Kamis, 04 Februari 2021

Zuhairi: Politik Vaksin di Timur-Tengah

Politik Vaksin di Timur-Tengah

Oleh: Zuhairi Misrawi

 

Ketersediaan vaksin menjadi isu sentral dan mondial, termasuk di kawasan Timur-Tengah. Sebab, vaksin diyakini dapat menjadi solusi untuk mengembalikan masyarakat pada kehidupan normal, sebagaimana hari-hari sebelumnya yang meniscayakan kita berbaur dan bertukar canda secara bebas. Di Timur-Tengah, isu ketersediaan vaksin juga menjadi isu politik yang mencuat ke permukaan, yang sementara ini dapat menggambarkan peta geopolitik kawasan yang selalu bergejolak itu.

 

Politik vaksin menggelinding di saat Iran menolak vaksin buatan Amerika Serikat dan Inggris. Ayatullah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran, menyatakan secara terbuka menolak produk vaksin dari dua negara yang selama ini dikenal mempunyai intensi buruk terhadap Iran. Pasalnya, pada tahun 80-an dan 90-an, Iran mempunyai pengalaman buruk dengan Perancis yang dikenal dengan "skandal donor darah". Saat itu donor darah yang disuplai ke Iran di dalamnya ada konten HIV, yang meninggalkan trauma ketidakpercayaan Iran terhadap negara-negara Barat hingga saat ini.

 

Sikap Ayatullah Khamenei tersebut bukan tanpa alasan. Sejak revolusi Islam Iran pada tahun 1979, negeri kaya minyak dan gas itu selalu mendapatkan tekanan dari negara-negara Barat, khususnya AS dan Inggris melalui embargo ekonomi, militer dan politik. Iran memilih untuk bekerja sama dengan China dan Rusia sebagai mitra strategis di kawasan, yang selama ini dikenal lebih bisa dipercaya daripada AS dan Inggris.

 

Sebenarnya era Obama menjadi harapan baru tumbuhnya normalisasi AS dan Iran melalui kesepakatan nuklir. Namun, normalisasi tersebut tidak berlangsung lama, karena Donald L Trump memilih untuk membatalkan kesepakatan nuklir dan memusuhi Iran, sebagaimana kebijakan AS pada masa-masa sebelumnya. Bahkan, AS di masa kepemimpinan Trump membangun aliansi strategis Israel, Arab Saudi, dan negara-negara Arab Teluk untuk memusuhi dan mengucilkan Iran di kawasan Timur-Tengah.

 

Sikap Iran menolak vaksin produksi AS dan Inggris sebagai protes keras atas penjajahan yang dilakukan selama pandemi dalam setahun terakhir. Kita tahu, Iran merupakan negara di kawasan yang menghadapi pandemi dengan berbagai dampaknya yang sangat berat, khususnya dari segi ekonomi. Embargo AS dan Inggris yang berlangsung lama terhadap Iran menjadikan situasi semakin tidak mudah untuk memulihkan keadaan. Tidak ada niat baik dari kedua negara tersebut untuk menjadikan pandemi sebagai momen normalisasi dengan Iran dalam rangka menunjukkan itikad kemanusiaan, sebagaimana selama ini digembar-gemborkan oleh mereka.

 

Iran tetap berdiri tegak dan kokoh menentang penjajahan kedua negara tersebut, termasuk menolak vaksin produk mereka. Iran terus mengencangkan ikat pinggang dengan membangun solidaritas warga dan kepercayaan terhadap spirit revolusi. Iran terus berjuang untuk membuat vaksin mandiri di tengah embargo, yang di dalamnya juga embargo sektor kesehatan, termasuk obat-obatan.

 

Kabar teranyar, Iran mulai uji klinis atas vaksin yang diproduksi mereka. Jika ini berhasil, maka akan menjadi kebanggaan tersendiri, karena dapat menunjukkan kedaulatan Iran dalam sektor kesehatan. Embargo rupanya tidak menyulutkan semangat Iran dalam terus berkarya dan membuktikan eksistensi mereka.

 

Dalam masa darurat ini, Iran akhirnya memilih Rusia sebagai mitra strategisnya untuk ketersediaan vaksin. Muhammad Javad Zarif menegaskan, bahwa pihaknya telah menjalin kerja sama dengan Rusia untuk produksi vaksin Sputnik V, yang merupakan salah satu kebanggaan Rusia. Sebelumnya, Palestina juga telah memastikan vaksin Sputnik V akan menjadi vaksin bagi tenaga medis, orang tua, dan mereka yang masuk dalam katagori rentan.

 

Sikap Iran tersebut membuktikan betapa secara pelan-pelan akan terbentuk aliansi politik baru, yang dapat menunjukkan semakin kuatnya pengaruh Rusia di kawasan Timur-Tengah. Suriah juga dikabarkan akan menggunakan vaksin Rusia, yang juga semakin menegaskan peta geopolitik di kawasan.

 

Sebelumnya Turki telah memastikan vaksin Sinovac produksi China sebagai pilihan vaksinasi untuk menciptakan imunitas bagi warganya. Recep Tayyib Erdogan, Presiden Turki, secara terbuka menjadi sosok pertama yang divaksinasi dengan menggunakan produksi China tersebut. Hal tersebut juga dapat menggambarkan peta geopolitik di kawasan, yang menunjukkan keengganan Turki untuk menggunakan vaksin produk AS dan Inggris.

 

Erdogan lebih percaya pada vaksin produksi China yang selama ini menjadi mitra strategis di saat-saat sulit. Tidak hanya itu, Suriah juga sedang menjalin kerjasama untuk memastikan ketersediaan vaksin bagi warganya, dengan menggandeng China sebagai mitra strategisnya. Uniknya, Uni Emirat Arab juga memilih vaksin Sinopharm yang juga produksi China dengan efikasi yang mencapai 86%. Bahkan Sinopharm sekarang menjadi salah satu vaksin primadona yang akan menjadi salah satu kandidat vaksin mandiri yang akan digunakan di negeri kita.

 

Arab Saudi berbeda dengan Iran, Palestina, Turki, dan Uni Emirat Arab dalam hal vaksin. Sebab Arab Saudi memilih Pfizer dan Moderna dari Amerika Serikan dan AstraZeneca dari India. Belum ada tanda-tanda dari Arab Saudi akan menggunakan vaksin produksi China dan Rusia. Sikap Arab Saudi tersebut dapat menggambarkan upaya negeri kaya minyak itu untuk membangun normalisasi dengan AS di bawah kepemimpinan Biden, mengingat kemungkinan terjadinya perubahan kebijakan politik luar negeri AS di kawasan.

 

Apapun, pemandangan di atas dapat menggambarkan betapa ketersediaan vaksin di kawasan Timur-Tengah telah menjadi isu politik yang juga dapat menjelaskan peta geopolitik yang akan terjadi saat ini dan masa-masa yang akan datang. Meskipun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan yang signifikan di kawasan, mengingat AS di bawah kepemimpinan Biden akan lebih ke tengah dengan membangun kembali diplomasi politik yang bersifat dua arah dalam rangka membangun kembali keseimbangan politik. []

 

DETIK, 29 Januari 2021

Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Muslim, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar