Etika Politik dalam Al-Qur'an (12)
Kedudukan Politik Nabi Muhammad Saw (2)
Oleh: Nasaruddin Umar
Pilihan politik Nabi meninggalkan tradisi politik yang berpola kesukuan (qabiliyyah) ke dalam tradisi politik ummah, apakah itu pilihan pribadi Nabi dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan di Madinah atau pilihan itu atas bimbingan Wahyu? Agak sulit menjawab secara skematis pertanyaan ini karena selain adanya ayat yang menegaskan pola egalitarianisme sebagai antitesa terhadap pola kesukuan juga secara rasional pola kepemimpinan berdasarkan ummah lebih mudah diterima banyak pihak. Memang agak sulit juga kita membedakan atau memila kapasitas Nabi sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai Nabi dan Rasul karena Nabi memang tidak pernah penampilkan sikap birokrasi kearaban di dalam memimpin masyarakat Madinah.
Pola elitis dengan gaya pemimpin kerajaan yang otoriter dan hidup gemerlapan sama sekali tidak pernah tergambar pada diri Nabi. Bahkan sebaliknya Nabi menampilkan etika politik dan pemerintahan yang sangat egaliter, bersahaja, dan penuh keakraban dengan rakyatnya. Ia sendiri tidak pernah menyebut anggota masyarakatnya sebagai rakyat tetapi lebih popular dengan sebutan sahabat. Dengan demikian relasi antara Nabi Muhammad dengan rakyatnya tidak menonjolkan relasi pemimpin dan rakyat tetapi Nabi atau Rasul dengan ummat. Pola relasi yang terakhir ini lebih menonjol sebagai cocab bahasa agama ketimbang vocab bahasa politik. Inilah yang dijadikan alasan kelompok yang memandang otoritas Nabi Muhammad sebagai Kepala Pemerintahan bukan di luar kontek kerasulan, sehingga kebijakan politiknya tidak menjadi hujjah bagi umatnya, melainkan hanya menjadi pertimbangan moral, yang tidak wajib untuk diamalkan.
Berbeda jika dikatakan kapasitas Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul serta sebagai Kepala Negara merupakan satu paket, keseluruhan tindakan dan kebijakannya harus diikuti secara utuh tanpa melakukan pemilahan antara dirinya sebagai Nabi dan Rasul dan sebagai Kepala Pemerintahan Madinah.
Konsekwensinya jika mengatakan Nabi Muhammad sebagai Kepala Pemerintahan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kerasulannya, maka keseluruhan
tindakan fan kebijakan Nabi juga harus dianggap suci dan wajib diikuti umatnya.
Jika Nabi misalnya pernah mengatakan: Al-aimmah min Quraisy (yang menjadi
pemimpin ialah suku Quraisy) maka selama masih ada suku Quraish dalam suatu
masyarakat maka sulit bagi suku lain untuk menjadi pemimpin. Apalagi jika
dihubungkan dengan
Ini membuktikan wa¬laupun kebiasaan semacam itu dikecam Nabi Muhammad masih muncul polarisasi struktur kesukuan lama dalam awal sejarah Islam. Nabi Muhammad sendiri pada dasamya tidak menghendaki kebiasaan itu dipelihara terus. Hal itu bisa dipahami dalam kaitan dengan usahanya untuk me¬ngembangkan kesatuan umat dalam Islam. Jika pengakuan terhadap kelompok kelompok kesukuan itu masih dapat dilihat secara tersurat dalam Piagam Madinah, tetapi bisa dipastikan bahwa hak hidupnya diarahkan secara sistematis dalam rangka kesatuan Islam.
Perdebatan dalam pertemuan itu berjalan cukup seru sampai memerlukan waktu tiga
hari untuk akhirnya me¬netapkan Abū Bakr sebagai kha¬lifah. Golongan Ansar
mengusulkan pemimpin mereka Sa'd b. 'Ubādah untuk diangkat menduduki jabatan
itu. Golongan Muhajirin yang datang kemudian dalam pertermuan berkehendak keras
un¬tuk mewarisi tradisi Nabi Muhammad memelihara kesatuan umat tidak terpecah
dalam kelompok kelompok kabilah; dan ini berarti mereka tidak akan bisa
mewujudkannya jika seorang dari golongan Ansar diangkat menjadi kha¬lifah.
Ternyata di belakang hari tidak seorang pun dari golongan lain mencapai
kepemimpinan puncak, setidaknya sampai kekuasaan 'Abbāsiyah berakhir abad 13 M.
Banyak pertimbangan yang diperdebatkan untuk menentukan siapa yang sepatutnya
diangkat menjadi kha¬lifah. Sebagaimana dimaklumi Abū Bakr terpilih. Golongan
Ansar mengklaim kedudukan itu dengan alasan sebagai pelindung Nabi di tempat
mana akhirnya Nabi menetap sampai akhir hayatnya. Golongan Muhajirin
berpendirian, ini tidak mungkin sebab antara dua kabilah Ansar, Aws dan
Khazraj, sulit mengatasi hubungan internal mereka sen¬diri. Kabilah Quraisy
relatif lebih utuh dan paling mung¬kin menjaga kesatuan umat, karena itu klaim
golongan Ansar selanjutnya untuk mendirikan dua kekuasaan ditolak sidang. Atas
nama golongan Ansar Sa'd b. 'Ubādah menegaskan: "Kalian amīr sendiri dan
kami amīr yang lain". Pihak Muhajirin menegaskan: "Kami amīr dan
kalian wazīr".
Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mengakui secara eksplisit kekuasaan yang
dimilikinya merupakan kekuasaan politik atau kekuasaan kenegaraan; dan
tampaknya Nabi pun tidak terlalu memberi perhatian misi politiknya dalam arti
terbatas untuk menciptakan negara berdaulat. Menurut Ibnu Taymiyyah
kepemimpinan Nabi Muhammad telah menyatu dengan risalah kenabiannya.
Konsekuensi dari pendapat tersebut ialah bahwa kekuasaan politik Nabi tidak
dibatasi wilayah suatu negara saja. Nabi Muhammad ditaati umatnya tidak terbatas
pada suatu wilayah teritorial maupun waktu. Akan tetapi dalam kenyataannya
ketika Nabi Muhammad wafat tahun 623 M. adalah seorang Nabi dan penguasa
politik yang efektif atas sebagian besar se¬menanjung Arabia, dan dibalik itu
Nabi pun ditaati umat yang tidak terbatas wilayah maupun waktunya. Hanya saja
soal yang kedua ini ditegaskan berulang kali dalam ber-bagai kesempatan, sedang
soal yang pertama tidak sedikitpun pernah disinggung.
Sekalipun soal pertama tidak disinggung secara tegas, namun terhadap soal ini
para sahabat menanggapinya sebagai realitas historis, bahwa kekuasaan politik
itu mesti ada dan perlu dilestarikan dengan tujuan untuk mengatur kehidupan
bersama serta menjaga dan menegakkan agama. Sedang soal kedua, Nabi Muhammad
sebagai rasul Allah, diterima oleh sahabat sebagai rahmat karena diangkat
Tuhan.
Sementara itu perkembangan Islam yang pesat menimbulkan berbagai persoalan yang
mesti dihadapi. Bermula dari soal politik mengenai siapa yang hendak dipilih
menggantikan Nabi kemudian berkembang sampai munculnya al fitnah al kubrā
(perang saudara) yang berpuncak dengan kematian dua orang kha¬lifah, 'Uśmān b.
'Affān dan 'Alī b. Abi T$ālib. Masalah sentral
yang berkembang kemudian ialah soal dosa besar, kafir dan mukmin, yang kemudian
melahirkan berbagai konsep dan pemikiran dalam bidang politik, hukum dan,
teologi atau kalām. Akan tetapi dalam soal politik, menurut Al-Syahrastani,
terjadi perselisihan yang paling besar. "Tidak pernah terjadi pedang
terhunus dan darah mengucur dalam sejarah perselisihan keagamaan seperti yang
terjadi dalam soal keagamaan yang berkaitan dengan politik perebutan
kekuasaan". Seiring dengan itu kajian bidang politik memperoleh perhatian
yang cukup besar dalam perdebatan ilmu kalām, kajian politik menjadi bagian dari
kajian kalām. Tidak sedikit buku yang membahas ilmu kalām menempatkan kajian
politik sebagai bagian penting dari buku itu. Contoh klasik dari fenomena ini
ialah karya Asy'ari Maqālāt Al Islāmiyyīn wa Ikhtilāf Al Mushallīn sebagai buku
kalām yang membahas panjang lebar perselisihan pendapat dalam bidang politik,
demikian pula karya Al-Gazali Al Iqtishād fī Al I'tiqād.
Dalam sejarah Islam kajian politik pada mulanya dilakukan golongan syi'ah
sebagai bagian dari konsep mereka mengenai imāmah, bahkan ilmu ini pun kemudian
diberi nama itu. Tetapi karena konsep imāmah golongan syi'ah terkait erat
dengan konsep teologi, maka pembahasannya pun termasuk bagian ini. Ke dalam
bidang kalām inilah perdebatan centang perentang berlangsung antara berbagai
golongan mazhab, antara syī'ah, khawārij, mu'tazilah dan lain lain. Sementara
mereka tenggelam dalam perdebatan yang melelahkan, golongan ahli hadis tersisih
dari kancah dan mereka lebih sibuk menekuni studi sumber pokok agama dengan
memilah milah hadis untuk disusun sedemikian rupa sehingga ditemui hadis yang
benar dan sahih. Bahkan mereka untuk waktu tertentu lamanya tidak menyenangi
dan menghindari pembahasan kalām. Al Rāzī menyebutkan dalam karyanya mengenai
biografi Al-Syāfi'ī yang mengatakan "Hati hatilah Anda dalam kajian kalām.
Aku melihat para ahli mereka saling mengafirkan satu terhadap yang lain. Aku
pun melihat para ahli hadis saling menyalahkan. Namun yang kedua ini lebih
ringan daripada saling mengafirkan".
Hasil studi hadis kemudian melahirkan hadis hadis imāmah yang dibukukan dalam
koleksi mereka. Bukhāri menyusun hadis ini pada bab kitāb al ahkām, sementara
Muslim dalam kitāb al imārah, dan ahli hadis lain dengan berbagai variasi
menyusun hadis hadis temuan mereka dalam bab al khilāfah fi al-Quraisy, bab istikhlāf
wa tārkih dan lain lain. Kajian politik yang dilakukan mazhab sunni muncul
belakangan sejalan dengan kemunculan mazhab ini sebagai peneguhan kembali
pemikiran yang dianut para sahabat sebelumnya. Dari mereka inilah kemudian
lahir pendekatan baru dalam bidang politik melalui pendekatan fikih, pembahasan
tentang imāmah memperoleh wadah baru sebagai bagian dari kajian fikih.
Al-Syāfi'i merupakan pelopor pendekatan ini ketika untuk pertama kalinya sebuah
buku fikih yang ditulisnya Al Mabsūth menguraikan sebuah bab tentang imāmah
dalam kaitannya dengan upaya pelembagaan hukum Islam. Dari Al-Syāfi'ī ini pula
masalah imāmah memperoleh dasar baru sebagai akibat dari penemuan suatu teori
ushūl al fiqh yang dikembangkan untuk menyusun ilmu fikih berupa ijmā'.
Di tengah kemelut perdebatan keagamaan yang kemudian melahirkan berbagai mazhab
dan kelompok itu, suatu upaya pembenaran dilakukan dengan memanipulasi hadis.
Riwayat hadis disusun sedemikian rupa sehingga suatu pendapat mazhab memperoleh
pembenaran dari hadis tersebut. Keadaan ini dirasakan sangat tidak adil.
Terobosan yang dilakukan Al-Syāfi'ī untuk mencari pemecahan ialah bahwa suatu
kebenaran agama lebih dekat dilihat dari kon-vensi yang hidup di tengah
masyarakat sahabat daripada hadis hadis yang berdiri sendiri terlepas dari
konteks sosiologis. Realitas yang hidup dan diterima sebagai suatu yang berlaku
di tengah masyarakat sahabat lebih dapat diterima sebagai sumber hukum Islam
daripada hadis yang ternyata tidak pernah berlaku di zaman sahabat itu. Dari sinilah
kemudian Al-Syāfi'ī merumuskan teori ijmā' dan menempat¬kannya sebagai salah
satu sumber pokok hukum Islam. Dan sejak saat itu kajian politik memperoleh
dasar baru, tidak semata mata merujuk kepada pertimbangan hadis yang ternyata
disisipi kepalsuan dan fanatisme mazhab, tetapi dipertimbangkan pula dari fakta
sosial yang hidup di tengah masyarakat sahabat.
[]
DETIK, 03 Oktober 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar