Anak yatim memiliki kedudukan yang spesial dalam agama Islam. Salah satu buktinya adalah diangkatnya derajat orang yang merawat dan menanggung kebutuhan anak yatim. Di surga orang-orang itu bisa dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam layaknya kedekatan jari telunjuk dan jari tengah. Dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Sahl bin Sa’d disebutkan:
أَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا- وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti dua jari ini” Rasulullah bersabda dengan isyarat dua jari beliau, yakni jari telunjuk dan jari tengah” (HR al-Bukhari)
Dalam salah satu ayat Al-Qur’an dijelaskan pula bahwa anak yatim merupakan salah satu objek prioritas untuk diberikan pemberian sedekah atau pemberian yang lain. Seperti yang tercantum dalam surat al-Baqarah, Ayat: 177:
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang-orang yang beriman kepada Allah,hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya” (QS Al-Baqarah, Ayat: 177)
Memandang dari penjelasan ayat di atas, apakah pemberian yang tergolong dapat diberikan pada anak yatim juga mencakup harta zakat, yang di dalamnya mencakup zakat fitrah dan zakat maal (harta)?
Para ulama berpandangan bahwa anak yatim bukan merupakan golongan khusus yang dapat menerima zakat, sebab golongan yang berhak menerima zakat hanya tertentu pada delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah maha mengetahui, maha bijaksana” (QS. At-Taubah: 60).
Anak yatim tidak termasuk dari delapan golongan yang disebutkan dalam ayat tersebut. Namun sebagian ulama berpandangan bahwa jika anak yatim memiliki salah satu sifat dari delapan golongan tersebut, misalnya anak yatim tidak ada yang menafkahi atau ada orang yang menafkahi namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak yatim setiap harinya, maka dalam keadaan demikian boleh memberikan harta zakat pada anak yatim, karena ia tergolong sebagai fakir, bukan karena faktor ia adalah anak yatim.
Berdasarkan pandangan ini, tidak semua anak yatim dapat menerima zakat. Anak yatim yang memiliki harta warisan yang dapat mencukupi kebutuhannya, atau anak yatim yang masih memiliki seorang ibu yang memiliki pekerjaan yang layak dan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan anak yatim tersebut, maka tidak berhak menerima zakat.
Memang jika melihat konteks zaman dahulu, anak yatim tidak berhak menerima zakat, sebab mereka mendapat bagian khusus dari harta rampasan perang (ghanimah) sehingga kebutuhan-kebutuhannya dapat tercukupi. Namun, di zaman sekarang, harta rampasan perang sudah tidak ada lagi, terlebih mengalirkan harta rampasan untuk penyaluran kebutuhan anak yatim, sehingga anak yatim yang tidak tercukupi kebutuhan-kebutuhannya berhak menerima zakat. Hal demikian seperti dijelaskan dalam kitab Kifayah al-Akhyar:
(فرع) الصَّغِير إِذا لم يكن لَهُ من ينْفق عَلَيْهِ فَقيل لَا يعْطى لاستغنائه بِمَال الْيَتَامَى من الْغَنِيمَة وَالأَصَح أَنه يعْطى فَيدْفَع إِلَى قيمه لِأَنَّهُ قد لَا يكون فِي نَفَقَته غَيره وَلَا يسْتَحق سهم الْيَتَامَى لِأَن أَبَاهُ فَقير قلت أَمر الْغَنِيمَة فِي زَمَاننَا هَذَا قد تعطل فِي بعض النواحي لجور الْحُكَّام فَيَنْبَغِي الْقطع بِجَوَاز إِعْطَاء الْيَتِيم إِلَّا أَن يكون شريفاً فَلَا يعْطى وَإِن منع من خمس الْخمس على الصَّحِيح وَالله أعلم
“Cabang permasalahan, anak kecil ketika tidak ada orang yang menafkahinya, maka menurut sebagian pendapat (yang lemah) ia tidak boleh diberi zakat, karena sudah tercukupi dengan anggaran dana untuk anak yatim dari harta ghanimah (rampasan). Menurut pendapat ashah (kuat), ia dapat diberi zakat, maka harta zakat diberikan pada pengasuhnya, sebab terkadang tidak ada yang menafkahi anak kecil kecuali dia, dan terkadang pula anak kecil tersebut tidak mendapatkan bagian anggaran dana untuk anak-anak yatim, karena orang tuanya miskin. Aku berkata: “Urusan harta ghanimah di zaman ini sudah tidak ada lagi di berbagai daerah, karena tidak adilnya para penguasa, maka sebaiknya memastikan bolehnya memberikan zakat pada anak yatim, kecuali anak yatim tersebut tergolong nasab mulia (nasab yang bersambung pada Rasulullah) maka tidak boleh untuk memberinya zakat, meskipun ia tercegah dari bagian seperlima dari seperlimanya harta ghanimah menurut qaul shahih. Wallahu a’lam” (Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, Hal 191)
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara hukum asal anak yatim tidak diperbolehkan diberi harta zakat, kecuali termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat. Memberikan harta zakat pada anak yatim yang masuk kategori mustahiqquz zakat tentunya diberikan kepada orang yang mengasuh atau wali dari anak yatim tersebut, agar pengelolaan harta zakat dapat lebih maksimal dan terarah.
Sedangkan dalam konteks memberikan harta zakat pada panti asuhan yang menampung banyak anak yatim, perlu diperinci sesuai dengan ketentuan di atas. Jika kebutuhan anak yatim di panti asuhan telah dicukupi oleh para donatur tetap, maka tidak boleh memberi harta zakat pada mereka. Sedangkan jika panti asuhan betul-betul membutuhkan pembiayaan atau kebutuhan pangan untuk anak yatim, karena kurangnya dana atau sumbangan dari donatur, maka dalam keadaan demikian diperbolehkan untuk memberikan kepada pihak pengelola panti asuhan harta zakat, sebab dalam hal ini, pengelola panti asuhan adalah wali dari anak-anak yatim. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar