Jumat, 05 Februari 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al Qur'an (5) Etika Suksesi (2)

Etika Politik dalam Al Qur'an (5)

Etika Suksesi (2)

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Setelah Abu Bakar, kepemimpinan beralih ke Umar bin Khaththab, yang kemudian menjabat selama kurang lebih empat tahun. Dalam masa pemerintahan Umar, terjadi peristiwa tragis. Ia ditikam dengan enam kali tusukan oleh seorang keturunan Persia bernama Fairus, yang lebih dikenal dengan Abu Lu'lu'. Mengetahui dirinya sudah tidak berdaya, seperti halnya pendahulunya Abu Bakar, ia meminta sahabat untuk bermusyawarah membicarakan bakal penggantinya.

 

Semula kalangan sahabat mengusulkan putranya yang dikenal cerdas, yaitu Abdullah bin Umar, tetapi Umar menolak dengan mangatakan: "Cukup hanya seorang dari keluarga Umar yang menjadi khalifah". Lalu musyawarah dilakukan dengan enam orang tim formatur yang ditunjuk Umar dan ditambah putranya (Abdullah) yang dinyatakan tidak punya hak suara. Keenam sahabat itu ialah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin 'Affan, Sa'ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah.

 

Pertimbangan Umar memilih orang ini karena Nabi pernah menyatakan orang-orang ini sebagai calon penghuni surga. Nanti formatur ini yang memilih khalifah. Kalau suara terpilih 4:2 dan yang dua orang itu menolak maka bunuh orang itu. Kalau perolehan suara yang dipilih draw 3:3 Umar meminta Abdullah yang menentukannya. Tetapi kalau pilihan Abdullah ditolak, ia minta siapa yang dipilih oleh Abdurrahman bin 'Auf. Kalau ada yang menolak pilihan itu bunuh dia, kata Umar. Ternyata suara yang berkembang dari tim formatur itu muncul dua nama, yaitu 'Utsman bin 'Affan dan 'Ali bin Abi Thalib. Ketika Ali ditawari oleh tim formatur maka Ali merendah (tidak tegas), dan giliran Utsman didatangi dia menjawab dengan tegas, "saya bersedia". Akhirnya formatur menetapkan Utsman sebagai Khalifah ketiga.

 

Utsman bin Affan berkuasa cukup lama, 12 tahun. Enam tahun pertama cukup mengesankan dan banyak prestasi monumental yang dicatat di dalam sejarah. Namun enam tahun terakhir, seiring dengan usinya makin tua, banyak sekali diintervensi oleh orang-orang dekatnya di dalam menjalankan roda pemerintahan. Akibatnya muncul gelombang ketidakpuasan di dalam masyarakat, terutama berkaitan dengan pengangkatan anggota keluarganya menjadi gubernur di sejumlah daerah.

 

Puncak ketidakpuasan sekelompok masyarakat ialah Utsman dibunuh oleh pemberontak, lalu kelompok pemberontak menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Namun Ali sebagai orang yang memiliki kearifan yang tinggi, menolak dikukuhkan oleh pemberontak dan Ali meminta sahabat Ahli Badr (sahabat utama Nabi yang pernah ikut dalam Perang Badr).

 

Akhirnya hadirlah tiga sahabat senior, yaitu Thalhah, Zubair, dan Sa'ad bin Ubadah. Ali kemudian disetujui oleh sahabat utama ini maka ditetapkanlah Ali sebagai Khalifah keempat ketika keadaan masih dalam keadaan tidak tenang karena tidak jelasnya siapa sebenarnya kelompok pemberontak itu. Mu'awiyah bin Abu Sufyan, keluarga Utsman dan gubernur Syiria menolak untuk membaiat Ali karena dua alasan. Tuntaskan dulu siapa pelaku pemberontak dan apa hukuman terhadap mereka yang telah membunuh Utsman. Alasan lainnya, penunjukan hanya segelintir orang tidak lagai memadai, mengingat dunia Islam sudah berkembang sedemikian luas, sehingga para gubernur pun seharusnya ikut menentukan khalifah.

 

Kepergian Utsman mulai terasa adanya faksi-faksi perpecahan umat. Ini disebabkan oleh semakin banyaknya sahabat-sahabat senior yang meninggal. Tokoh-tokoh muda yang tidak ikut di dalam suka duka perjuangan di masa-masa awal Islam mulai bermunculan. Sementara dunia Islam juga semakin meluas jauh dari pusat heard land tanah Arab, Sebagian sahabat senior ikut menyebar ke daerah-daerah baru meninggalkan kota Madina. []

 

DETIK, 26 September 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar