Kamis, 25 Februari 2021

Azyumardi: Kerusakan Alam: Rejuvenasi Islamisitas (1)

Kerusakan Alam: Rejuvenasi Islamisitas (1)

Oleh: Azyumardi Azra

 

Awal 2021, banyak bencana alam melanda Tanah Air. Tanah longsor, gunung meletus, banjir, dan bencana alam lainnya melanda banyak daerah di Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan (Kalsel), Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, atau Papua.

 

Daftar daerah yang terlanda bencana, bisa sangat panjang. Banyak korban jiwa meninggal dalam berbagai bencana alam itu. Juga tidak terhitung kerugian harta benda warga dan kerusakan infrastruktur serta fasilitas publik lainnya.

 

Kehilangan nyawa tidak bisa ditebus, kerugian harta benda memerlukan dana besar untuk pemulihan kembali. Kehilangan nyawa dan kerugian harta benda dalam jumlah besar, pastilah menambah keprihatinan.

 

Di tengah semua bencana itu, terus pula meningkat Covid-19 di Tanah Air. Mereka yang terinfeksi sudah melebihi satu juta orang dan korban meninggal menuju 30 ribu jiwa.

 

Sementara itu, para korban banjir di Kalsel terlunta-lunta, para pejabat tinggi negara sibuk berbeda pendapat. Misalnya, Presiden Jokowi menyatakan, banjir Kalsel disebabkan curah hujan yang luar biasa ekstrem. Pernyataan ini gegabah karena tidak melihat secara lebih komprehensif.

 

Di lain pihak, Menko PMK Muhadjir Effendy menyatakan, banjir besar di Kalsel juga disebabkan kerusakan lingkungan. Dia mengharapkan, banjir di Kalsel menjadi momentum untuk lebih menata lingkungan.

 

Menko PMK menjelaskan, urgensi membuat koreksi radikal terhadap tata lingkungan dan pertanahan karena bencana dimulai dari pengelolaan tanah yang tidak bijak.

 

“Kalimantan dengan kekayaannya, jadi incaran banyak orang. Jangan sampai, kekayaan dikeruk demi keuntungan sekelompok orang, tetapi berdampak buruk bagi masyarakat banyak”. Pandangan menko PMK sejalan dengan visi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

 

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono menyebut, banjir Kalsel Januari 2021 terbesar sejak 2006, membantah pernyataan Presiden Jokowi, yang menyatakan banjir ini terbesar dalam 50 tahun terakhir.

 

Kisworo juga menolak pernyataan Presiden yang menyebut banjir besar itu disebabkan curah hujan ekstrem. Menurut Kisworo, banjir besar Kalsel menandakan peningkatan bencana terkait ruang dan kerusakan ekologis.

 

“Presiden mending tidak usah datang ke Kalsel kalau hanya menyalahkan hujan besar dan sungai. Walhi Kalsel sudah sering mengingatkan, Kalsel dalam kondisi darurat tata ruang dan kerusakan ekologis parah”.

 

 Kalsel atau Pulau Kalimantan secara keseluruhan adalah salah satu kawasan di Indonesia, yang kerusakan lingkungan, ekologis, atau alamnya sangat parah. Kerusakan alam disebabkan oleh kesewenang-wenangan penebangan hutan dan penambangan.

 

Penebangan hutan (deforestasi) Kalimantan telah berlangsung sejak awal 1950an, sejak masa Orde Lama. Deforestasi meningkat drastis ketika pembangunan mulai dilancarkan rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto.

 

Sejak 1950, sekitar separuh hutan Kalimantan musnah: dari 51,5 juta hektare menjadi tersisa sekarang 26,7 hektare. Untuk daerah Kalsel yang diamuk banjir besar, deforestasi mengakibatkan wilayah tutupan hutan berkurang drastis dari 1,18 juta hektare pada 2005,  tersisa 0,9 juta hektare pada 2019.

 

Deforestasi hanyalah salah satu penyebab kerusakan alam di Kalimantan dan pulau lainnya. Penebangan hutan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan tanaman komoditas lain; juga karena penambangan batu bara dan mineral lain, seperti timah atau nikel.

 

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, ada 814 lubang tambang di Kalsel, baik yang masih aktif ditambang atau sudah ditinggalkan tanpa ditutup dan direboisasi. Lubang-lubang tidak aktif ini menjadi tempat genangan air yang tidak sehat untuk lingkungan.  

 

Keadaan tidak sehat terhadap lingkungan hidup itu, kian terlihat dalam kenyataan dengan adanya sekitar 700 hektare lahan tambang, yang tumpang tindih dengan permukiman warga; 251 ribu hektare daerah penambangan di wilayah pertanian dan perladangan; dan 464 ribu hektare lokasi penambangan berada di kawasan hutan.

 

Kerusakan alam karena deforestasi dan penambangan secara tidak bertanggung jawab, sekali lagi terjadi tidak hanya di Kalsel atau Kaltim. Keadaan ini terjadi di banyak daerah lain.

 

Degradasi lingkungan hidup, ekologi, atau kerusakan alam umumnya karena penambangan juga tidak kurang parahnya, memerlukan pembahasan dan pemahaman. Dengan begitu, diharapkan adanya perbaikan ke depan.

 

Apa hubungan kerusakan alam dengan Islamisitas? Jika Islamisitas dikaitkan, ini tak lain karena Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Karena itu, faktor Islam dan Muslim sangat penting. []

 

REPUBLIKA, 28 Januari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar