Rabu, 24 Februari 2021

Buya Syafii: Palsu dan Kepalsuan (III)

Palsu dan Kepalsuan (III)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Darah palsu (damun kazdib/false blood). Sebagaimana telah dijanjikan pada seri pertama, seri ketiga ini khusus menguraikan masalah darah palsu saja, tidak melebar ke drama Yusuf secara keseluruhan. Baik sebelum diangkat jadi nabi dan rasul, maupun kariernya di Mesir sebagai orang penting kerajaan.

Ungkapan 'darah palsu’ hanya sekali itu dijumpai dalam Alquran. Masa hidup Nabi Yusuf tidak dapat dipastikan.

 

Mufasir M Quraish Shihab memperkirakan, Nabi Yusuf wafat pada 1635 SM. (Lih Tafsir al-Mishbah, jilid 6, tahun 2012, hlm 4). Pengkhianatan saudara-saudaranya terhadap Yusuf terjadi saat bocah ini berusia 12 tahun, seusia baru tamat SD untuk ukuran Indonesia.

 

Ada juga sumber lain mengatakan berusia 17 tahun. Tentu sebagian pembaca pernah mengikuti kisah Yusuf ini dalam Alquran atau dalam Kitab Perjanjian Lama, sebuah kisah terbaik dramatis, sebagaimana tersebut dalam surah Yusuf ayat 3: ahsan al-qashashi.

 

Selengkapnya makna ayat 3 itu sebagai berikut, “Kami kisahkan kepada engkau (Muhammad) kisah yang terindah dengan mewahyukan Alquran ini kepadamu. Dan sesungguhnya, engkau sebelumnya termasuk golongan yang belum paham” (aslinya: lamina al-ghafilin).

 

Nabi Muhammad mengenal Nabi Yusuf melalui wahyu. Wahyu ini pulalah yang merekam adanya darah palsu itu. Tema utama surat Yusuf yang diturunkan pada masa Makkah ini hampir seluruhnya dipusatkan pada kisah berliku, antara tragedi dan bahagia, antara pengkhianatan dan sikap pemaaf, tentang Nabi Yusuf.

 

Mufasir Prof DR Wahbat al-Zakhili menjelaskan, darah palsu yang tersebut dalam ayat 18 itu berikut ini, Wajau ‘ala qamishi yusuf bidamin makdzub fihi, ghaira dami yusuf. “Dan mereka datang membawa baju Yusuf dengan dilumuri darah yang dipalsukan padanya, bukan darah Yusuf” (lih Al-Tafsîr al-Wajîz ‘alâ Hâmishi al-Qur’ân al-‘Azhîm. Dimasyq: Dâr al-Fikr, 1402/1982, hlm 238).

 

Nabi Yakub dengan firasat kenabiannya tidak percaya pada rekayasa dusta anak-anaknya, yang berlainan ibu dengan Yusuf ini.

 

Inilah reaksi Yakub sebagai lanjutan dari ayat yang sama, “Tetapi nafsu kamulah yang mendorong kamu melakukan suatu hal (kejahatan). Maka sabar yang indah (fashabrun jamil). Hanya kepada Allahlah aku mohon pertolongan terhadap apa yang kamu gambarkan.”

 

Nabi Yakub menggunakan ungkapan: “shabrun jamil” (sabar yang indah). Alangkah piawai dan halusnya bangunan rohani orang tua ini. Anak-anaknya yang berbuat jahat terhadap Yusuf itu disikapi dengan tenang.

Tidaklah meluncur tutur kata yang menyakitkan perasaan dari mulutnya. Daya kendali emosinya amatlah kuat, sekalipun hati di dalam remuk. Nabi Yakub tabah sekali, dan kepada Allah semata dia mengadu dan menggantungkan harapan, tidak kepada yang lain. Dia tidak yakin Yusuf diterkam serigala, juga tidak yakin Yusuf yang sudah piatu itu telah wafat.

 

Inilah tafsiran Hamka terhadap ayat 18 itu, “Kalau ayah tidak percaya, lihat inilah buktinya! Lalu mereka hamparkan di muka ayah mereka itu, baju Yusuf sendiri yang telah mereka lumuri dengan darah kambing. Lalu mereka katakan, darah yang lekat pada baju atau kemeja itu adalah darah Yusuf sendiri. Namun, karena keterangan ini memang dusta, lupalah mereka merobek-robek baju itu untuk bukti bahwa adik mereka memang mati diterkam serigala. Kalau memang dia mati diterkam serigala, mengapa hanya bajunya yang telah berlumur darah yang bertemu? Mengapa tubuhnya yang telah mati itu tidak bertemu? Sanggupkah serigala melarikan Yusuf dengan lebih dahulu menanggalkan bajunya?” (Lih Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 12. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002, hlm 197).

 

Hamka meneruskan: “Oleh sebab itu maka sabarnya Nabi Yakub adalah kesabaran yang benar-benar perjuangan batin yang hebat. Siapa yang tidak akan luka hatinya karena kehilangan anak yang sangat dicintai. Tetapi kalau beliau perturutkan hati duka itu, yang akan melarat hanyalah diri beliau sendiri juga. Betapa pun besar salah anak-anak yang masih tinggal itu, yaitu 10 orang, ditambah dengan seorang lagi, yaitu Bunyamin, adik seibu [seayah] dengan Yusuf, yang paling bungsu di antara mereka.” (Ibid., hlm 198-199).

 

Akhirnya, saya sarankan puan dan tuan membuka lagi kisah Yusuf yang mendebarkan ini sebagai sumber mata air ilham, yang tidak akan pernah kering.

 

Sebagai penutup, saya kutipkan tulisan almarhum Ali Audah, pengarang, pemikir, dan sastrawan autodidak, berikut ini: “Surah Yusuf yang terdiri atas 111 ayat ini hakikatnya kisah keluarga Yakub juga. Membaca kisah dalam surat ini, kita seperti membaca sebuah novel rohani yang begitu agung, dengan alur cerita yang memikat diseling dengan peristiwa-peristiwa yang kadang sangat mengharukan, kadang ada terjadi tiba-tiba dan mengejutkan di luar dugaan disertai trik-trik yang manis.” (Lih Ali Audah, Nama dan Kata Dalam Qur’an: Pembahasan dan Perbandingan. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2011, hlm 133).

 

Selamat mengikuti selanjutnya kisah Yusuf seutuhnya pada sumber lain, dengan drama darah palsu yang diperagakan saudara-saudaranya sendiri karena rasa dengki dan iri yang mendalam kepada adiknya yang tampan itu! []

 

REPUBLIKA, 05 Februari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar