Aturan dan Cara Niat
Melakukan Shalat
Di dalam ajaran agama Islam niat menempati
posisi penting dalam melakukan berbagai ibadah. Di samping sebagai salah satu
rukun yang menentukan keabsahan suatu ibadah niat juga menjadi penentu apakah
sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf dianggap sebagai ibadah
atau tidak. Niat pula yang menentukan kualitas ibadah seseorang.
Di dalam shalat ada tata cara tertentu yang
mesti dilakukan dalam berniat. Dalam madzhab Syafi’i, satu hal yang paling
mendasar yang mesti diperhatikan adalah bahwa niat shalat dilakukan di dalam
hati bersamaan dengan pengucapan takbiratul ihram. Mengucapkan niat shalat
dengan mulut sebelum takbratul ihram adalah bukan kewajiban namun suatu
kesunnahan untuk dapat membantu hati mengucapkannya pada saat mulut mengucapkan
takbiratul ihram (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kâsyifatus Sajâ [Jakarta:
Darul Kutub Islamiyah, 2008], hal. 90).
Sebagai gambaran bisa dicontohkan, bila
seorang yang hendak melakukan shalat sebelum mengucapkan takbiratul ihram ia
mengucapkan niat dengan mulutnya, namun saat takbiratul ihram hatinya tidak
mengucapkan niat tersebut maka tidak sah niatnya dan karenanya tidak sah pula
shalatya.
Berikutnya, orang yang hendak melakukan
shalat sebelum mengucapkan takbiratul ihram ia diam saja, tidak mengucapkan niat
dengan mulutnya, namun pada saat mengucapkan takbiratul ihram dibarengi hatinya
mengucapkan niat maka sah niatnya.
Yang sunnah adalah bila seorang hendak
melakukan shalat sebelum mengucapkan takbiratul ihram ia mengucapkan niat
dengan mulutnya, lalu ketika mengucapkan takbiratul ihram hatinya membarengi
dengan mengucapkan niat.
Dari gambaran-gambaran tersebut maka
seandainya terjadi kesalahan pengucapan niat di mulut namun benar pengucapannya
di dalam hati maka niat tersebut dianggap sah karena yang dipakai adalah niat
yang ada di dalam hati. Sebagai contoh, orang yang hendak melakukan shalat
maghrib sebelum takbiratul ihram mulutnya mengucapkan niat dengan menyebut
shalat isya, sementara ketika takbiratul ihram hatinya berniat dengan
menyebutkan shalat maghrib maka sah niat dan shalatnya. Namun bila yang terjadi
sebaliknya maka tidak sah niat dan shalatnya.
Selanjutnya para ulama mengatur tata cara
berniat shalat dengan melihat status hukum shalatnya. Sebagaimana yang
dituturkan Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Najâ:
النية
ثلاث درجات: ان كانت الصلاة فرضا وجب قصد الفعل والتعيين والفرضية وان كانت نافلة
مؤقتة كراتبة او ذات سبب وجب قصد الفعل والتعيين وان كانت نافلة مطلقة وجب قصد
الفعل فقط
Artinya: Niat shalat itu ada 3 (tiga) tingkatan;
bila shalatnya fardlu maka wajib memuat tiga unsur menyengaja melakukan
pekerjaan (qashdul fi’li), menentukan shalatnya (ta’yin), dan menyebutkan
kefardluan (fardliyah). Bila shalatnya sunah yang tertentu waktunya seperti
shalat rawatib atau shalat yang memiliki sebab maka niatnya wajib memenuhi
unsur menyengaja melakukan pekerjaan dan menentukan shalatnya. Dan bila
shalatnya sunah mutlak maka niatnya wajib memenuhi unsur menyengaja melakukan
pekerjaan saja” (lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami [Jedah: Darul Minhaj,
2009], Hal. 33).
Lebih lanjut apa yang disampaikan Syekh Salim
di atas dijelaskan oleh Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Niat shalat fardlu harus mencakup tiga
unsur yakni qashdul fi’li, ta’yin dan fardliyah.
Yang dimaksud dengan qashdul fi’li adalah
berniat melakukan shalat dimana dalam kalimat niat berupa kata “usholli” yang
berarti saya berniat shalat. Adapun yang dimaksud ta’yin adalah menentukan nama
shalatnya seperti maghrib, isya atau lainnya. Sedangkan yang dimaksud fardliyah
adalah menyebutkan kata fardla pada saat berniat.
Dengan demikian maka kalimat niat untuk
shalat fardlu—semisal shalat madhrib—adalah:
اُصَلي
فرض المغرب
Ushallî fardlal maghribi
“Saya berniat shalat fardlu maghrib”
2. Niat shalat sunah yang telah ditentukan
waktunya atau shalat sunah yang memiliki sebab dalam niatnya wajib memuat dua
unsur yakni qashdul fi’li dan ta’yin.
Shalat yang telah ditentukan waktunya seperti
shalat dluha, shalat tahajud, shalat tarawih dan lainnya. Sedangkan shalat yang
memiliki sebab seperti shalat istisqa, shalat hajat, shalat gerhana dan
lainnya.
Kalimat niat untuk shalat ini—semisal untuk
shalat tahajud—adalah:
اُصَلي
التهجد
Ushallît tahajjuda
“Saya berniat shalat tahajud”
3. Niat shalat sunah mutlak cukup hanya
dengan memenuhi unsur qashdul fi’li saja.
Yang disebut shalat sunah mutlak adalah
shalat sunah yang tidak terikat oleh waktu dan sebab tertentu. Sebagai
gambaran, bila sewaktu-waktu tanpa sebab tertentuseseorang ingin melakukan
shalat sunah maka shalat yang dilakukannya itu adalah shalat sunah mutlak.
Kalimat niat untuk shalat ini cukup dengan
kata:
اُصَلي
Ushalî
“Saya berniat shalat”
Kalimat-kalimat niat tersebut di atas sudah
mencukupi tanpa harus ada tambahan kata mustaqbilal qiblati, adâ’an,
lillâhi ta’âlâ atau penyebutan jumlah bilangan rakaat seperti rak’ataini,
arba’a raka’âtin atau tsalâtsa raka’âtin. Karena kata-kata
tambahan tersebut berstatus hukum sunah. Bila yang bersangkutan menyebutkan
bilangan rakaat namun salah tidak sesuai dengan bilangan yang semestinya maka
menjadikan shalatnya tidak sah. Seperti mau melakukan shalat dhuhur tapi dalam
niatnya menyebutkan tiga rakaat.
Hanya saja bila orang yang mau melakukan
shalat secara berjamaah dan ia sebagai makmum maka pada niatnya harus ditambahi
kata ma’mûman. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar