Kejahatan
Kebencian
Oleh:
Azyumardi Azra
Meskipun
kasuistik dan isolated; serangan fisik, pembacokan, atau penganiayaan oleh
orang tertentu terhadap fungsionaris agama, semacam kiai atau ustaz, dan juga
pastor, di beberapa tempat di Tanah Air dalam dua bulan terakhir penting
diwaspadai. Tanpa harus membesar- besarkan, aksi semacam ini perlu diantisipasi
setiap mereka yang peduli karena dapat merusak tenunan masyarakat dan kohesi
sosial.
Kita
patut bersyukur, kasus-kasus penganiayaan yang menghebohkan gagal menciptakan
konflik intra dan antaragama di antara umat beragama. Respons cepat para
pemimpin agama, elite sosial-budaya, dan kalangan warga mampu meredam
kemungkinan meletupnya konflik intra dan antaragama yang tidak menguntungkan
kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Peningkatan
kewaspadaan elite kepemimpinan, politik, agama, dan sosial-budaya pada berbagai
level—nasional, lokal, dan alas rumput—sangat diperlukan. Hal ini tak lain
karena kasus- kasus memprihatinkan itu tampaknya hanyalah ”puncak dari gunung
es” masalah lebih luas.
Kejadian
nestapa seperti itu bisa marak pada tahun politik 2018 (dengan pilkada di 171
daerah) dan Pemilu Legislatif (Pileg) serta Pemilu Presiden (Pilpres) 2019
karena meningkatnya eskalasi politik. Seperti terjadi dalam kontestasi politik
sebelumnya —Pilkada 2016-2017 serta Pileg dan Pilpres 2014—muncul berbagai isu
yang dapat mendorong aksi kekerasan terhadap fungsionaris agama, baik
lingkungan intra maupun antaragama.
Kekerasan
terhadap fungsionaris agama belakangan ini terlihat mengandung ”kejahatan kebencian”
(hate crime). Berbeda dengan kejahatan atau aksi kriminal biasa, ”kejahatan
kebencian” didasarkan pada prasangka (prejudices), bias, permusuhan, dan
kebencian pelakunya terhadap orang atau komunitas lain yang berbeda dengan
dirinya.
Perwujudan
”kejahatan kebencian” dapat mengambil berbagai bentuk. Pertama, dapat bermula
dengan kekerasan verbal yang kemudian meningkat menjadi intimidasi dan
kekerasan fisik. Kedua, bentuk kejahatan kebencian dapat mengakibatkan trauma
psikologis bagi korban; dan dalam skala luas dapat menimbulkan kekhawatiran,
ketakutan, kecurigaan, serta permusuhan di antara berbagai komunitas.
Lazimnya
”kejahatan kebencian” terjadi terhadap orang atau kelompok yang berbeda agama
dan keyakinan, ras atau etnisitas, sosial-budaya, serta sosial-ekonomi. Dalam
kerangka yang sudah lama populer di Tanah Air, ”kejahatan kebencian” terutama
terkait penyalahgunaan (use dan abuse) isu SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan).
Fenomena
hate crime sering terkait dengan faktor politik dan ekonomi. Berbeda dengan
masa otoritarianisme Orde Baru yang sangat sensitif dan represif dalam isu
SARA—dapat menjadi kejahatan kebencian yang mengganggu stabilitas nasional—di
masa reformasi dengan liberalisasi politik dan demokratisasi, kejahatan
kebencian tampak terus bertumbuh.
Ekuilibrium
politik yang belum tercapai juga setelah Indonesia menerapkan demokrasi liberal
multipartai hampir dua dasawarsa membuat kontestasi dan fragmentasi politik
terus berlanjut. Dalam keadaan ini, ada kalangan kekuatan politik dan elite
yang turut menciptakan iklim cukup kondusif bagi tumbuhnya kejahatan kebencian.
Hal ini, misalnya, karena sikap dan gesture yang seolah merestui (condoning)
orang atau kelompok yang punya tendensi melakukan hate crime.
Pertumbuhan
kejahatan kebencian kian merebak akibat penyebaran ideologi religio-politik
transnasional. Terdapat elemen tertentu dalam paham dan praksis transnasional
ini yang dapat mendorong tumbuhnya kejahatan kebencian.
Kejahatan
kebencian mengalami eksplosi penyebaran dan penggunaan media sosial. Nyaris tak
terkontrol, media sosial menjadi wahana penyebaran hoaks, fitnah, provokasi,
ujaran kebencian (hate speech) yang mengilhami dan menjerumuskan warga
melakukan kejahatan kebencian.
Kejahatan
kebencian jelas tak kondusif bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Jika berkelanjutan tanpa kontrol, konflik dan disintegrasi bisa terjadi pada
berbagai level kehidupan sejak dari agama, politik, sampai sosial-budaya.
Pencegahan
kejahatan kebencian mesti dimulai para elite politik, keagamaan, dan
sosial-budaya sejak dari tingkat nasional, lokal, sampai alas rumput. Elite
politik dan politisi yang bertarung dalam kontestasi politik wajib menghindari
isu yang dapat menjadi motif orang tertentu untuk melakukan kejahatan
kebencian.
Pada saat
yang sama, wajib pula ada penegakan hukum yang tegas tetapi terukur, adil,
transparan, dan kredibel. Aparat kepolisian perlu secara cepat mengusut pelaku
kebencian, tetapi tidak secara terburu-buru dan sepihak menyatakan pelaku
kebencian sebagai ”orang gila” atau ”tidak waras”.
Untuk
sampai pada ”penetapan” seperti itu, semestinya Polri melibatkan psikolog dan
psikiater profesional. Jika tidak, kalangan masyarakat dengan segera membangun
persepsi tentang adanya konspirasi atau mastermind yang secara sistematis dan
terstruktur melakukan penganiayaan dan persekusi terhadap fungsionaris agama.
Kejahatan
kebencian mesti pula memerlukan ketentuan hukum komprehensif. Sejauh ini,
ketentuan hukum hanya tersedia dalam beberapa undang-undang yang terpisah satu
sama lain, yang belum memadai untuk menghadapi kejahatan kebencian.
Oleh
karena itu, perlu segera ada UU khusus berkenaan dengan kejahatan kebencian. UU
ini mestilah lebih keras dan tegas dibandingkan dengan ketentuan hukum
kejahatan biasa karena dampak kejahatan kebencian yang sangat destruktif
terhadap kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. []
KOMPAS,
22 Februari 2018
Azyumardi
Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar