Catur merupakan suatu permainan yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang yang sudah tua. Biasanya, orang bermain catur karena hobi, refreshing, jaga malam, mengikuti perlombaan, atau sekadar untuk mengisi waktu luang.
Saat ini, permainan catur sedang hangat dibahas oleh masyarakat Indonesia, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, khususnya terkait status hukumnya dalam Islam. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa orang yang bermain catur biasanya akan menghabiskan waktu yang relatif lama untuk menyelesaikan satu kali permainan.
Apalagi, bagi orang yang sudah merasakan nikmatnya bermain catur, satu kali permainan terkadang dirasa belum cukup. Akibatnya, dia akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk memenuhi tuntutan keinginannya tersebut. Lalu, bagaimanakah hukum bermain catur dalam Islam?
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang secara jelas dan tegas menerangkan hukum bermain catur. Namun, ada beberapa hadits yang dapat dipahami sebagai dalil pengharaman catur. Hanya saja, menurut ulama yang kredibel, seperti Ibnu Katsir, hadits-hadits tersebut tidak sah untuk dijadikan sebagai dalil. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa permainan catur muncul pertama kali pada zaman sahabat, bukan pada zaman Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wasallam. Maka sangat aneh kalau ada hadits tentang catur. (Lihat: Muhammad bin Ali Assyaukani, Nailul Awthar, juz 8, h. 107).
Baca: Ini Para Pemain Catur di Kalangan Sahabat Rasul dan Tabi’in
Karenanya, terkait hukum bermain catur, para ulama bersepakat pada satu hal, dan berbeda dalam hal lain. Para ulama sepakat akan keharaman permainan catur yang mengandung unsur judi, atau dapat membawa kepada hal yang diharamkan, seperti meninggalkan shalat atau melakukan kebohongan.
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat jika permainan catur dimaksud tidak membawa kepada hal-hal yang diharamkan. Pertama, sebagian ulama mazhab Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa bermain catur hukumnya boleh. Pendapat ini juga merupakan pendapat sebagian besar sahabat dan tabi’in, seperti Abu Hurairah, Said Ibnu Musayyib, Said Ibnu Jubair, Sya’bi, dan Hasan Bashri.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan:
فَإِنَّهُ نَصٌّ عَلَى إِبَاحَةِ لَعْبِ الشِّطْرَنْجِ
“Bahwa hal itu merupakan nash (dalil) atas kebolehan bermain catur” (Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, juz 2, h. 121).
Syekh Abdullah bin Ahmad An-Nasyafi juga menyebutkan:
إِنَّ اللَّعْبَ بِالنَّرْدِ مُبْطِلٌ لِلْعَدَالَةِ بِخِلَافِ الشِّطْرَنْجِ، لِأَنَّ لِلْاِجْتِهَادِ فِيْهِ مُسَاغًا لِقَوْلِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِي بِإِبَاحَتِهِ، وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ أَبِي يُوْسُفَ
“Sesungguhnya bermain dadu membatalkan (menghilangkan) sifat adil, berbeda dengan bermain catur. Sebab, hukum bermain catur merupakan lahan ijtihad, di mana imam Malik dan imam Syafi’i menyatakan kebolehannya. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Yusuf.” (Lihat: Abdullah bin Ahmad An-Nasyafi, Al-Bahrur Raiq, juz 7, h. 154).
Tidak jauh berbeda dengan An-Nasyafi, Syekh Ibnu Qudamah menuturkan:
وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إلَى إبَاحَتِهِ وَحَكَى ذَلِكَ أَصْحَابُهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
“Imam Syafi’i memilih kebolehan bermain catur. Dan para sahabat Syafi’i menceritakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat Abu Hurairah, Said Ibni Musayyib, dan Said Ibni Jubair” (Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 23, h. 178).
Kedua, menurut sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i yang lain, bermain catur hukumnya makruh. Imam Al-Qurthubi menuliskan:
وَقَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ: يُكْرَهُ الشِّطْرَنْجُ وَالنَّرْدُ
“Imam Abu Hanifah berkata: Dimakruhkan bermain catur dan dadu” (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, juz 10, h. 494).
Sedangkan, Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin menuturkan:
اَللَّعْبُ بِالشِّطْرَنْجِ مَكْرُوْهٌ، وَقِيْلَ: مُبَاحٌ لَا كَرَاهَةَ فِيْهِ
“Bermain catur hukumnya makruh. Dan dikatakan: Hukumnya mubah, tidak makruh” (Yahya bin Sharaf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz 8, h. 203).
Ketiga, ulama mazhab Maliki dan ulama mazhab Hanbali menegaskan bahwa bermain catur hukumnya haram. Ini juga merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Salim dan Urwah. Imam Al-Qurthubi menulis:
سُئِلَ – يَعْنِي مَالِكٌ – عَنِ اللَّعْبِ بِالشِّطْرَنْجِ، فَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيْهِ، وَهُوَ مِنَ الْبَاطِلِ
“Imam Malik ditanya tentang hukum bermain catur, beliau menjawab: Tidak ada kebaikan di dalamnya. Ia termasuk hal sia-sia,” (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, juz 10, h. 493).
Seirama dengan Al-Qurthubi, Imam Ibnu Rusyd juga menulis:
سُئِلَ – يَعْنِي مَالِكٌ – عَنِ اللَّعْبِ بِالشِّطْرَنْجِ، فَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيْهِ، وَهُوَ مِنَ الْبَاطِلِ
“Imam Malik ditanya tentang hukum bermain catur, beliau menjawab: Tidak ada kebaikan di dalamnya. Ia termasuk hal batil” (Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Al-Bayan Wat Tahsil, juz 18, h. 436).
Sedangkan, Imam Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali menuturkan:
فَأَمَّا الشِّطْرَنْجُ فَهُوَ كَالنَّرْدِ فِي التَّحْرِيمِ، إلَّا أَنَّ النَّرْدَ آكَدُ مِنْهُ فِي التَّحْرِيمِ. وَذَكَرَ الْقَاضِي أَبُو الْحُسَيْنِ: مِمَّنْ ذَهَبَ إلَى تَحْرِيمِهِ؛ عَلَيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، وَابْنَ عُمَرَ، وَابْنَ عَبَّاسٍ، وَسَالِمًا، وَعُرْوَةَ
“Adapun bermain catur maka hukumnya seperti bermain dadu dalam keharamannya. Hanya saja, bermain dadu lebih diharamkan dibanding bermain catur. Qadhi Abul Husein menyebutkan: Di antara orang yang berpendapat akan keharamannya adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Salim, dan Urwah” (Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 23, h. 178).
Senada dengan Ibnu Qudamah, Syekh Al-Mardawi menerangkan:
اللَّعِبُ بِالشِّطْرَنْجِ حَرَامٌ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ
“Bermain catur hukumnya haram, menurut pendapat yang shahih dari mazhab Hanbali” (Ali bin Sulaiman Al-Mardawi, Al-Inshaf Fi Ma’rifati Al-Rajihi Minal Khilaf, juz 17, h. 333).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum permainan catur yang tidak mengandung unsur haram, dan tidak membawa kepada sesuatu yang haram. Menurut sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, dan beberapa Sahabat serta Tabi’in, hukumnya boleh. Menurut sebagian ulama mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Syafi’i yang lain, hukumnya makruh. Sedangkan menurut ulama mazhab Maliki dan Hanbali, hukumnya haram.
Terakhir, semoga tulisan ini mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat Indonesia terkait hukum bermain catur, dan semoga adanya keanekaragaman pendapat para ulama terkait hukum permainan ini dapat membuat kita semakin dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan. Wallahu A’lam. []
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar