Kamis, 18 Februari 2021

Peran NU Meluruskan Isi Piagam Jakarta 22 Juni 1945

Sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya.

 

Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang sebelumnya berbunyi “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”.

 

Kalimat itu bagian dari kesepakatan yang disusun oleh Panitia Sembilan, bentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kesepakatan tersebut ditandatangani pada 22 Juni 1945 dan dikenal sebagai Piagam Jakarta. Tujuh kata itu sensitif dan berpotensi mendiskriminasi orang-orang Indonesia non-Muslim.

 

Perjuangan mengubah bunyi Piagam Jakarta tersebut dilalui dengan persengketaan yang pelik. Terutama ketika harus meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah yang saat itu cukup keras mendukung bunyi Piagam Jakarta itu.

 

Bunyi Piagam Jakarta dapat diubah setelah Mohammad Hatta mengadakan pertemuan atau rapat terbatas dengan KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Tengku Hasan dari Sumatera. Meski alot, setelah rapat selama 15 menit, tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dihapus.

 

Alasan dominan untuk menghapus bunyi Piagam Jakarta itu ialah Republik Indonesia harus berdiri dengan menyertakawan kawasan Indonesia timur. Apalagi saat itu bangsa Indonesia masih berjibaku melepaskan diri dari penjajahan. Sehingga perjuangan harus menyertakan seluruh elemen bangsa dari berbagai suku dan agama di Indonesia.

 

Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu (Ketuhanan Yang Maha Esa) adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga ayah Gus Dur. Menurut Kiai Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam dasar negara Pancasila.

 

Artinya, dengan konsep itu, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik ini, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.

 

Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan. (Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, 2010: 91)

 

Gus Dur dalam kolomnya Kemerdekaan: Suatu Refleksi (Aula, 1991: 41) menyampaikan bahwa esensi kemerdekaan bukan hanya lepas dari penjajahan, tetapi juga terbangun persamaan hak (equality) di antara seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Sebab itu dasar negara Pancasila lebih tepat untuk Indonesia. Apalagi sudah melalui kajian mendalam, baik lahir dan batin dari para ulama pesantren.

 

Awalnya, proses merumuskan Pancasila ini bukan tanpa silang pendapat, bahkan perdebatan yang sengkarut terjadi ketika kelompok Islam tertentu ingin memperjelas identitas keislamannya di dalam Pancasila. Padahal, sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang dirumuskan secara mendalam dan penuh makna oleh KH Wahid Hasyim merupakan prinsip tauhid dalam Islam.

 

Tetapi, kelompok-kelompok Islam dimaksud menilai bahwa kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa tidak jelas sehingga perlu diperjelas sesuai prinsip Islam. Akhirnya, Soekarno bersama tim sembilan yang bertugas merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 mempersilakan kelompok-kelompok Islam tersebut untuk merumuskan mengenai sila Ketuhanan.

 

Setelah beberapa hari, pada tanggal 22 Juni 1945 dihasilkan rumusan sila Ketuhanan yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan tersebut kemudian diberikan kepada tim sembilan. Tentu saja bunyi tersebut tidak bisa diterima oleh orang-orang Indonesia yang berasal dari keyakinan yang berbeda.

 

Poin agama menjadi simpul atau garis besar yang diambil Soekarno yang akhirnya menyerahkan keputusan tersebut kepada Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk menilai dan mencermati apakah Pancasila 1 Juni 1945 secara umum sudah sesuai dengan syariat dan nilai-nilai ajaran Islam atau belum.

 

Prinspinya, Kiai Hasyim Asy’ari memahami bahwa kemerdekaan adalah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan perpecahan merupakan kerusakan (mafsadah) sehingga dasar negara harus berprinsip menyatukan semua. Melalui proses transendental, Kiai Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa Pancasila sudah sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. []

 

(Fathoni Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar