Rabu, 24 Februari 2021

(Ngaji of the Day) Hak Petani Penggarap saat Perjanjian Musaqah Batal

Akad musaqah dapat rusak karena banyak hal. Adakalanya akad rusak karena pihak pemilik kebun terlalu ketat memberikan persyaratan kepada petani penggarap. Adakalanya juga, rusaknya akad disebabkan karena unsur keteledoran petani penggarap yang tidak bisa ditolerir oleh pemilik kebun sebab dharar (kerugian) yang ditimbulkannya.


Semua itu dapat terjadi dalam perjalanan akad dan masing-masing memiliki kriteria menurut adat praktik yang pernah dilakukannya.


Yang menjadi pertanyaan adalah bila terjadi rusaknya akad, lantas apa yang bisa didapat oleh petani penggarap dari hasil kerjanya selama masa masih berlangsungnya akad hingga detik perusakan akad itu terjadi? Inilah fokus kajian kitta pada tulisan ini.


Jika kita tilik dari waktu terjadinya keputusan perusakan akad musaqah, perusakan itu dapat terjadi kapan saja.


Secara umum, perusakan itu dapat terjadi pada tiga waktu yang berbeda, yaitu: 1) waktu sebelum berjalannya kerja (qabla syuru’il’amal), dan 2) waktu di pertengahan menggarap (ba'da syuru'il amal).


Perusakan Akad sebelum Kerja (qabla syuru’il’amal)

Ketika akad musaqah rusak akibat tidak ditemuinya kesepakatan antara pemilik lahan dan petani penggarap, atau karena perbedaan persepsi, maka hanya ada satu ketentuan yang disepakati dalam hal ini oleh para fuqaha yaitu pembatalan akad. Sifat dari pembatalan ini adalah ‘wajib’ segera sebelum terjadinya kerja.

 
إذا وقعت المساقاة فاسدةً‏,‏ واطّلع على الفساد وقبل الشروع في العمل وجب فسخها هدراً بلا شيء يجب على المالك أو العامل‏,‏ لأنّ الوجوب أثر للعقد الصّحيح ولم يوجد


Artinya, “Saat akad musaqah rusak, dan petani penggarap atau pemilik lahan melihat adanya unsur yang menyebabkan adanya fasad, dan bila hal itu terjadi sebelum pekerjaan menggarap dilakukan, maka wajib hukumnya melakukan pembatalan akad, segera tanpa adanya tendensi lainnya, yang berlaku atas pemilik lahan dan petani penggarapnya. (Mengapa?) Karena yang wajib didapat sebagai konsekuensi lahirnya akad adalah akad tersebut harus bersifat shahih, tetapi hal ini tidak bisa disepakati oleh keduanya,” (Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz XXXIX, halaman 140).


Pembatalan akad saat tidak ditemui kesepakatan yang berlaku atas kedua pemilik lahan dan petani penggarap, dengan syarat sebelum berlangsungnya pengelolaan, adalah bersifat wajib segera diputuskan.


Alasan yang dibangun oleh fuqaha adalah tujuan utama dari berlangsungnya akad adalah harus shahih. Syarat sahihnya akad adalah manakala kedua belah pihak menemui kesepakatan. Selain itu, dalam syarat yang shahih, tidak dikhawatirkan timbulnya sengketa atas pekerjaan dan bagi hasil di belakang harinya antara pemilik lahan dan petani penggarapnya. 


Perusakan Akad setelah Kerja (Ba'da Syuru'i al-Amal)

Perselisihan yang kerap terjadi adalah perselisihan di tengah masa menggarap. Sedikit di antaranya juga mengakibatkan kerusakan akad antara kedua pihak petani penggarap dan pemilik kebun. Bila hal ini terjadi, umumnya permasalahan itu hadir berkaitan dengan persoalan: 1) pihak yang melanjutkan akad sampai masa produksi buah itu tiba, 2) bagian dari amil pertama yang akadnya dibatalkan, dan 3) bagian dari pemilik lahan.


Ulama kalangan Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa saat terjadi kerusakan di tengah akad, maka yang wajib diterima oleh petani penggarap pertama, adalah ujrah mitsil (upah standar pekerja kebun di daerahnya). Setelah menerima ujrah mitsil ini, otomatis dia tidak berhak lagi atas hasil panen yang didapat. Hasil panen sepenuhnya menjadi hak milik dari pemilik lahan dan petani penggarap yang melanjutkannya. Berapa bagian yang diterima petani penggarap (an-natij) yang melanjutkan ini? Sudah barang tentu bagiannya adalah sesuai dengan kesepakatan yang dibangun antara pemilik lahan dan petani penggarap pertama.


Cara menghitung ujrah mitsil ini menurut ketiga kalangan ulama mazhab itu adalah dengan jalan mengalikan upah harian dengan jumlah hari sampai akad tersebut sepakat dibatalkan. Dengan demikian, jika pembatalan itu misalnya sudah berlangsung selama 2 bulan kerja, sementara upah harian adalah 50 ribu, maka ujrah mitsil yang didapat oleh petani penggarap adalah sebesar 50 ribu dikalikan 60 hari (2 bulan), sama dengan 3 juta rupiah.


Lain halnya dengan pendapat kalangan Malikiyah. Ulama kalangan ini justru menyatakan tidak wajib secara mutlak berlaku ujrah mitsil. Berlakunya ujrah mitsil hanya jika ditemui adanya kerja. Tidak ada ujrah tanpa adanya kerja (kulfah). Dalam pandangan penulis, kalangan ini lebih mengedepankan pada pendapat yang dirinci berdasar dana yang sudah dikeluarkan oleh petani penggarap dalam melakukan kerja pengelolaan. Jadi, tidak serta merta, ujrah mitsil dikalikan dengan jumlah hari, sebagaimana disampaikan oleh ketiga kalangan mazhab di atas dalam bentuk ujrah tamm (upah sempurna).


Setidaknya ada dua illat yang membedakan dari kedua kalangan mazhab di atas, khususnya dalam penetapan ujrah mitsil. Pertama, kalangan Malikiyah yang diwakili oleh Syekh Muhammad menyampaikan bahwa:


أن الأصل في الإجارة وجوب أجر المثل لأنها عقد معاوضة , ومبنى المعاوضات على المساواة بين البدلين, وذلك في وجوب أجر المثل , لأنه المثل الممكن في الباب إذ هو قدر قيمة المنافع المستوفاة إلا أن فيه ضرب جهالة وجهالة المعقود عليه تمنع صحة العقد فلا بد من تسمية البدل تصحيحا للعقد 


Artinya, “Sungguh asal dari akad ijarah adalah wajibnya ujrah mitsil karena di dalam akad ijarah berlangsung transaksi pertukaran dan dalam setiap transaksi pertukaran berlaku yang namanya keharusan sama/seimbang antara dua barang yang dipertukarkan. Kesamaan ini menjadi dasar penetapan ujrah mitsil. Di dalam mitsil terkandung makna ia berupa kadar nilai manfaat yang telah dilakukan kecuali bila dipaksakan makna jahalah (ketidaktahuan ujrah). Unsur jahalah dalam transaksi sudah pasti merupakan yang dicegah berlaku dalam akad. Oleh karena itu, wajib menyebutkan ganti yang diketahui ini agar berlangsung sahnya akad.”


Kedua, menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, yang diwakili oleh Abu Yusuf, ia mengatakan:


أن الأصل ما قاله محمد وهو وجوب أجر المثل بدلا عن المنافع قيمة لها لأنه هو المثل بالقدر الممكن لكن مقدرا بالمسمى , لأنه كما يجب اعتبار المماثلة في البدل في عقد المعاوضة بالقدر الممكن يجب اعتبار التسمية بالقدر الممكن , لأن اعتبار تصرف العاقل واجب ما أمكن , وأمكن ذلك بتقدير أجر المثل بالمسمى , لأن المستأجر ما رضي بالزيادة على المسمى والآجر ما رضي بالنقصان عنه , فكان اعتبار المسمى في تقدير أجر المثل به عملا بالدليلين ورعاية للجانبين بالقدر الممكن فكان أولى


Artinya, “Sungguh hukum asal sebagaimana disampaikan oleh Syekh Muhammad di atas, adalah berbicara mengenai kewajiban ujrah mitsil sebagai ganti kerja petani penggarap terhadap lahan, dengan kata lain penetapan nilai kerja amil. Nah, dalam istilah ‘mitsil’ itu berlaku makna kadar yang mungkin (kadar taksiran), namun Syekh Muhammad justru menyebutnya sebagai kadar yang dipastikan (qadr al-musamma). Sebagaimana pengertian ini juga umum kita temui pada istilah mumatsalah dalam barang yang menjadi pengganti pada akad pertukaran. Mumatsalah ini ditentukan sudah pasti dengan kadar taksiran yang mungkin sehingga karenanya yang wajib berlaku adalah menyebut kadar yang mungkin itu (taksiran). Contoh lain, di dalam tasharruf orang yang berakal, hukum yang berlaku adalah wajibnya ia melakukan sesuatu yang mungkin ia bisa. Berdasar nilai kemungkinan itulah, maka muncul istilah ujrah mitsil al-musamma (upah standar yang ditetapkan). Dengan kata lain, buruh biasanya ridha bila ada kelebihan dari nilai upah yang diberikan. 


Sementara bagi juragan, umumnya adalah ia ridha dengan kurangnya nilai upah yang dibayarkan. Perbedaan tabiat dari keduanya ini dijembatani dengan jalan memperkirakan ujrah mitsil dengan menimbang hak masing-masing dari dua pihak yang bertransaksi serta menjaga hak tersebut sampai ditunaikan. Oleh karenanya kemudian muncul kadar yang mungkin (taksiran) yang menjembatani keduanya, dan ini adalah yang lebih utama.” (Al-Mausu’at Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz XXXIX, halaman 140).


Alhasil, ujrah mitsil antara dua belah mazhab di atas berbeda dari sisi penekanannya. Kalangan Malikiyah beralasan karena menghindari unsur jahalah dalam akad. Sementara kalangan Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah lebih menekankan pada aspek taksiran sebagai landasan munculnya istilah mitsil. Untuk itu berlaku yang namanya perkiraan.


Perbedaan aspek pendekatan ini menyebabkan perbedaan dalam praktik besaran ganti rugi yang diberikan oleh pemilik lahan kepada petani penggarap, bila terjadi akad musaqah yang rusak.


Penulis belum banyak mengetahui di lapangan, khususnya di Indonesia ini, lebih condong pada pendapat yang mana bila terjadi kasus sebagaimana digambarkan di atas. Kiranya, masyarakat Indonesia dengan tradisi ketimurannya tidak banyak menyimpang dari dua ketetapan itu. Insya Allah. Wallahu a’lam bis shawab. []


Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar