Rabu, 17 Februari 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al Qur'an (11) Kedudukan Politik Nabi Muhammad SAW (1)

Etika Politik dalam Al Qur'an (11)

Kedudukan Politik Nabi Muhammad SAW (1)

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Selalu menarik untuk didiskusikan tentang kedudukan politik Nabi, apakah ia memiliki status Kepala Pemerintahan dunia Islam di samping kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul? Apakah peran politik yang diperankan Nabi terpisah dengan kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul? Atau peran politiknya menjadi bagian dari misi kenabian dan kerasulannya? Jika peran politik Nabi terpisah dengan kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul yang menjadi misi utamanya maka peran politik yang dilakukannya dapat dikatakan tidak mengikat (hujjah) bagi umat lain yang hidup di luar wilayah dan kurun waktu pemerintahannya. Kebijakan-kebijakan politiknya lebih merupakan pijakan moral bagi umatnya, bukannya sebagai bagian kerasulannya yang mengikat umatnya baik di masa hidupnya maupun di masa sesudahnya sampai akhir zaman.

 

Akan tetapi jika peran politiknya satu paket dengan misi kerasulannya, maka seluruh kebijakan politik Nabi menjadi hujjah bagi umatnya. Berbagai kebijakan politik Nabi seperti penataan kota Madinah dan wilayah-wilayah yang dikuasainya dapat dikatakan kebijakan politik Islam yang harus dijadikan patokan di dalam menyelenggarakan kepemimpinan umat. Kelompok tekstualis selalu mengklaim kapasitas Nabi di Madinah selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai kepala pemerintahan yang tak terpisahkan dengan kenabian dan kerasulannya. Apapun yang dilakukan Nabi, baik urusan keagamaan maupun urusan pemerintahan semuanya menjadi bagian dari kenabian dan kerasulannya yang harus dilestarikan sepanjang masa. Termasuk kebijaksanaan ekonomi yang mengelola kekayaan negara melalui Baitul Mal yang dipercayakan kepemimpinannya kepada Abi Hurairah.

 

Dalam lintasan sejarah kehidupan Nabi, memang tidak banyak melakukan tindakan yang dapat dikategorikan tindakan politik praktis, karena Nabi lebih banyak menjalankan misi kenabian dan kerasulan. Hal ini disebabkan karena kandungan ayat-ayat Al-Qur'an yang diterimanya memang sangat terbatas berbicara tentang urusan politik. Dalam penelitian Abd Wahhab, ayat-ayat yang berbicara tentang urusan politik tidak lebih dari 10 ayat, itu pun tidak ada yang berbicara tentang mekanisme politik tetapi lebih merupakan seruan moral atau etika politik. Nabi juga tidak pernah memberikan wasiat kepada para sahabatnya tentang mekanisme politik seperti apa yang harus dilaksanakan di dalam suksesi kepemimpinan. Terbukti empat khalifah Nabi, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali peroses pengangkatannya berbeda satu sama lain. Seandainya Nabi pernah menetapkan model atau system politik tersendiri di dalam Islam maka sudah barang tentu bisa kita melihat adanya keseragaman pola pada suksesi para khalifahnya, namun dalam kenyataannya.

 

Tidak heran ketika Nabi wafat jenazahnya sempat tertunda tiga hari untuk dimakamkan karena antara lain kesibukan para tokoh sahabat senior membicarakan siapa yang akan menggantikan Nabi sebagai pemimpin dan kepala pemerintahan di Madina. Para pihak yang terdiri atas kaum Anshar diwakili dua suku terbesar yaitu pemimpin suku Khazraj dan Suku 'Aus ditambah tokoh dari Muhajirin yang pada waktu itu diwakili oleh Abu Bakar yang kemudian terpilih sebagai pengganti Nabi sebagai pemimpin spiritual dan pemerintahan di kota Madinah. Para tokoh ini bersidang di teras Banū Sa'īdah, di luar kota Madinah. Pertemuan dengan mengedepankan ikatan primordial sesungguhnya tidak pernah lagi dilakukan Nabi karena itu merupakan tradisi jahiliah. Dalam tradisi Arab pra Islam dikenal ada dewan suku berfungsi untuk membicarakan pergantian pimpinan yang meninggal.

 

Nabi semasa hidupnya selalu berusaha menghindari pertemuan yang berbasis etnik atau golongan, tetapi berusaha untuk mengedepankan pertemuan yang berbasis keumatan, yakni komunitas yang diikat oleh dasar keimanan. Kelihatan sekali Nabi berusaha untuk menggantikan secara total system kabilah ke system ummah semasa hidupnya. Nabi memilih demikian karena risiko komunitas berbasis ummah lebih amal daripada komunitas berbasis kabilah atau suku. Al-Qur'an sendiri dengan tegas memberikan dukungan terhadap sikap Nabi itu di dalam ayat: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Q.S. A-Hujurat/49:13). []

 

DETIK, 02 Oktober 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar