Jumat, 19 Februari 2021

Yudi Latif: Korupsi Politik

Korupsi Politik

Oleh: Yudi Latif

 

Gerak laju perkembangan demokrasi dan reformasi birokrasi Indonesia mengalami dua hantaman sekaligus: penurunan Indeks Demokrasi dan Indeks Persepsi Korupsi. Dalam Indeks Demokrasi, menurut The Economist Intelligence Unit, skor Indonesia pada 2020 hanya  6,30 dari skala 0-10 yang merupakan skor terendah negara ini selama 14 tahun terakhir. Sementara  Indeks Persepsi Korupsi Indonesia melorot tiga poin dari 40 pada 2019 menjadi 37 pada 2020.

 

Ada banyak faktor yang secara simultan melahirkan fenomena tersebut. Satu hal yang patut ditekankan bahwa penurunan capaian Indonesia dalam kedua indeks tersebut sesungguhnya berkaitan. Gerak mundur dalam demokrasi dan pemberantasan korupsi mencerminkan kian menguatnya cengkeraman ”korupsi politik” di negeri ini.

 

Yang dimaksud dengan ”korupsi politik” adalah penyalahgunaan amanah kekuasaan oleh pemimpin politik untuk keuntungan pribadi dengan tujuan meningkatkan kekuasaan dan kekayaan melalui cara memperdagangkan pengaruh atau menguntungkan pihak tertentu yang berdampak meracuni politik dan membahayakan demokrasi.

 

Sebagian pengamat menisbatkan penurunan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia itu sebagai konsekuensi perubahan peraturan perundangan yang cenderung melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, pada analisis terakhir, dukungan politik terhadap hal itu juga merupakan manifestasi dari penguatan korupsi politik yang melemahkan fungsi-fungsi pemerintahan hukum dan akuntabilitas demokratis.

 

Menurut Vineeta Yadav, dalam Political Parties, Business Groups, and Corruption in Developing Countries (2011), lobi politik memang terjadi di negara demokrasi mana pun. Yang membedakan, ada praktik lobi yang bersifat perseorangan, yang tidak secara langsung memengaruhi kelembagaan demokrasi; ada pula praktik lobi yang langsung berhubungan dengan ”pengendali” kelembagaan (partai) politik, yang melemahkan proses-proses argumentasi, deliberasi, dan akuntabilitas dalam demokrasi.

 

Berbeda dengan anggapan umum bahwa korupsi politik merupakan konsekuensi dari lemahnya partai politik, Yadav mengajukan kesimpulan sebaliknya.  Berdasarkan studi komparatif terhadap 64 negara demokrasi yang baru berkembang, ia menemukan bahwa korupsi politik justru cenderung menguat di negara-negara dengan peran partai politik yang sangat dominan.

 

Tatkala partai politik menjadi agen tunggal, tanpa penyeimbang yang berarti, dalam pembuatan peraturan legislatif mengenai agenda-setting, perubahan peraturan, biaya pemilihan, dan seleksi pejabat dalam suatu negara, maka hal itu akan memperkuat partai politik, baik dalam pembuatan kebijakan maupun pilihan-pilihan politik.

 

Apabila organisasi kepartaian itu diurus seperti perusahaan perseorangan yang dikendalikan oleh kepentingan oligarki, lobi politik bisa melemahkan otonomi wakil-wakil rakyat yang pada akhirnya bisa melemahkan kinerja demokrasi dan melambungkan korupsi politik.

 

Dalam perkembangan demokrasi Indonesia, setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat dilucuti kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara—wahana  penjelmaan seluruh rakyat (melalui parpol), seluruh golongan, dan seluruh daerah—kedudukan dan perilaku Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi terlalu dominan seakan menempatkan dirinya sebagai parlemen.

 

Padahal, seperti diingatkan  para pendiri negara, DPR bukanlah parlemen (lembaga perwakilan terlengkap), melainkan lembaga legislatif biasa. Dengan dominasi DPR sebagai katalis hak-hak individu melalui parpol, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah sebagai artikulator hak-hak teritorial (kedaerahan) dilemahkan fungsi dan kewenangannya. Sementara itu, utusan golongan yang bisa berperan sebagai kekuatan penyeimbang dalam memperjuangkan hak-hak komunitarian tak lagi punya tempat dalam lembaga perwakilan.

 

Tanpa kekuatan checks and balances dalam lembaga perwakilan, dominasi DPR menjadi pintu masuk bagi dominasi parpol dalam kebijakan, pilihan, dan kepemimpinan negara. Dominasi parpol tanpa demokratisasi internal dalam parpol membuka jalan bagi oligarki politik yang membiakkan korupsi politik. Korupsi politik pada akhirnya bisa membusukkan institusi-institusi demokrasi.

 

Dalam kaitan itu, studi  Rose Ackerman (1999) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi  tinggi  memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi-institusi publik, yang selanjutnya membawa dampak negatif berupa pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan nilai-nilai kewargaan yang memacu tingkat kriminalitas dan disorganisasi sosial.

 

Sejalan dengan  itu, studi Della Porta (2000) menengarai bahwa korupsi merupakan sebab dan akibat dari buruknya kinerja pemerintahan. Korupsi membawa buruk kinerja pemerintahan dan buruknya kinerja pemerintahan merangsang warga negara untuk  mengembangkan praktik- praktik penyuapan untuk mempermudah urusan atau memengaruhi  pengambilan keputusan, yang pada gilirannya kian menyuburkan praktik korupsi. Pada akhirnya, tingginya tingkat korupsi mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap demokrasi.

 

Singkat kata, usaha pemberantasan korupsi pada pangkalnya memerlukan penataan kelembagaan demokrasi dan nomokrasi (rule of law)  melalui penyehatan parpol  dan penataan ulang lembaga perwakilan rakyat yang dapat menyediakan kerangka checks and balances antar-berbagai bentuk representasi rakyat dalam parlemen. []

 

KOMPAS, 11 Februari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar