Rabu, 03 Februari 2021

(Ngaji of the Day) Apakah Peternak Madu Wajib Mengeluarkan Zakat?

Salah seorang pembaca melayangkan pertanyaan kepada penulis mengenai zakat madu. Ia memiliki peternakan khusus lebah madu dan karenanya ia dikenal sebagai petani lebah madu. Setelah masuk tahun produksi hingga kurang lebih satu tahun, ia menanyakan, adakah ia termasuk pihak yang wajib mengeluarkan zakat? Berangkat dari sini, penulis menitiktekankan jawaban.

 

Sebenarnya, para ulama telah berbeda pendapat mengenai zakat madu. Para ulama dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah menetapkan bahwa tidak ada kewajiban zakat terkait dengan madu ini. Mereka berhujjah bahwa hadits yang dipergunakan untuk menetapkan wajibnya zakat madu ini, adalah lemah, sehingga tidak bisa digunakan sebagai dasar penetapan wajib zakat madu.

 

Imam al-Baihaqi (w. 458 H), menyatakan dalam kitab Sunan al-Baihaqi sebagai berikut:

 

قال الإمام الشافعي رضي الله عنه: الحديث في أن فِي الْعَسَلِ الْعُشْر ضعيف، وفي أن لَا يُؤْخَذُ مِنْهُ الْعُشْرُضعيف إلا عن عمر بن عبد العزيز، واختياري: أن لا يؤخذ منه؛ لأن السنن والآثار ثابتةٌ فيما يؤخذ منه، وليست فيه ثابتةً، فكأنه عَفْوٌ اهـ.

 

“Imam Syafi’i radliyallahu ‘anhu mengatakan bahwasanya hadits yang menyatakan ‘Sesungguhnya pada madu terdapat zakat 10% dari hasilnya’ merupakan hadits yang dlaif. Dan di dalam hadits yang lain yang mengatakan ‘tidak dipungut zakat sebesar 10%’, sanadnya juga lemah kecuali hadits dengan sanad dari Umar bin Abdu al-Aziz. Oleh karena itu, menurut pendapatku (al-Baihaqi): pada madu tidak wajib dipungut zakat, karena sesungguhnya sunnah-sunnah Nabi dan atsar sahabat itu harus bersifat tetap (tsabit) dalam menyatakan hukum terkait dengan persoalan. Sementara itu, pada beberapa hadits di atas, tidaklah hal tersebut bersifat tetap (tsabit) sehingga seolah berkesan bahwa zakat pada madu adalah yang dimaafkan” (Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 4, h. 214).

 

Sementara itu, dengan jalur riwayat dari Imam al-Bukhari (w. 256 H), Imam Syafi’i juga terekam mengatakan bahwasanya:

 

ليس في زكاة العسل شيء يصح

 

“Zakat madu itu tidak sah sama sekali” (Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., juz 4, h. 212).

 

Imam Abu Bakar ibn Mundzir (w. 309 H), salah seorang ulama pakar hadits di zamannya dan bergelar al-Hafidh, al-Faqih, sebagaimana direkam oleh al-Baihaqi (w. 458 H) di dalam kitabnya, juga mengatakan:

 

ليس في وجوب صدقة العسل حديث يثبت عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم ولا إجماع؛ فلا زكاة فيه اهـ.

 

“Tidak ada satu pun hadits yang menyatakan wajibnya zakat pada madu adalah yang bersifat pasti (tsubut) diriwayatkan dari Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam. Demikian juga, tiada satu pun ijma’ yang menyatakan. Oleh karenanya, tidak ada wajib zakat pada madu.” (Al-Baihaqi, Ma’rifatu al-Sunan wa al-Atsar, Kairo: Dar al-Wafa’, tt, Juz 6, h. 120)

 

Berbeda dari dua kalangan ulama di atas, maka ulama kalangan Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan wajibnya zakat pada madu, dan menyatakan wajibnya zakat tersebut sebesar 10%. Pertanyaannya kemudian adalah jika diwajibkan, lantas berapakah kadar nishabnya?

 

Sebagian ulama dari kalangan Hanafiyah menyatakan tidak ada ketentuan nishab di dalamnya. Sehingga kewajiban zakat untuk produk madu, adalah tidak mengenal sedikit atau banyak produksinya. Begitu ada aktivitas produksi maka sang pemilik wajib mengeluarkan zakat sebesar 10%. Namun, kalangan mazhab ini tidak satu dalam berpendapat.

 

Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H), salah satu ulama otoritatif dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan bahwa nishab madu adalah 8 furqan. Satu farq setara dengan 36 rithl ‘Baghdadi (408 gram x 36 = 14,688 kg). Jadi, 8 furqan itu setara dengan 177,5 kg.

 

Adapun Abu Yusuf (w. 182 H) menyatakan:

 

في كل عشرة أَزقاق زِق

 

“Di dalam tiap-tiap 10 azqaq, maka wajib mengeluarkan 1 zuq.”

 

Pendapat Abu Yusuf (w. 182 H) ini disandarkan pada hadits sahabat Ibnu Umar yang mengatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

 

في العَسَلِ في كُلِّ عَشَرةِ أَزُقٍّ زِقٌّ» رواه الترمذي

 

“Pada madu, bahwa tiap-tiap 10 azuq, wajib mengeluarkan 1 zuq.”

 

Namun, Abu Yusuf (w. 182 H) sendiri juga berkomentar bahwa:

 

حديث ابن عمر في إسناده مقال، ولا يصح عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم في هذا الباب كبير شيء اهـ.

 

“Haditsnya Ibnu Umar dalam sanadnya terdapat beberapa pendapat yang mengatakan. Untuk itu sangatlah tidak benar bila hadits tersebut dinisbatkan pada Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bab ini.” (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qur’anu li al-Qurthuby, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, tt., Juz 10, h. 140).

 

Melalui pernyataan Abu Yusuf ini, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwasanya pendapat jumhur ulama adalah berpendapat pada ketiadaan wajib zakat pada madu. Mengapa? Sebab tidak ada landasan dalil yang tsabit (teguh / tetap) yang bisa dijadikan dasar pijakan mewajibkannya. Oleh karena itu, maka berlaku qaidah, bahwa:

 

والأصل براءة ذمة المكلَّف حتى يدل الدليل على خلاف ذلك

 

“Hukum asal dari ketiadaan dalil adalah bebasnya tanggungan bagi mukallaf sehingga terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya tanggungan.”

 

Alhasil, mengeluarkan sebagian dari hasil madu, hukumnya adalah sunnah dan dinilai sebagai shadaqah tathawwu’ (sedekah dalam rangka kesunnahan). Yang barangkali wajib hukumnya dikeluarkan adalah bila hasil dari peternakan madu tersebut telah mencapai nishabnya zakat mal al-tijarah (zakat dagang), namun dengan catatan, nilai nishab itu telah disimpan selama 1 tahun. Wallahu a’lam bish shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah PW LBMNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar