Jumat, 26 Februari 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al-Qur'an (14) Etika Terhadap Non-Muslim

Etika Politik dalam Al-Qur'an (14)

Etika Terhadap Non-Muslim

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Penyebutan Al-Qur'an kata Yahudi yang terulang tidak kurang dari 17 kali, kata Nashrani 15 kali, bahkan aliran kepercayaan (al-shabi'in) membuktikan Al-Qur'an memberi pengakuan terhadap kelompok minoritas, karena pada masa Nabi di Madina kelompok agama tersebut adalah agama dan kepercayaan minoritas. Mungkin tidak ada satu pun Kitab Suci selain Al-Qur'an yang secara eksplisit memberikan pengakuan terhadap agama lain.

 

Sejarah juga mencatat bagaimana warga non-muslim bisa hidup tenang dan berinteraksi dengan saudara-saudaranya yang beragama Islam dalam berbagai bidang di kota suci Mekkkah dan Madinah. Mereka bisa melakukan interaksi bisnis satu sama lain sebagaimana dilakukan kelompok Yahudi dan Nashrani di Madina. Warga non-muslim di masa Nabi tidak pernah merasa warga kelas dua. Mereka bisa menjumpai Nabi dan keluarganya kapan pun dan di manapun. Nabi tidak pernah menggeneralisir para warga non-muslim yang sering memerangi Nabi dengan warga non-muslim yang menjalin perjanjian damai dan hidup terlindungi di dalam otoritas wilayah muslim.


Al-Qur'an menegaskan perlunya melindungi kelompok non-muslim sebagaimana ditegaskan dalam ayat: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (Q.S. al-Mumtahinah/60: 7-8). Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. al-Taubah/9: 6).


Dalam praktik Nabi pernah didatangi delegasi non-muslim (Nashrani) Najran, negri Yaman sekarang, bertanya kepada Nabi tentang Isa ibn Maryam. Lalu Nabi menjawab Dia adalah ruhullah wa kalimatuhu, dan dia hamba dan rasul-Nya. Kelompok pemuda itu berkata: Apakah engkau siap kami cemo'oh jika kamu keliru? Nabi menanggapi: Apakah itu yang kalian kehendaki? Mereka menjawab: Ia. Kemudian pemimpin mereka datang menegur mereka dengan mengatakan: Jangan cemoh orang ini, karena jika kalian melakukannya kita akan dihancurkan. Setelah itu ia meminta maaf kepada Nabi dan memintakan maaf juga kepada warganya yang lancing itu. Nabi mengatakan: Aku sudah memaafkan kalian.


Safwan ibn Sulaiman meriwayatkan bahwa Nabi pernah mengatakan: "Barang siapa yang mendhalimi orang-orang yang menjalin perjanjian damai (mu'ahhad) atau melecehkan mereka, atau membebaninya sesuatu di luar kesanggupannya, atau mengambil hartanya tanpa persetujuannya, maka saya akan menjadi lawannya nanti di hari kemudian" (HR. Bukhari-Muslim). Nabi juga banyak mencontohkan memberikan keprihatinan dan bantuan terhadap non-muslim, terutama bagi mereka yang berasal dari golongan tidak mampu. Sikap belas kasih Nabi itu dicontoh juga oleh para sahabatnya.


Umar ibn Khaththab pernah berjumpa seorang kakek tua buta non-muslim sedang meinta-minta. Umar bertanya dari ahli kitab mana engkau? Dijawab: Dari agama Yahudi. Umar membawa kakek tua buta itu ke rumahnya dan Umar membuatkan memo ke Baitul Mal yang isinya: "Tolong perhatikan orang ini dan semacamnya. Demi Allah, kita tidak menyadari kalau kita telah memakan hartanya lalu kita mengabaikannya di masa tuanya. Sesungguhnya sedekah untuk para fakir-miskin. Kaum fakir miskin itu ada dari kaum muslim dan ini dari kaum Yahudi".


Nabi bahkan pernah menganjurkan untuk membantu penyelesaian pembangunan gereja yang terbengkalai karena kemiskinan warga kristiani di sekitarnya. Nabi menganjurkan untuk membantu pembangunan gereja itu dengan cara mengambilkan dana hibah, bukan dari Zakat, Waqaf, dan dari Baitul Mal. Nabi selalu mewanti-wanti, sehebat apapun peperangan yang terjadi, rumah-rumah ibadah siapapun dan agama manapun jangan sampai di rusak.
[]

 

DETIK, 05 Oktober 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar