Setelah kita tahu bahwa roda kursi roda dan bagian bawah tongkat tidak selalu najis, lalu timbul pertanyaan berikutnya, yaitu: Apakah dalam konsep fiqih diperbolehkah membawa masuk kursi roda atau tongkat yang roda atau ujungnya hanya kotor (tidak sampai najis) ke dalam masjid dengan alasan memudahkan penyandang disabilitas?
Sudah menjadi kesepakatan seluruh ulama bahwa barang yang najis dilarang untuk dibawa masuk ke masjid. Adapun barang yang kotor saja tetapi tidak sampai najis, misalnya berdebu, maka untuk membawanya ke dalam masjid tetaplah wajib dibersihkan terlebih dahulu karena dikhawatirkan mengotori masjid. Sebab meskipun hal itu suci, yang lebih diprioritaskan ialah kebersihan rumah Allah subhanahu wata’ala. Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan:
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوا: الأَكْلُ فِي الْمَسْجِدِ مُبَاحٌ مَا لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَيْهِ تَقذِيْرُ الْمَسْجِدِ كَأَكْلِ العَسَلِ وَالسَّمَنِ، وَكُلِّ مَا لَهُ دُسُوْمَةٌ وَإِلَّا حُرِمَ، لِأَنَّ التَّقْذِيْرَ الْمَسْجِدَ بِشَيْئٍ مِنْ ذَلِكَ وَنَحْوِهِ حَرَامٌ وَإِنْ كَانَ طَاهِرًا
“Para ulama Syafi'iyyah mengatakan: makan di masjid itu diperbolehkan selama tidak berakibat mengotori masjid, misalnya makan madu, minyak dan segala sesuatu yang berlemak. Bila tidak demikian, maka haram sebab mengotori masjid semua hal tersebut adalah haram meskipun suci.” (Abdurahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, [Bairut: Dar al-Arqam, tt], I: 204)
وَمِنْ ثَمَّ أَطْلَقَ الْمُصَنِّفُ وَغَيْرُهُ وُجُوبَ الْإِنْكَارِ عَلَى فَاعِلِهِ فِيهِ وَعَلَى مَنْ دَلَّكَهَا بِأَسْفَلِ نَعْلِهِ الْمُتَنَجِّسِ أَوْ الْقَذَرِ إنْ خَشِيَ تَنْجِيْسَ الْمَسْجِدِ أَوْ تَقْذِيرَهُ.
“Dari hal itu pengarang memutlakkan kewajiban inkar (menolak) atas pelakunya di dalam masjid dan atas orang yang hanya menggosok bagian bawah sandalnya yang terkena najis atau kotoran ketika dikhawatirkan menajiskan masjid atau mengotorinya.” (Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, [Bairut: Daru Ihya` at-Turats al-‘Arabi, tt], II: 164)
وَيَحْرُمُ إدْخَالُ النَّجَاسَةِ، وَلَوْ جَافَّةً وَيَحْرُمُ تَقْذِيرُهُ، وَلَوْ بِالطَّاهِرَاتِ كَإِلْقَاءِ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ
"Diharamkan memasukkan najis ke dalam masjid meskipun kering dan diharamkan mengotorinya meskipun dengan barang yang suci semisal dengan cara melemparkan air yang sudah dipakai bersuci" (Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, [Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1996 M], I: 546).
Ketentuan ini berasal dari sabda Nabi Muhammad ﷺ berikut:
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ(رواه مسلم)
“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak layak untuk kencing ini dan tidak juga untuk kotoran. Sesungguhnya Masjid itu hanya untuk berdzikir kepada Allah, shalat dan membaca Al-Qur’an.”
Jadi, bagi penyandang disabilitas yang membawa barang-barang tersebut ke masjid diharuskan membersihkan dahulu semua bagian kotornya sebisa mungkin, sama dengan seluruh barang kotor lainnya. Sebab ini hanya kotoran, bukan najis, maka tak harus memakai air namun bisa memakai media lain seperti tisu atau kain lap. Ketika sudah bersih, barang-barang tersebut bisa leluasa dibawa beraktivitas di dalam masjid.
Ketentuan yang sama juga berlaku bagi protese (alat pengganti anggota tubuh, misalnya kaki buatan). Apabila nyata-nyata terdapat najis di bagiannya, maka wajib disucikan terlebih dahulu tanpa perlu dilepaskan dari tubuh. Cara penyuciannya dapat menggunakan air dalam botol sehingga tidak menyulitkan. Apabila tidak najis tetapi hanya kotor, maka cukup dilap saja agar tak mengotori masjid. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar