Fir’aun dan Masitah
Lesbumi Kalimantan Selatan
Titik silang
pertemuan NU dengan kebudayaan modern, setidaknya dalam Chisaan (2008), adalah
melalui transformasi dunia pendidikan dan kiprahnya yang makin intens dalam
perpolitikan Indonesia di tahun 60an. Sebelumnya mungkin kesenian di dalam
kultur NU hanyalah hadrah, pencak silat (seni beladiri), terbangan atau rebana,
dan kesenian-kesenian dalam konteks keagamaan lainnya semacam Tilawah Al-Qur’an
dan pembacaan syair puji-pujian kepada Nabi SAW.
Sejak berdirinya
Lesbumi yang diprakarsai tiga seniman film—Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan
Asrul Sani—pada tahun 1962 terjadi perubahan cara pandang, setidaknya dalam
lingkup pragmatis-politik dan kesenian, dalam melihat seni modern seperti
puisi, drama, seni rupa, dan film.
Sementara sebelumnya,
paling tidak sampai tahun 1954 dalam Muktamar NU ke-20 (menurut catatan buku
Ahkamul Fuqaha, 2011), bahkan hukum sandiwara dalam konteks propaganda Islam
dinyatakan tidak boleh, terutama jika di dalamnya terdapat kemungkaran.
Kemungkaran dimaksud tentu saja salah satunya percampuran laki-perempuan dalam
satu kegiatan. Dasar pengambilan hukumnya di sandarkan pada nukilan al-Mawahib
al-Saniyah dalam al-Asybah wa al-Nazha’ir, “Bila ada halal dan haram (dalam
satu kasus) maka yang haram yang dimenangkan” (Ahkamul Fuqaha, h. 292).
Di antara tujuan
pendirian Lesbumi sebagaimana tertera dalam Anggaran Dasar 1962 itu, saya kira
yang cukup menarik dan bernilai progresif adalah poin 4, 5, dan 7 (dari sepuluh
poin yang ada). Tiga poin ini bicara tentang mengembangkan kesenian/
kebudayaan Islam dalam konteks kebudayaan nasional, soal penafsiran yang
benar tentang seni Islam, dan mencari titik persesuaian yang bersifat positif pada
seni yang bersumber dari luar Islam.
Tentu saja tiga poin
tersebut memunculkan dinamika tersendiri di dalam tubuh NU sebagai organisasi
yang dikesani banyak orang bersifat tradisional. Sementara di satu sisi NU
adalah tempatnya para kiai tradisional yang berpegang pada literatur klasik
(kitab kuning) dalam menghukumi persoalan yang muncul di masyarakat, di sisi
yang lain transformasi pendidikan yang terjadi dan akibat persinggungan NU
dengan politik yang keras pra-dan-pasca peristiwa ’65 dalam sejarah kebangsaan
Indonesia memunculkan sikap pragmatis yang harus diambil dalam kontestasi
politik dan budaya.
Saat itu adalah
ketika NU dengan Lesbumi-nya menjadi corong atau artileri yang paling efektif
dalam melawan gerakan agitatif-agresif Lekra. Kurang lebih demikian kata
Misbach Yusa Biran. Hingganya, Misbach yang awalnya komisaris HSBI (Himpunan
Seni Budaya Islam/ Masyumi) memutuskan pindah, setelah diminta, menjadi ketua
Komda (Komisariat Daerah) Lesbumi di Jakarta.
Begitu pulalah
keadaannya yang terjadi di daerah-daerah, terutama yang basis massa Islamnya
cukup besar. Kalimantan Selatan atau Banjarmasin (ibukota Kalsel), misalnya.
Seperti yang pernah
disampaikan dramawan (alm) Adjim Arijadi kepada saya, peristiwa di sekitar ’65
itu sangatlah hingar-bingar. Para seniman Muslim, baik yang tergabung dalam
Lesbumi maupun HSBI, berhadap-hadapan secara intelektual maupun fisik dengan mereka
yang tergabung dalam Lekra. Bahkan situasi berhadapan ini terus terbawa ke masa
sesudahnya, ketika (seperti dinyatakan) Misbach Tamrin mengerjakan proyek
monumen di kota Banjarmasin pada tahun ‘90an.
Pasca peristiwa ’65,
kegiatan Lesbumi kota Banjarmasin memasuki era keemasannya. Di Kalsel sendiri,
seperti dinyatakan Abdullah SP (mantan Sekretaris Lesbumi kota Banjarmasin),
yang membawa Lesbumi adalah Sastrawan Hijaz Yamani (1933-2001). Hijaz adalah
tokoh sastra kelahiran Banjarmasin yang pada tahun 1961 hingga 1970 pindah
bekerja di Surabaya. Sambil bekerja, di kota pahlawan ini ia menyelesaikan
tingkat sarjana muda-nya di FKIP Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama
(UNNU). Antara tahun 1964-1970 ia menjadi Ketua Komda Lesbumi Jawa Timur.
Sebelum ke Surabaya Hijaz sudah dikenal sebagai sastrawan yang aktif dalam
dunia kesasteraan Kalsel. Ia pernah menjadi pendiri sekaligus ketua Ikatan
Pecinta Seni Sastra Banjarmasin (1954-1957) dan pendiri serta sekretaris
pertama Lembaga Kebudayaan Daerah Kalimantan (1957-1960).
Abdullah SP mengaku
aktif di Lesbumi kota Banjarmasin sejak tahun 1966 hingga 1970. Sebelum ia
bergabung Lesbumi sudah hidup di Kalimantan Selatan, kakaknya Hamdani pernah
menjadi Ketua Lesbumi Kalsel. Pada masa itu sekretariat Lesbumi, yang mereka
“plang-i” Sanggar Ampih Marista, berada di kantor PWNU Kalsel, berupa dua
ruangan di bagian belakang yang mereka (para seniman) inapi. Beberapa tokoh
seniman Kalsel yang pernah tinggal di “sanggar” itu, selain Abdullah, adalah
Ajamuddin Tifani, Bakhtiar Sanderta (Ketua Lesbumi Kota Banjarmasin),
Iberamsyah Barbari, dan masih ada beberapa lagi. Mereka ini umumnya adalah
seniman serba bisa, karena kegiatan yang padat menuntut mereka untuk itu.
Mereka berkegiatan rutin: menulis (puisi, cerpen), melukis, mendekor, dan
bermain drama.
Salah satu even besar
yang pernah mereka selenggarakan, misalnya, pementasan drama Fir’aun dan
Masitah (karya dan sutradara Bakhtiar Sanderta) yang mengambil tempat di tengah
jalan raya di antara gedung NU dan Masjid Noor, yang memang berseberangan.
Pementasan ini menyebabkan jalan raya harus ditutup sepanjang kurang lebih
setengah kilometer. Selain itu, anggota Lesbumi selalu mengisi
kegiatan-kegiatan NU di Kalimantan Selatan, baik di ibukota Banjarmasin maupun
di kota-kabupaten Kalsel lainnya.
Ada satu kejadian
yang cukup berkesan bagi Abdullah, yang diamini Sirajul Huda (budayawan Kalsel
yang juga pernah menjadi anggota Lesbumi), ketika mentas di kota Martapura
(Kabupaten Banjar). Martapura sampai sekarang masih menjadi kota santri di mana
banyak tokoh ulama besar Kalsel tinggal berdiam.
Saat itu Lesbumi
menyelenggarakan pentas drama Fir’aun dan Masitah di pasar Martapura. Jarak
Banjarmasin-Martapura ketika itu menurut Abdullah tidak “sedekat” sekarang yang
bisa ditempuh hanya dalam waktu 40an menit. Mereka ketika itu ketinggalan salah
satu peralatan pementasan yang cukup vital fungsinya, dan untuk itu mereka
harus berimprovisasi sedemikian rupa menyiasatinya karena tak mungkin pulang ke
Banjarmasin untuk mengambil alat dalam waktu yang singkat. Kejadian yang lebih
berkesan lagi terjadi besok harinya, setelah malam itu mereka pentas.
Para pemain dan kru
pementasan dikumpulkan dan dipanggil oleh seorang ulama besar yang saat itu
sangat berpengaruh di Martapura dan Kalsel. Mereka ditanya macam-macam, dan
pungkasannya mereka disuruh bertobat. Dengan pementasan drama itu mereka telah
dianggap kafir, terutama yang paling disoroti adalah pemain tokoh Fir’aun,
yaitu seniman Ian Abeba yang juga anggota Banser.
Para seniman ini
bukannya tak menjelaskan tentang maksud kesenian yang mereka lakoni. Namun
begitu, kata Abdullah, apa pun alasan yang mereka kemukakan tak dianggap oleh
sang ulama, sehingga mereka kemudian hanya diam dan pasrah disuruh tobat.
Nama sanggar Ampih
Marista bukannya tanpa alasan mereka jadikan plang nama. Kehidupan seniman ala
bohemian saat itu yang penuh kesusahan secara materi beserta persoalan
idealisme yang mengikutinya sudah jadi bagian yang melekat pada diri mereka.
Dan semua itu terasa hilang ketika mereka berkumpul, berkarya dan bercengkerama
di sekretariat Lesbumi ketika itu. Ampih marista sendiri bahasa banjar yang
artinya “selesai penderitaan”.
Namun segala
keramaian dan dinamika kesenian ini akhirnya harus “selesai” pada awal ’70an.
Politik praktis yang makin menyeret NU ke lingkaran puncak di Kalsel
mengecewakan mereka. Idealisme kesenian dan sikap atau janji politik yang tak
juga mengangkat mereka ke taraf yang lebih baik, membuat mereka membubarkan
diri dan beberapanya kemudian bergabung ke Sanggar Budaya Kalsel yang pada
masanya berafiliasi ke HSBI. Bakhtiar Sanderta, tokoh dan Ketua Lesbumi kota
Banjarmasin, sendiri di tahun 1990an menjadi Kepala Taman Budaya Kalsel yang
paling dicintai hingga akhir hayatnya, dan namanya diabadikan menjadi nama
panggung terbuka di kawasan Taman Budaya Kalsel saat ini.
[]
(Hajriansyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar