Social distancing atau pembatasan sosial melalui kebijakan lockdown, karantina daerah, dan pembatasan sosial berskala besar merupakan cara pencegahan penyebaran Covid-19 yang disarankan tenaga medis. Jaga jarak fisik untuk pencegahan bahkan merambat pada masalah paling privat, yaitu hubungan seksual.
Informasi terkait liburan hubungan seksual sama sekali di musim penyebaran
virus ini menyebar di grup-grup media sosial. Imbauan libur hubungan seksual
ini datang bukan dari tenaga medis, tetapi dari Qurratul ‘Uyun, kitab kuning cukup populer yang
membahas seputar adab perkawinan.
Kitab yang tidak asing di lingkungan pendidikan pesantren ini menyatakan bahwa
musim, udara, dan kondisi kesehatan masyarakat patut menjadi pertimbangan dalam
hubungan seksual suami dan istri.
ولما
كان المطلوب تقليل الجماع في الصيف والخريف وتركه البتة وقت فساد الهواء والأمراض
الوبائية نبه على ذلك بقوله "قلل من
الجماع في المصيف * وحالة الأمراض والخريف"
Artinya, “Ketika tuntutan untuk mengurangi intensitas hubungan seksual pada musim panas dan musim rontok, dan meninggalkan hubungan seksual sama sekali di waktu udara rusak memburuk dan penyebaran wabah penyakit, penyair mengingatkan, ‘Kurangi hubungan seksual pada musim panas * dan penyebaran wabah penyakit, dan musim rontok,’” (Lihat Kununul Idris Al-Hasani, Qurratul Uyun bi Syarhi Nazhami Ibni Yamun, [Jakarta, Darul Hikmah: tanpa tahun], halaman 68).
Tanpa penjelasan apapun, penulis kitab ini menyarankan agar masyarakat
mengurangi aktivitas hubungan seksual pada musim panas dan menghentikan sama
sekali untuk sementara aktivitas hubungan seksual pada saat wabah penyakit.
وينبغي
أن يقلل منه في الصيف والخريف ويتركه البتة في وقت فساد الهواء والأمراض الوبائية
اهـ فمراد الناظم بالتقليل منه في حالة الأمراض الترك بالكلية مجازا كما لا يخفى
Artinya, “Seseorang seyogianya mengurangi itensitas hubungan seksual pada musim
panas dan musim rontok serta meninggalkannya sama sekali pada saat kualitas
udara rusak memburuk dan penyebaran wabah penyakit. Yang dimaksud penyair
dengan ‘pengurangan intensitas hubungan seksual pada saat penyebaran wabah
penyakit’ adalah meninggalkannya sama sekali secara majas sebagaimana tiadanya
kesamaran makna.” (Lihat Al-Hasani, Qurratul
Uyun: 68).
Tampaknya, kita dapat menduga beberapa penjelasan atas imbauan tersebut. Kita
dapat menduga bahwa kualitas udara yang buruk juga dapat merusak kualitas
hubungan seksual. Sedangkan imbauan untuk menghentikan aktivitas seksual pada
masa wabah penyakit diduga dapat menyebabkan penularan virus yang sedang
mendera masyarakat melalui hubungan intim.
Imbauan yang bersifat larangan ini sebenarnya tidak ditemukan secara langsung
dalam agama. Kita hanya menemukan larangan aktivitas seksual terkait dua hal,
yaitu situasi kesucian perempuan dan organ vital/kemaluan yang diperbolehkan
secara syar’i sebagaimana keterangan Surat Al-Baqarah ayat 222 berikut ini:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah
kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhi wanita di waktu haidh;
janganlah kamu mendekati mereka hingga mereka kembali suci. Jika mereka telah
suci, maka datangilah mereka dari (kemaluan depan) jalan yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri,” (Surat Al-Baqarah ayat 222).
Meski tidak ditemukan dalil secara sharih yang melarang aktivitas seksual pada
saat wabah penyakit, ulama fiqih menyatakan larangan hubungan seksual di mana
salah satu pasangan mengidap penyakit menular dan berbahaya karena dapat
memudharatkan pasangannya.
Oleh karena itu, ulama fiqih tidak memasukkan penolakan hubungan seksual oleh
istri atas ajakan suaminya yang terdampak wabah penyakit menular sebagai
tindakan nusyuz atau kedurhakaan yang dapat menghilangkan hak-hak istri.
Sejauh kepastian medis menyebutkan bahwa pasangan suami dan istri terbebas dari wabah penyakit menular, tidak ada larangan syar’i atas aktivitas hubungan seksual keduanya. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar