Zakat merupakan ibadah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan jalan mengeluarkan sebagian porsi dari harta yang dimilikinya. Ada dua bentuk penyerahan zakat, yakni (1) kepada petugas amil zakat atau (2) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) secara langsung. Dalam fiqih, untuk menandai telah terjadinya serah terima maka diperlukan sebuah lafadh ijab dan qabul.
Lafadh ijab merupakan lafadh yang dirangkai dalam bentuk kalimat penyerahan. Sementara lafadh qabul adalah kalimat yang dirangkai dalam bentuk lafadh penerimaan. Sebagai pertanda bahwa akad itu sah, biasanya ditandai dengan adanya salaman.
Pertanyaannya adalah apakah salaman ini merupakan batas mutlak bahwa suatu ijab-qabul zakat itu dianggap sebagai sah? Ini yang sering ditanyakan khalayak.
Jika dirunut dari hukum asalnya, sebenarnya fungsi dari ijab dan qabul sendiri adalah hanya sebagai wasilah yang menguatkan telah terjadinya akad sehingga terjadi perpindahan kepemilikan atau tanggung jawab. Bila ijab dan qabul itu dikaitkan dengan pernikahan, maka begitu ijab dan qabul itu ditunaikan, maka secara tidak langsung tanggung jawab mengenai seorang anak perempuan yang sebelumnya menjadi tanggung jawab wali beralih menjadi tanggung jawab laki-laki yang menikahinya.
Dan bila ijab qabul itu dilakukan pada transaksi jual beli dan zakat, atau hibah dan wakaf, maka begitu ijab dan qabul itu selesai diucapkan, tanggung jawab kepemilikan barang pun beralih dari pemilik asal ke pihak yang diserahi, baik itu yang berperan selaku pembeli, penerima hadiah, atau penerima hak kelola wakaf.
Pada zakat, jika ijab qabul itu selesai ditunaikan, maka hak kepemilikan dan tasharruf (pengelolaan) zakat menjadi kewenangan dari pihak amil untuk disalurkan, atau menjadi hak milik dari mustahiq sehingga ia bebas menggunakannya.
Sebenarnya zakat sendiri dalam ketentuannya tidak ada keharusan ijab dan qabul. Ijab dan qabul baru wajib ada ketika pihak muzakki menyerahkan zakatnya itu lewat ‘amil atau wakil. Amil sendiri, kedudukannya adalah sama dengan wakil muzakki. Jadi, ijab qabul dalam zakat kepadanya, semata adalah karena akad wakalah (akad perwakilan) yang diambilnya.
Zakat dalam fiqih hanya fokus pada keharusan menyertakan niat saat menunaikan, dan penyalurannya kepada asnaf zakat yang berjumlah 8 itu (QS Al-Baqarah [9] ayat 60). Jadi, suatu misal ada seseorang membawa hartanya kepada salah satu dari 8 asnaf, kemudian ia mengatakan bahwa itu adalah zakatnya yang diberikan kepada asnaf tersebut maka harta yang disalurkannya itu sudah termasuk zakat.
Atau misalnya ada kejadian semacam: “seseorang telah menghitung seluruh uang simpanannya dalam satu tahun. Kemudian, ia menyisihkan 2.5% dari total uang simpanan yang sudah melebihi satu nishab itu, dan kemudian diberikan kepada salah satu mustahiq zakat, maka tindakan pemilahan itu sudah masuk kategori mengeluarkan zakat.” Karena, tindakan menghitung 2.5% dari seluruh harta simpanan itu sudah termasuk kategori niat berzakat. Sebab, niat itu memerlukan kebersamaan dengan tindakan.
يَجُوزُ دَفْعُهَا لِمَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا زَكَاةٌ؛ لِأَنَّ الْعِبْرَةَ بِنِيَّةِ الْمَالِكِ مَحَلُّهُ عِنْدَ عَدَمِ الصَّارِفِ مِنْ الْآخِذِ أَمَّا مَعَهُ كَأَنْ قَصَدَ بِالْأَخْذِ جِهَةً أُخْرَى فَلَا
“Para ulama berpendapat boleh menyerahkan zakat kepada orang yang tidak tahu bahwa itu sesungguhnya adalah zakat. Alasannya, karena ketentuan penyertaan lafadh niat itu adalah tanggungan pemilik harta, dan hal itu bisa dilakukan saat tidak ada pihak penyalur (amil) yang menanganinya. Adapun, bila ada pihak penyalur, maka niat menagih bagian dari zakat kepada pemilik harta merupakan bentuk pendapat lain, sehingga tidak boleh tanpa adanya niat mengeluarkan zakat.” (Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj wa Hawasy al-Syarwany, juz 3, halaman 242).
Yang bisa dipahami dari ‘ibarat ini adalah:
1. Yang terpenting dari zakat, bila diberikan secara langsung kepada mustahiq, adalah niat dari muzakki dalam menyisihkan hartanya sebagai zakat Apabila ada amil yang bertugas memungut zakat, maka perlu penegasan niat bahwa ia sedang menagih harta zakat.
2. Dengan demikian, ketika harta itu sudah diserahkan kepada petugas tersebut, maka mahal penyerahannya sudah terhitung sebagai niat
3. Alhasil, yang terpenting dari zakat adalah penyerahan kepada petugas zakat dan penegasan bahwa itu adalah harta zakat, sehingga tidak perlu adanya salaman. Penyerahan harta zakat kepada petugas, sudah masuk kategori serah terima (ijab dan qabul).
Di dalam kitab Tharhu al-Tatsrib, juz 4, halaman 415 secara tegas dinyatakan:
لَا يُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنْ الْهَدِيَّةِ وَالصَّدَقَةِ الْإِيجَابُ وَالْقَبُولُ بِاللَّفْظِ بَلْ يَكْفِي الْقَبْضُ وَتُمْلَكُ بِهِ
“Tidak disyaratkan di dalam pemberian hadiah dan shadaqah (zakat) adanya lafadh ijab dan qabul. Akan tetapi yang terpenting dan sudah mencukupi adalah serah terima dan sekaligus terjadinya perpindahan kepemilikan” (Tharhu al-Tatsrib, juz 4, halaman 415).
Alhasil, salaman bukan merupakan dasar ketentuan pokok wajibnya serah terima zakat. Yang terpenting dalam zakat, adalah bahwa harta itu diserahkan kepada petugas, atau kepada orang yang masuk dalam asnaf zakat sehingga terjadi perpindahan kepemilikan. Illat yang menjadi sahnya akad ini adalah tidak adanya ketentuan dalam zakat berupa ijab dan qabul, melainkan hanya niat dari pemiliknya. Jika ijab dan qabul saja bukan merupakan ketentuan mutlak, apalagi salaman. Wallahu a’lam bi al-shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar