam bidang syariah yang sangat sesuai dengan karakter Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu:

 

Pertama, selalu berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah, dengan menggunakan metode dan sistem yang dipertanggungjawabkan dan melalui jalur-jalur yang wajar. Kedua, pada masalah yang sudah ada dalil teks yang jelas (qath’i) tidak boleh ada campur tangan pendapat akal. Ketiga, pada masalah yang tidak tegas dan tidak pasti (dhanniyyat), dapat ditoleransi adanya perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan prinsip agama.

 

Sikap itu pula yang tertuang pada buku Khittah Nahdlatul Ulama tentang sikap kemasyarakatan NU di mana cerminan sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama.

 

Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem). []

 

*Disarikan dari berbagai sumber:

1. Buku Khittah Nahdliyyah, KH Achmad Siddiq, Balai Buku, 1980.

2. Buku al-Imam al-Syafi’i Manaqibuhu wa ‘Ilmuhu, Imam al-Fakhr al-Raazi.

3. Buku al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabaihi al-Qadim wa al-Jadid, KH Nahrawi Abdussalam, Maktabah Syabab, 1988.

4. Buku Khittah Nahdlatul Ulama seri 02/11/85, Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU.

 

Ahmad Rifaldi. Pegiat Sejarah dan Ketua Alumni Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar