Akad musaqah shahihah dikenal juga sebagai akad bagi hasil pengelolaan kebun atau tanaman tertentu. Bagi hasil ini meliputi rabbul mal (pemilik kebun) dan 'amil (petani penggarap) dengan ketentuan syarat dan rukunnya terpenuhi, serta tanamannya masuk kategori yang disyaratkan oleh syariat sebagaimana dijelaskan oleh masing-masing ulama mazhab yang diikutinya.
Untuk Indonesia, tidak mungkin kita menggunakan mazhab yang menyatakan bahwa
akad musaqah adalah akad yang memiliki obyek garapan berupa anggur karam dan
kurma (nakhl). Untuk itu perlu mengadopsi akad dari mazhab yang membolehkan
obyek tanaman selain keduanya. Maka dari itu, kita perlu mengarahkannya pada
Mazhab Hanafi. Bagaimana konsekuensi dari akad ini, begitu keputusan melakukan
musaqah diambil oleh pemilik lahan dan petani penggarapnya, khususnya dalam
konteks Indonesia? Simak penjelasan berikut ini!
Setelah akad terjadi, maka timbul hukum baru yang sifatnya mengikat (iltizam)
terhadap pemilik lahan dan petani penggarap. Secara umum, jalinan ikatan
sebagai konsekuensi logis akad musaqah ini adalah sebagai berikut:
يَجِبُ
قِيَامُ الْعَامِل بِكُل مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ الشَّجَرُ مِنَ السَّقْيِ
وَالتَّلْقِيحِ وَالْحِفْظِ، لأَِنَّهَا مِنْ تَوَابِعِ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ
وَهُوَ الْعَمَل
Artinya, "[Pertama] wajib bagi amil melakukan tugas dan tanggung jawabnya yang berhubungan dengan tanaman, antara lain menyirami, mengawinkan, menjaga. Ketiga tugas ini merupakan bagian dari risiko akad, yakni melakukan 'amal (pekerjaan) yang diakadkan. (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz V, halaman 185).
يَجِبُ
عَلَى الْمَالِكِ كُل مَا يَتَعَلَّقُ بِالنَّفَقَةِ عَلَى الشَّجَرِ مِنَ
السَّمَادِ وَاللِّقَاحِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.
Artinya, "[Kedua] Kewajiban pemilik lahan (saat akad musaqah mulai
berjalan) adalah berkaitan dengan nafaqah tanaman, seperti pupuk, pestisida,
dan sejenisnya." (Hasyiyah Ibn Abidin, juz V, halaman 185-186).
لا
يَمْلِكُ الْعَامِل أَنْ يَدْفَعَ الشَّجَرَ مُعَامَلَةً إِلَى غَيْرِهِ إِلاَّ
إِذَا قَال لَهُ الْمَالِكُ: اعْمَل بِرَأْيِكَ
Artinya, "[Ketiga] Amil tidak memiliki hak menyerahkan pengelolaan dan
perawatan tanaman kepada orang lain kecuali pemilik berkata, lakukan yang
terbaik menurut pendapatmu!" (Hasyiyah ibn Abidin, V, halaman 185-186)
Termasuk menyerahkan tanaman kepada orang lain di sini adalah menyuruh orang
lain bekerja, membantunya pada saat yang dibutuhkan. Bila terpaksa membutuhkan
bantuan pekerjaan dari orang lain, maka tanggung jawab mengupah pekerja, adalah
tanggung jawab amil, dan besaran upahnya distandartkan dengan upah yang berlaku
bagi pekerja di wilayahnya. Tanggung jawab upah pekerja yang menjadi tanggung
jawab amil ini adalah ketika pekerjaan itu berkaitan dengan perawatan, namun
tidak dengan pekerja pemanen hasil kebun.
وَلِلْعَامِل الثَّانِي أَجْرُ مِثْلِهِ عَلَى الْعَامِل الأَْوَّل، وَلاَ أَجْرَ لِلأَْوَّل لأَِنَّهُ تَصَرَّفَ فِي مَال غَيْرِهِ بِغَيْرِ تَفْوِيضٍ وَهُوَ لاَ يَمْلِكُ ذَلِكَ
Artinya, “Bagi pekerja tangan kedua, maka baginya ujrah mitsil yang menjadi
tanggung jawab amil pertama. Bagi amil pertama tidak berhak atas ujrah, karena
ia merupakan pihak yang mengelola harta orang lan tanpa didahului oleh
penyerahan kembali ke pemilik lahan. Oleh karena itu ia tidak berhak atas ujrah
itu semua.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz V, halaman 185-186).
Namun, bagaimana bila kebun yang dikelola itu merupakan tanah waqaf, sementara
pengelolanya adalah pihak pengelola wakaf itu sendiri? Dalam kondisi seperti
ini, maka al-muaquf ‘alaih (pihak yang diserahi wakaf) bertindak menempati
derajat selaku rabbul mal (pemilik kebun). Dengan kata lain, hal-hal yang
berkaitan dengan aspek nafaqah tanaman, maka dapat diambil dari harta wakaf.
Adapun, bila ia menggunakan pekerja untuk hal yang berhubungan dengan
pengelolaan tanaman, maka biaya/upah pekerja itu harus dikeluarkan dari kantong
pribadinya, tidak menggunakan harta wakaf karena posisinya juga selaku amil
dari kebun wakaf tersebut yang berhak atas hasil musaqahnya.
إِذَا قَصَّرَ الْعَامِل فِي سَقْيِ الشَّجَرِ حَتَّى يَبِسَ ضَمِنَ، لأَِنَّ الْعَمَل وَاجِبٌ عَلَيْهِ، وَالشَّجَرَ فِي يَدِهِ أَمَانَةٌ، فَيَضْمَنُ بِالتَّقْصِيرِ وَلَوْ أَخَّرَ السَّقْيَ تَأْخِيرًا مُعْتَادًا لاَ يَضْمَنُ لِعَدَمِ التَّقْصِيرِ، وَإِلاَّ ضَمِنَ
Artinya, “[Keempat] Apabila pekerja melakukan keteledoran dalam menjaga dan
merawat tanaman sehingga menyebabkan tanaman menjadi kering, mati, atau tidak
berbuah (yabis), maka ia bisa dikenai beban ganti rugi, karena melakukan pekerjaan
yang disyaratkan dalam musaqah itu hukumnya adalah wajib baginya. Tanaman yang
ada di tangannya adalah amanah, oleh karenanya harus ada tanggung jawab
kerugian, bila matinya tanaman diakibatkan unsur keteledoran. Namun, bila
menunda pekerjaannya adalah hal yang bersifat umum (di kalangan petani) maka
tidak ada tanggung jawab kerugian akibat keteledoran itu. Sebaliknya bila tidak
umum berlaku di kalangan petani, maka ia harus menanggung kerugian tersebut.”
(Badai’us Shanai’, juz VI, halaman 167).
الزِّيَادَةُ
عَلَى الْمَشْرُوطِ فِي الْعَقْدِ جَائِزَةٌ بِوَجْهٍ عَامٍّ وَكَذَلِكَ الْحَطُّ
مِنْهُ، وَذَلِكَ فِي حَالَتَيْنِ: الأُْولَى: إِنْ لَمْ يَتَنَاهَ عِظَمُ
الثَّمَرِ كَانَتْ جَائِزَةً مِنْهُمَا - الْعَامِل وَرَبِّ الأَْرْضِ - لأَِنَّ
إِنْشَاءَ الْعَقْدِ جَائِزٌ فِي هَذِهِ الْحَال فَتَجُوزُ الزِّيَادَةُ مِنْهُمَا
أَيَّهُمَا كَانَ. الثَّانِيَةُ: وَإِنْ تَنَاهَى عِظَمُ الثَّمَرِ وَتَمَّ
نُضْجُهُ جَازَتِ الزِّيَادَةُ مِنْ قِبَل الْعَامِل لِرَبِّ الأَْرْضِ، لأَِنَّ
الزِّيَادَةَ فِي هَذِهِ الْحَال بِمَثَابَةِ حَطٍّ، وَلاَ تَجُوزُ الزِّيَادَةُ
مِنْ قِبَل الْمَالِكِ لأَِنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ فِي مُقَابِل الْعَمَل،
وَالْمَحَل لاَ يَحْتَمِلُهُ، إِذْ قَدْ نَضِجَ الثَّمَرُ، وَلِهَذَا لاَ
يَحْتَمِل إِنْشَاءُ الْعَقْدِ فِي هَذِهِ الْحَال
Artinya, “[Kelima] Memberi tugas tambahan kepada amil musaqah hukumnya adalah
boleh berdasarkan pertimbangan umum, atau sebaliknya mengurangi tugas tersebut.
Kondisi seperti ini biasanya terjadi dalam dua situsi, yaitu: pertama, jika
pekerjaan itu tidak bersifat mengganggu pada peningkatan produksi buah tanaman,
maka penambahan atau pengurangan tugas itu diperbolehkan, baik bagi petani
pengelolanya maupun terhadap pemilik harta. Semua ini dengan alasan karena aqad
musaqah merupakan akad yang dibina oleh keduanya. Oleh karenanya, tugas tambahan
hukumnya juga boleh bila hal itu dperlukan oleh keduanya. Kedua, namun jika
pekerjaan itu bersifat mengganggu terhadap aspek produksi tanaman, maka boleh
bagi amil mengajukan syarat tambahan kepada pemilik lahan, karena bagaimanapun
tambahan ini diperlukan seiring besarnya bagi hasil yang akan dia peroleh
akibat relasi akad. Akan tetapi, syarat tambahan tidak boleh disampaikan oleh
pemilik lahan karena kedudukannya dalam akad adalah bertindak selaku
mengimbangi terhadap amal. Kedudukan ini tidak bisa diabaikannya, apalagi
ketika buah telah menunjukkan kematangan. Abai terhadap syarat tambahan
merupakan yang tidak dikehendaki dalam situasi seperti ini.” (Durarul Hikam,
juz III, halaman 510-511). []
Muhammad Syamsudin, Penliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa
Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar