Senin, 15 Februari 2021

Buya Syafii: Chomsky, Biden, dan Palestina

Chomsky, Biden, dan Palestina

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Siapa yang tidak kenal Noam Chomsky? Dalam usia 92 tahun, dia masih garang dan galak dalam makna yang sangat positif. Chomsky adalah pengkritik yang paling keras terhadap politik luar negeri Amerika yang imperialistik, tidak peduli siapa pun presidennya, yang dia lawan atau yang didukungnya.

 

Chomsky adalah di antara intelektual Yahudi kelas dunia yang anti-Zionisme. Simpatinya kepada penderitaan rakyat Palestina sudah dikenal publik secara luas. Ayahnya, Dr William Zez Chomsky, dan ibunya, Elsie Simonofsky, dari Ukraina hijrah ke Amerika pada 1913 untuk kemudian jadi warga negara di sana.

 

Saya tidak tahu mengapa Panitia Hadiah Nobel tidak menganugerahkan Nobel Prize kepada Chomsky. Sumbangan pemikirannya untuk pencerahan kemanusiaan sungguh luar biasa, dari sisi mana pun orang menilainya. Keberaniannya menyuarakan kewarasan publik sulit kita cari tandingannya.

 

Chomsky benar-benar manusia merdeka. Usia sangat lanjut tidak menyurutkan perhatiannya untuk membela kebenaran dan keadilan sebagaimana yang dipahaminya. Beberapa waktu yang lalu saya telah mengutip pendapat Chomsky tentang Presiden Donald Trump yang disebutnya sebagai penjahat terburuk dalam sejarah kemanusiaan.

 

Pilihan dan dukungan Chomsky kepada Joe Biden adalah untuk mencegah Trump agar segera hengkang dari Gedung Putih, bukan karena punya harapan besar kepada kepemimpinan presiden baru ini. Inilah komentar Chomsky: ”Biden’s an empty vessel. I don’t think he has any firm principles”/Biden adalah bejana kosong. Saya tidak menilainya punya prinsip-prinsip yang kokoh (lih. wawancaranya via Zoom dengan wartawan Jotam Confino dari koran Israel, Haaretz tertanggal 9 November 2020 di bawah judul: ”Noam Chomsky: ’White Supremacy Is a Deep Principle in U.S. Society—Jews Are Familiar With That’.”

 

Istilah ’White Supremacy’ perlu saya jelaskan dan mengapa orang Yahudi kenal betul dengan istilah ini. Di sini terdapat kesejajaran dengan prinsip yang dianut oleh masyarakat Amerika, sebagaimana Chomsky membacanya.

 

Kelompok Yahudi Zionis terutama membanggakan dirinya sebagai manusia terpilih karena itu mereka menganut filosofi ”racist supremacy” (keunggulan dan kecongkakan ras/suku bangsa). Suku bangsa lain harus berada di bawah, sebuah sikap yang membuat seorang Adolf Hitler kebakaran jenggot sehingga diktator Jerman ini ingin menghabisi suku bangsa Yahudi ini.

 

”White supremacy” (keunggulan dan kecongkakan golongan kulit putih), menurut Chomsky, merupakan suatu ”deep principle” (prinsip yang dalam) bagi masyarakat Amerika. Donald Trump telah memanfaatkan fenomena ini untuk kepentingan politiknya sehingga bisa terpilih jadi presiden Amerika Serikat yang ke-45.

Kepercayaan kepada konsep keunggulan warna kulit ini ternyata masih kuat dalam masyarakat Amerika. Coba bayangkan masih ada 70 juta rakyat Amerika dalam pilpres yang lalu memilih Trump, sebuah jumlah yang tidak kecil. Bagi golongan ini apakah Trump seorang penjahat atau seorang penipu, tidak peduli.

 

Kecongkakan si kulit putih ini memang telah membunuh akal sehat dan pertimbangan jernih dalam membaca peta perubahan sosial. Dalam pada itu sampai batas tertentu, mereka yang berbangga sebagai keturunan nabi dan menganggap dirinya lebih utama dan lebih unggul dari yang lain sesungguhnya juga mengidap penyakit kecongkakan ini.

 

Al Quran dalam surat Al-Hujurât Ayat 13 dengan tegas mengatakan: ”Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah kamu yang paling bertakwa.” Prinsip egalitarian ini sering dikubur ke bawah debu sejarah oleh mereka yang berlindung di balik kebanggaan semu atas nama agama.

 

Celakanya, sebagian umat Muslim juga mau membeli barang dagangan palsu ini. Inilah yang saya istilahkan sebagai bentuk ”perbudakan spiritual” yang merusak martabat manusia sebagai makhluk merdeka. Noam Chomsky adalah di antara intelektual dunia yang konsisten mempertahankan kemerdekaan pribadi ini, apa pun risiko yang harus dihadapi.

 

Dukungan Chomsky terhadap Presiden Barack H Obama, misalnya, bukanlah tanpa reserve. Dalam wawancara di atas, Chomsky melihat kelemahan Obama karena tidak berdaya menghadapi Israel. Bahkan, dinilai sebagai sangat pro-Israel: ”Contrary to what many Israelis think, Obama was the most pro-Israel president prior to Trump” (Berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh banyak orang Israel, Obama adalah presiden yang sangat pro-Israel sebelum Trump).

 

Lalu, bagaimana nasib rakyat Palestina di bawah Biden? Apakah akan ada setitik harapan untuk memberi tekanan kepada Israel?

 

Chomsky tidak percaya akan keberanian Biden: ”Ada harapan bagi rakyat Palestina, tetapi bukan terletak di tangan Biden…. Ia terletak pada pendapat publik di Amerika Serikat, yang tidak mungkin ditindas untuk selamanya. Jika Anda menengok 20 tahun ke belakang, dukungan terhadap Israel datang dari kaum demokrat liberal. Sekarang sedang bergeser kepada kelompok Kristen Penginjil (evangelicals) dan kaum ultranasionalis. Dan, dukungan terhadap rakyat Palestina sedang tumbuh di kalangan kaum liberal—terutama golongan muda. Cepat atau lambat, semuanya itu mungkin akan memp]engaruhi kebijakan.”

 

Bacaan Chomsky ini tentang perubahan sikap anak muda Amerika terhadap masalah Palestina memancarkan sedikit cahaya untuk suku bangsa yang sudah lebih dari tujuh dasawarsa memperjuangkan hak kemerdekaannya yang ditindas Israel.

 

Terlepas dari ketidakkompakan antara faksi Fatah dan faksi Hamas, penderitaan rakyat Palestina harus menjadi agenda kemanusiaan bagi manusia sejagat. Chomsky adalah salah seorang tokoh yang berada di garis depan dalam membela hak-hak dasar bangsa Palestina ini.

 

KOMPAS, 3 Februari 2021

Ahmad Syafii Maarif | Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar