Selasa, 16 Februari 2021

(Ngaji of the Day) Menginap di Lokasi Tujuan, Masih Bolehkah Menjama’ dan Mengqashar Shalat?

Jama’ dan qashar shalat merupakan salah satu keringanan (rukhshah) yang diberikan syariat kepada umat Islam. Shalat yang semula hanya dapat dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, dengan dilaksanakan secara jama’, shalat menjadi dapat diawalkan atau diakhirkan untuk digabung dengan shalat yang lain. Begitu pula dengan mengqashar, shalat yang semula berjumlah empat rakaat menjadi teringkas menjadi dua rakaat. Terkait dengan qashar ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

 

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرض فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصلاة إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الذين كفروا

 

“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qashar shalat, jika kamu takut di serang orang kafir” (QS An-Nisa’: 101).

 

Diksi “takut diserang orang kafir” dalam ayat di atas bukanlah suatu syarat dalam bolehnya melaksanakan qashar. Sehingga melaksanakan qashar titik tumpuannya adalah berpergian jauh (safar thawil) meskipun tidak ada kekhawatiran atas serangan oleh pihak tertentu.

 

Terkait persoalan menjama’ dan mengqashar shalat, tentunya banyak problem yang masih tidak diketahui oleh banyak orang, salah satunya tentang “Masih bolehkah menjama’ dan mengqashar shalat ketika kita menginap di lokasi tujuan?”

 

Dalam menjawab persoalan tersebut, hal pertama yang mesti dipahami adalah tentang batasan suatu perjalanan dianggap terputus (inqitha’ as-safar). Sebab dengan terputusnya suatu perjalanan, maka seseorang yang bepergian sudah tidak lagi diperbolehkan untuk menjama’ dan mengqashar shalat.

 

Perincian tentang terputusnya perjalanan seorang musafir secara umum terbagi menjadi tiga keadaan. Pertama, kembali ke tempat tinggalnya (wathan). Dalam keadaan demikian, perjalanan musafir menjadi terputus tatkala ia telah melewati batas desa tempat tinggalnya, sehingga ketika ia telah masuk di desa tempat tinggalnya ia sudah tidak diperkenankan untuk menjama’ dan mengqashar shalat.

 

Kedua, ketika ia mampir di suatu tempat namun tidak ada keperluan (hajat) apa pun. Maka dalam keadaan demikian diperinci, jika ia niat bermukim atau menginap di tempat tersebut selama empat hari lebih atau hanya niat bermukim secara mutlak, maka perjalanannya dianggap terputus dengan melewati batas desa di tempat tersebut, seperti halnya pada permasalahan kembali di tempat tinggalnya.

 

Sedangkan ketika seorang musafir tidak niat mukim atau niat menginap di tempat tersebut, atau ia niat mukim namun kurang dari empat hari, maka perjalanannya tidak langsung terputus dengan melewati batas masuk desa tempat tersebut, namun perjalanan menjadi terputus dengan ia tinggal atau menginap di tempat tersebut selama empat hari secara utuh, tanpa menghitung hari di mana ia sampai dan hari di mana ia pergi dari tempat tersebut.

 

Ketiga, ketika ia mampir di suatu tempat dengan adanya suatu keperluan (hajat). Maka dalam keadaan demikian, putusnya perjalanan dipandang dari batas selesainya keperluan musafir di tempat tersebut. Jika keperluannya tidak akan selesai dalam jangka waktu empat hari, maka perjalanannya dianggap terputus dengan sampainya dia di tempat tersebut. Baik ia melaksanakan niat mukim ataupun tidak.

 

Namun jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, sekiranya kurang dari empat hari. Maka perjalanannya tidak dihukumi terputus kecuali setelah melewati masa delapan belas hari. Pembatasan terputusnya perjalanan dengan delapan belas hari pada permasalahan ini, berdasarkan hal yang dilakukan oleh Rasulullah setelah Fathu Makkah pada saat menunggu kepastian selesainya perang Hawazin.

 

Segala perincian di atas tentang putusnya perjalanan (inqitha’ as-safar) yang menyebabkan seorang musafir tidak dapat mengqashar dan menjama’ shalat, berdasarkan referensi dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin:

 

وحاصل ما يقال فيه أنه رجع بعد سفره من مسافة القصر إلى وطنه انتهى سفره بمجرد وصول السور إن كان، سواء نوى الاقامة به أم لا، كان له فيه حاجة أم لا. وأما إذا رجع إلى غير وطنه، ولم يكن له حاجة، ونوى قبل الوصول إليه إقامة مطلقا أو أربعة أيام صحاح، وكان وقت النية ماكثا مستقلا، انتهى سفره بمجرد وصول السور أيضا. أما إذا لم ينو أصلا، أو نوى إقامة أقل من أربعة أيام، فلا ينتهي سفره بوصول السور، وإنما ينتهي بإقامة أربعة أيام صحاح، غير يومي الدخول والخروج.

 

“Kesimpulan tentang permasalahan terputusnya bepergian, bahwa jika musafir (Orang yang bepergian) kembali dari bepergiannya dari jarak mengqashar shalat menuju tanah kelahirannya, maka terputus bepergiannya dengan sampai di batas desa, jika memang ada. Baik dia niat mukim ataupun tidak. Baik ada keperluan (hajat) ataupun tidak. Adapun ketika seseorang kembali (atau sampai) ke selain tempat tinggalnya dan dia tidak ada keperluan apa pun berkunjung di tempat tersebut dan sebelum sampai di tempat tersebut ia niat mukim secara mutlak, atau mukim selama empat hari secara utuh, dan ia dalam keadaan mandiri (tidak tergantung dengan siapa pun) maka bepergiannya dianggap terputus dengan melewati batas desa. Adapun ketika ia tidak niat sama sekali atau ia niat mukim kurang dari empat hari, maka bepergiannya tidak dianggap putus dengan melewati batas desa tersebut, tapi terputus dengan mukim di tempat tersebut selama empat hari selain hari ia sampai dan hari ia keluar dari tempat tersebut.

 

وأما إذا كان له حاجة، فإن لم يتوقع انقضاءها قبل أربعة أيام، بل جزم بأنها لا تقضى إلا بعد الاربعة، انتهى سفره بمجرد المكث والاستقرار، سواء نوى الاقامة بعد الوصول أم لا. فإن توقع انقضاءها كل يوم، لم ينته سفره إلا بعد ثمانية عشر يوما صحاحا.

 

“Sedangkan ketika ia berkunjung ke tempat selain tempat tinggalnya karena terdapat suatu keperluan (hajat), jika keperluannya tidak dapat selesai sebelum empat hari, tetapi butuh lebih dari empat hari, maka bepergiannya dianggap terputus dengan berdiamnya dia di tempat tersebut. Baik ia melakukan niat mukim setelah sampai di tempat tersebut ataupun tidak. Jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, maka bepergiannya tidak terputus kecuali setelah ia berada di tempat tersebut selama delapan belas hari secara utuh” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 116)

 

Berdasarkan berbagai perincian putusnya perjalanan dalam permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika kita terapkan dalam permasalahan bolehnya menjama’ dan mengqashar shalat di lokasi tujuan, tentunya terdapat berbagai perincian yang disesuaikan dengan keperluan (hajat) yang dilakukan oleh seseorang tatkala berada di tempat tujuan tersebut, sebab permasalahan ini hampir sama dengan keadaan ketiga dalam perincian hukum di atas. Jika keperluannya di tempat tersebut lebih dari empat hari, maka tatkala ia sampai di tempat tujuannya ia dianggap terputus perjalanannya, sehingga sudah tidak boleh baginya melaksanakan shalat dengan cara jama’ dan qashar. Namun jika keperluannya dapat selesai kurang dari empat hari, maka ia dapat menjama’ dan mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari, seandainya saja ia memutuskan untuk menginap di tempat tersebut lebih lama.

 

Berbeda halnya jika seorang musafir menginap di suatu tempat tanpa adanya keperluan apa pun, misalkan hanya sebatas transit di rumah temannya, karena tujuan perjalanan yang begitu jauh sehingga butuh istirahat, maka dalam keadaan demikian sama persis dengan perincian kedua dalam pembahasan yang telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar