Rabu, 17 Februari 2021

(Ngaji of the Day) Bagi Hasil Akad Musaqah antara Pemilik Lahan dan Penggarap di Indonesia

Akad musaqah shahihah dikenal juga sebagai akad bagi hasil pengelolaan kebun atau tanaman tertentu. Bagi hasil ini meliputi rabbul mal (pemilik kebun) dan 'amil (petani penggarap) dengan ketentuan syarat dan rukunnya terpenuhi, serta tanamannya masuk kategori yang disyaratkan oleh syariat sebagaimana dijelaskan oleh masing-masing ulama mazhab yang diikutinya.


Untuk Indonesia, tidak mungkin kita menggunakan mazhab yang menyatakan bahwa akad musaqah adalah akad yang memiliki obyek garapan berupa anggur karam dan kurma (nakhl). Untuk itu perlu mengadopsi akad dari mazhab yang membolehkan obyek tanaman selain keduanya. Maka dari itu, kita perlu mengarahkannya pada Mazhab Hanafi. Bagaimana konsekuensi dari akad ini, begitu keputusan melakukan musaqah diambil oleh pemilik lahan dan petani penggarapnya, khususnya dalam konteks Indonesia? Simak penjelasan berikut ini!


Setelah akad terjadi, maka timbul hukum baru yang sifatnya mengikat (iltizam) terhadap pemilik lahan dan petani penggarap. Secara umum, jalinan ikatan sebagai konsekuensi logis akad musaqah ini adalah sebagai berikut:


يَجِبُ قِيَامُ الْعَامِل بِكُل مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ الشَّجَرُ مِنَ السَّقْيِ وَالتَّلْقِيحِ وَالْحِفْظِ، لأَِنَّهَا مِنْ تَوَابِعِ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ وَهُوَ الْعَمَل

 

Artinya, "[Pertama] wajib bagi amil melakukan tugas dan tanggung jawabnya yang berhubungan dengan tanaman, antara lain menyirami, mengawinkan, menjaga. Ketiga tugas ini merupakan bagian dari risiko akad, yakni melakukan 'amal (pekerjaan) yang diakadkan. (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz V, halaman 185).


يَجِبُ عَلَى الْمَالِكِ كُل مَا يَتَعَلَّقُ بِالنَّفَقَةِ عَلَى الشَّجَرِ مِنَ السَّمَادِ وَاللِّقَاحِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.


Artinya, "[Kedua] Kewajiban pemilik lahan (saat akad musaqah mulai berjalan) adalah berkaitan dengan nafaqah tanaman, seperti pupuk, pestisida, dan sejenisnya." (Hasyiyah Ibn Abidin, juz V, halaman 185-186).


لا يَمْلِكُ الْعَامِل أَنْ يَدْفَعَ الشَّجَرَ مُعَامَلَةً إِلَى غَيْرِهِ إِلاَّ إِذَا قَال لَهُ الْمَالِكُ: اعْمَل بِرَأْيِكَ


Artinya, "[Ketiga] Amil tidak memiliki hak menyerahkan pengelolaan dan perawatan tanaman kepada orang lain kecuali pemilik berkata, lakukan yang terbaik menurut pendapatmu!" (Hasyiyah ibn Abidin, V, halaman 185-186)


Termasuk menyerahkan tanaman kepada orang lain di sini adalah menyuruh orang lain bekerja, membantunya pada saat yang dibutuhkan. Bila terpaksa membutuhkan bantuan pekerjaan dari orang lain, maka tanggung jawab mengupah pekerja, adalah tanggung jawab amil, dan besaran upahnya distandartkan dengan upah yang berlaku bagi pekerja di wilayahnya. Tanggung jawab upah pekerja yang menjadi tanggung jawab amil ini adalah ketika pekerjaan itu berkaitan dengan perawatan, namun tidak dengan pekerja pemanen hasil kebun.

 

وَلِلْعَامِل الثَّانِي أَجْرُ مِثْلِهِ عَلَى الْعَامِل الأَْوَّل، وَلاَ أَجْرَ لِلأَْوَّل لأَِنَّهُ تَصَرَّفَ فِي مَال غَيْرِهِ بِغَيْرِ تَفْوِيضٍ وَهُوَ لاَ يَمْلِكُ ذَلِكَ


Artinya, “Bagi pekerja tangan kedua, maka baginya ujrah mitsil yang menjadi tanggung jawab amil pertama. Bagi amil pertama tidak berhak atas ujrah, karena ia merupakan pihak yang mengelola harta orang lan tanpa didahului oleh penyerahan kembali ke pemilik lahan. Oleh karena itu ia tidak berhak atas ujrah itu semua.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz V, halaman 185-186).


Namun, bagaimana bila kebun yang dikelola itu merupakan tanah waqaf, sementara pengelolanya adalah pihak pengelola wakaf itu sendiri? Dalam kondisi seperti ini, maka al-muaquf ‘alaih (pihak yang diserahi wakaf) bertindak menempati derajat selaku rabbul mal (pemilik kebun). Dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan aspek nafaqah tanaman, maka dapat diambil dari harta wakaf.


Adapun, bila ia menggunakan pekerja untuk hal yang berhubungan dengan pengelolaan tanaman, maka biaya/upah pekerja itu harus dikeluarkan dari kantong pribadinya, tidak menggunakan harta wakaf karena posisinya juga selaku amil dari kebun wakaf tersebut yang berhak atas hasil musaqahnya.

 

إِذَا قَصَّرَ الْعَامِل فِي سَقْيِ الشَّجَرِ حَتَّى يَبِسَ ضَمِنَ، لأَِنَّ الْعَمَل وَاجِبٌ عَلَيْهِ، وَالشَّجَرَ فِي يَدِهِ أَمَانَةٌ، فَيَضْمَنُ بِالتَّقْصِيرِ وَلَوْ أَخَّرَ السَّقْيَ تَأْخِيرًا مُعْتَادًا لاَ يَضْمَنُ لِعَدَمِ التَّقْصِيرِ، وَإِلاَّ ضَمِنَ


Artinya, “[Keempat] Apabila pekerja melakukan keteledoran dalam menjaga dan merawat tanaman sehingga menyebabkan tanaman menjadi kering, mati, atau tidak berbuah (yabis), maka ia bisa dikenai beban ganti rugi, karena melakukan pekerjaan yang disyaratkan dalam musaqah itu hukumnya adalah wajib baginya. Tanaman yang ada di tangannya adalah amanah, oleh karenanya harus ada tanggung jawab kerugian, bila matinya tanaman diakibatkan unsur keteledoran. Namun, bila menunda pekerjaannya adalah hal yang bersifat umum (di kalangan petani) maka tidak ada tanggung jawab kerugian akibat keteledoran itu. Sebaliknya bila tidak umum berlaku di kalangan petani, maka ia harus menanggung kerugian tersebut.” (Badai’us Shanai’, juz VI, halaman 167).


الزِّيَادَةُ عَلَى الْمَشْرُوطِ فِي الْعَقْدِ جَائِزَةٌ بِوَجْهٍ عَامٍّ وَكَذَلِكَ الْحَطُّ مِنْهُ، وَذَلِكَ فِي حَالَتَيْنِ: الأُْولَى: إِنْ لَمْ يَتَنَاهَ عِظَمُ الثَّمَرِ كَانَتْ جَائِزَةً مِنْهُمَا - الْعَامِل وَرَبِّ الأَْرْضِ - لأَِنَّ إِنْشَاءَ الْعَقْدِ جَائِزٌ فِي هَذِهِ الْحَال فَتَجُوزُ الزِّيَادَةُ مِنْهُمَا أَيَّهُمَا كَانَ. الثَّانِيَةُ: وَإِنْ تَنَاهَى عِظَمُ الثَّمَرِ وَتَمَّ نُضْجُهُ جَازَتِ الزِّيَادَةُ مِنْ قِبَل الْعَامِل لِرَبِّ الأَْرْضِ، لأَِنَّ الزِّيَادَةَ فِي هَذِهِ الْحَال بِمَثَابَةِ حَطٍّ، وَلاَ تَجُوزُ الزِّيَادَةُ مِنْ قِبَل الْمَالِكِ لأَِنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ فِي مُقَابِل الْعَمَل، وَالْمَحَل لاَ يَحْتَمِلُهُ، إِذْ قَدْ نَضِجَ الثَّمَرُ، وَلِهَذَا لاَ يَحْتَمِل إِنْشَاءُ الْعَقْدِ فِي هَذِهِ الْحَال


Artinya, “[Kelima] Memberi tugas tambahan kepada amil musaqah hukumnya adalah boleh berdasarkan pertimbangan umum, atau sebaliknya mengurangi tugas tersebut. Kondisi seperti ini biasanya terjadi dalam dua situsi, yaitu: pertama, jika pekerjaan itu tidak bersifat mengganggu pada peningkatan produksi buah tanaman, maka penambahan atau pengurangan tugas itu diperbolehkan, baik bagi petani pengelolanya maupun terhadap pemilik harta. Semua ini dengan alasan karena aqad musaqah merupakan akad yang dibina oleh keduanya. Oleh karenanya, tugas tambahan hukumnya juga boleh bila hal itu dperlukan oleh keduanya. Kedua, namun jika pekerjaan itu bersifat mengganggu terhadap aspek produksi tanaman, maka boleh bagi amil mengajukan syarat tambahan kepada pemilik lahan, karena bagaimanapun tambahan ini diperlukan seiring besarnya bagi hasil yang akan dia peroleh akibat relasi akad. Akan tetapi, syarat tambahan tidak boleh disampaikan oleh pemilik lahan karena kedudukannya dalam akad adalah bertindak selaku mengimbangi terhadap amal. Kedudukan ini tidak bisa diabaikannya, apalagi ketika buah telah menunjukkan kematangan. Abai terhadap syarat tambahan merupakan yang tidak dikehendaki dalam situasi seperti ini.” (Durarul Hikam, juz III, halaman 510-511). []


Muhammad Syamsudin, Penliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar