Saldo deposit merupakan catatan yang menyatakan suatu bukti kepemilikan atas simpanan suatu harta dalam dunia e-commerce. Harta yang dimaksud dan tertuang dalam saldo ini adalah “harta manfaat” dengan jaminan wujudnya fisik barang bila diminta oleh pemilik kepada penjaminnya.
Ada ta’rif menarik yang disampaikan oleh Az-Zarkasy dan As-Suyuthy dalam
memandang saldo deposit ini sebagai harta. Menurut keduanya, harta
didefinisikan sebagai berikut:
وَعَرَّفَ
الزَّرْكَشِيُّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ الْمَال بِأَنَّهُ مَا كَانَ مُنْتَفَعًا
بِهِ، أَيْ مُسْتَعِدًّا لأِنْ يُنْتَفَعَ بِهِ . وَحَكَى السُّيُوطِيُّ عَنِ
الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَال: لاَ يَقَعُ اسْمُ الْمَال إِلاَّ عَلَى مَا لَهُ
قِيمَةٌ يُبَاعُ بِهَا، وَتَلْزَمُ مُتْلِفَهُ، وَإِنْ قَلَّتْ، وَمَا لاَ
يَطْرَحُهُ النَّاسُ، مِثْل الْفَلْسِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ
Artinya, “Imam Zarkasyi dari madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa harta adalah
sesuatu yang dapat dimanfaatkan atau siap untuk dimanfaatkan. Imam As-Suyuthi
meriwayatkan bahwa Imam Syafii berkata, ‘Tidak disebut dengan harta, kecuali
benda itu memiliki nilai yang bisa dijual karena adanya nilai tersebut, dan
bagi orang yang merusaknya maka wajib menanggungnya, walau sedikit, dan benda
itu tidak termasuk sesuatu yang dibuat oleh orang pada umumnya.’” (Al-Mausu’atul
Fiqhiyyah, juz XXXVI, halaman 32).
Berdasar definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harta adalah sebagai berikut:
1. Ain (wujud fisik benda) yang bisa dimanfaatkan.
2. Harta non fisik yang bisa dimanfaatkan atau siap dimanfaatkan.
3. Memiliki nilai jual.
4. Wajib mengganti rugi bila barang itu dirusak.
5. Dibuat oleh orang khusus.
Berdasarkan definisi ini, saldo deposit yang termuat di dalam suatu aplikasi sebagaimana diadopsi oleh beberapa market place dewasa ini dapat disebut sebagai harta mengingat fungsinya tidak menyimpang dari ta’rif di atas dan bahkan memenuhi kelima unsur di atas.
Ada ta’rif lain dari Ibnu Abdin dari ulama kalangan Hanafiah mengenai harta,
yaitu:
الْمُرَادُ
بِالْمَالِ مَا يَمِيلُ إلَيْهِ الطَّبْعُ وَيُمْكِنُ ادِّخَارُهُ لِوَقْتِ
الْحَاجَةِ، وَالْمَالِيَّةُ تَثْبُتُ بِتَمَوُّلِ النَّاسِ كَافَّةً أَوْ
بَعْضِهِمْ، وَالتَّقَوُّمُ يَثْبُتُ بِهَا وَبِإِبَاحَةِ الِانْتِفَاعِ بِهِ
شَرْعًا؛ وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمَالَ أَعَمُّ مِنْ الْمُتَمَوَّلِ؛ لِأَنَّ
الْمَالَ مَا يُمْكِنُ ادِّخَارُهُ وَلَوْ غَيْرَ مُبَاحٍ كَالْخَمْرِ،
وَالْمُتَقَوِّمُ مَا يُمْكِنُ ادِّخَارُهُ مَعَ الْإِبَاحَةِ، فَالْخَمْرُ مَالٌ
لَا مُتَقَوِّمٌ، فَلِذَا فَسَدَ الْبَيْعُ بِجَعْلِهَا ثَمَنًا
Artinya, “Yang dimaksud dengan al-mal (harta) adalah sesuatu yang disukai oleh
tabiat manusia, dan dapat disimpan sampai waktu diperlukan, baik manusia secara
keseluruhan atau sebagian. Tetapi harta akan dianggap memiliki nilai (qimah/
mutaqawwam) apabila sesuatu itu dicintai oleh manusia dan boleh dimanfaatkan
menurut syariah. Kesimpulannya: pengertian harta lebih luas dari istilah
‘mutaqawwam atau ‘mutawwal.’ Harta adalah setiap sesuatu yang dapat disimpan
walau tidak halal seperti khamr. Sedangkan mutaqawwam adalah sesuatu yang dapat
disimpan dan diperbolehkan untuk dimanfaatkannya. Karena itu khamar termasuk
harta yang tidak mutaqawwam atau tidak memiliki nilai sehingga tidak boleh
diperjualbelikan. (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz IV, halaman 501).
Menariknya dari ta’rif Ibnu Abidin ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh
Wahbah Az-Zuhaily, dalam Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu jilid IV,
halaman 2875, adalah sesuatu dapat disebut sebagai harta bilamana memenuhi dua
unsur, yaitu: pertama, bisanya ia dikuasai atau dikendalikan, dan kedua,
memungkinkan untuk diambil manfaatnya secara lumrah. Penjelasan dari kedua hal
ini adalah sebagai berikut:
Harta Harus Dapat Dikuasai
Az-Zuhaili menyampaikan penjelasan bahwa segala aspek fisik atau nonfisik yang tidak dapat dikuasai, maka ia tidak bisa disebut harta sebagaimana pernyataannya sebagai berikut:
فلا يعد مالاً: ما لايمكن حيازته كالأمور المعنوية مثل العلم والصحة والشرف والذكاء، وما لا يمكن السيطرة عليه كالهواء الطلق وحرارة الشمس وضوء القمر
Artinya, “Tidak dapat dibilang harta, sesuatu yang tidak dapat dikuasai,
misalnya beberapa unsur nonfisik, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, atau
kecerdasan. Demikian juga, segala hal yang tidak dapat dikendalikan, seperti
udara bebas, panas matahari dan sinar bulan.” (Al-Fiqhul Islamy wa
Adillatuhu jilid IV, halaman 2875).
Harus Dapat Dimanfaatkan Secara Lumrah
Masih menurut Az-Zuhaily, keberadaan suatu barang dapat disebut sebagai harta adalah harus dapat dimanfaatkan secara lumrah. Ia menjelaskan secara rinci sebagai berikut:
إمكان
الانتفاع به عادة: فكل ما لا يمكن الانتفاع به أصلاً كلحم الميتة والطعام المسموم
أو الفاسد، أو ينتفع به انتفاعاً لا يعتد به عادة عند الناس كحبة قمح أو قطرة ماء
أو حفنة تراب، لا يعد مالاً، لأنه لا ينتفع به وحده. والعادة تتطلب معنى الاستمرار
بالانتفاع بالشيء في الأحوال العادية، أما الانتفاع بالشيء حال الضرورة كأكل لحم
الميتة عند الجوع الشديد (المخمصة) فلا يجعل الشيء مالاً، لأن ذلك ظرف استثنائي
Artinya: “Dapat diambil manfaatnya secara lumrah. Segala sesuatu yang tidak dapat diambil manfaatnya sama sekali, seperti kulit bangkai, makanan yang dibubuhi racun, atau makanan yang rusak, atau sesuatu yang sebenarnya bisa diambil manfaatnya, namun dengan jalan yang tidak biasa menurut lumrahnya masyarakat, seperti sebiji gandum, setetes air, atau sebutir debu, maka semua ini tidak dapat dibilang sebagai harta karena tidak dapat dimanfaatkan secara terpisah. Unsur kebiasaan di sini dilibatkan untuk menunjuk pengertian senantiasa (istimrar) bisanya sesuatu diambil manfaatnya dalam berbagai kondisi lumrah. Sedangkan barang yang hanya dapat dimanfaatkan ketika kondisi terpaksa (dlarurat), seperti daging bangkai ketika seseorang ditimpa kelaparan yang sangat menyiksa (paceklik hebat), maka ia tidak dapat disebut sebagai harta, karena hal itu diperbolehkan sebab adanya pengecualian.” (Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu jilid IV, halaman 2875).
Dengan mencermati kedua batasan ini, maka ta’rif harta sebagaimana tertuang di
dalam Hasyiyah Ibnu Abidin, bahwa harta harus dapat disimpan adalah tidak
menjadi keharusan. Az-Zuhaily mencontohkan misalnya sayuran. Sayuran adalah
bagian dari harta meski tidak dapat disimpan melainkan keberadaannya yang biasa
dimanfaatkan oleh masyarakat umum saja. Walhasil, harta yang disepakati oleh
jumhur fuqaha adalah:
أما
المال عند جمهور الفقهاء غير الحنفية: فهو كل ما له
قيمة يلزم متلفه بضمانه. وهذا المعنى هو المأخوذ به قانوناً، فالمال في القانون
وهو كل ذي قيمة مالية
Artinya, “Harta menurut fuqaha jumhur selain hanafiyah adalah segala hal yang
bernilai dan berlaku hukum kelaziman terhadapnya, yaitu orang yang merusaknya
wajib memberikan ganti rugi. Dan nampaknya hukum positif negara mengadopsi
pengertian ini dengan pernyataannya bahwa yang dimaksud dengan harta adalah
segala sesuatu yang memiliki nilai hartawi.” (Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu
jilid IV, halaman 2875).
Bagaimana dengan Saldo Deposit? Bisakah Disebut Sebagai Harta?
Dengan merujuk pada terakhir ini, saldo deposit, diakui atau tidak, dalam faktanya menyatakan kepemilikan atas suatu harta. Berkurangnya saldo deposit yang tidak disebabkan oleh aktivitas belanja atau penarikan oleh pemiliknya, nyatanya selalu mendapatkan komplain dari pemilik akun yang bersangkutan. Ini setidaknya menjadi bukti bahwa saldo deposit adalah berkedudukan sebagai harta.
Selain itu, bisanya pemilik akun mencairkan atau membelanjakan dana deposit,
menunjukkan akan keberadaan unsur manfaat dar saldo deposit tersebut dalam
bagian muamalah. Bisanya pemilik akun tersebut membelanjakan saldo deposit dan
menukarkannya dengan segala keperluan yang dibutuhkannya di market place itu
juga merupakan bukti tersendiri bagi bebasnya dia dalam menguasai dan memiliki
saldo. Alhasil, tidak ada sisi yang tidak dimiliki sebagai unsur harta
sebagaimana ta’rif di atas oleh sado deposit.
Lantas, Bagaimana dengan Saldo Deposit Emas? Apakah Juga Bisa Disebut sebagai
Harta?
Untuk menjawab masalah ini, kita ingat kembali bahwa dalam sejarah peredaran mata uang, ada masa pernah diterapkan bahwa uang kertas diartikan sebagai berjamin emas (auraqul maliyah). Dalam kesempatan itu, satu lembar uang kertas adalah menyatakan satu bagian tertentu dari emas yang disimpan di bank sentral.
Sejarah ini secara tidak langsung seolah terulang lagi seiring berkembangnya
aplikasi tabungan emas. Nilai yang dimuat di dalam aplikasi berupa besarnya
saldo deposit emas dengan basis ukuran gram dan dilengkapi dengan nilai rupiah
yang disesuaikan dengan harga emas dunia, seolah menyatakan langsung akan kepemilikan
emas yang disimpan oleh market place bersangkutan, seperti pegadaian, orori dan
e-mas. Apalagi, keberadaan market-market place ini bekerja sama dengan PT Aneka
Tambang (Antam) yang merupakan produsen emas.
Pemasaran emas melalui market place dengan menyesuaikan ukuran emas dan
harganya dibandingkan dengan harga emas dunia, dalam hemat penulis adalah
ibarat strategi penjualan emas semata agar liabilitasnya lebih volatil (mudah
dicairkan).
Yang terpenting dalam hal ini adalah legalitas dari provider penyedia aplikasi
tersebut sebagai bekal jaminan keamanan dana nasabah/pemilik akun penggunanya.
Bila keamanan itu bisa dijamin, maka tidak ada yang dilanggar dari sisi dalil
syariat. Dalam hal ini, Rasulullah SAW hanya melarang muamalah yang tidak disertai
dengan jaminan sebagaimana dalam sabdanya:
نهى
النبي : عن ربح ما لم يضمن . اخرجه احمد وابو داود
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari mengambil laba barang
yang tidak bisa dijamin.” (Hadits di-takhrij oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud). Wallahu
a’lam bis shawab. []
Muhamamad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar