Selasa, 25 September 2018

Haedar Nashir: Paradoks Radikalisme


Paradoks Radikalisme
Oleh: Haedar Nashir

DIKSI radikal sangat populer di Indonesia, selain di mancanegera. Berbagai pihak menjadikan isu radikal dan radikalisme sebagai bahan diskusi, kajian, dan tentu saja penangkalan yang sifatnya extraordinary alias gawat darurat.

Sebagian malah menjadikannya lahan komoditas, proyek, dan politisasi yang seksi. Padahal, siapa pun yang terkena label radikal dan radikalisme sontak menjelma sebagai hantu yang menakutkan sekaligus menjadi musuh bersama dunia.

Rujukan radikal di negeri ini tidak jarang dikonotasikan dengan radikalisme agama, lebih khusus radikal Islam. Tautan radikal Islam itu bahkan berindentik dengan ekstremis atau jihadis dan teroris, yang identifikasinya samar maupun terbuka sering atau pada umumnya tertuju pada golongan tertentu umat Islam.

Sejumlah pihak boleh membantah secara verbal atas deskripsi radikal yang serba menjurus itu, tetapi diakui atau tidak tampak kuat konotasi dan identifikasinya radikalisme tertuju pada Islam dan umat Islam.

Kadang terjadi paradoks atau ambigu. Ketika ada perangai dan tindakan serupa di tempat dan golongan lain, nyaris tidak dikategorisaskan radikal dan radikalis.

Kelompok tertentu yang mengangkat senjata dan sesekali memekikkan slogan merdeka di suatu daerah yang melahirkan anarki dan kekecauan, belum terdengar disebut radikalis dan teroris. Mereka malah tidak disebut separatis. Hanya sebatas disebut gerakan pengacau keamanan dan kelompok kriminal bersenjata.

Ketika sekelompok orang Islam berujar rela mati demi agama, sontak label radikal tertuju kepadanya. Kata jihad pun sepenuhnya menjadi negatif dan identik dengan radikal yang mengandung makna kekerasan jalanan.

Setelah itu dipulerkan di ruang publik sebutan kaum jihadis yang maknanya sama dengan radikalis-teroris. Diksi “Wahabi” sering dipertautkan dengan aura negatif kaum jihadis, radikalis, dan teroris yang menakutkan itu.

Berbeda ketika sekelompok orang menyuarakan “rela mati demi NKRI” sampai slogan “NKRI harga mati”. Kendati sesekali ada sejumlah aksi disertai cap jempol darah, gerakan kebangsaan seperti itu tidak akan dituding sebagai radikal dan radikalis.

Mereka sebaliknya dikategorikan sebagai pembela Tanah Air sejati. Mereka disebut para pahlawan nasionalis yang berada di garda depan dalam membela Indonesia, Pancasila, kebinekaan, dan UUD 1945. Mereka adalah para “mujahid kebangsaan”.

Ketika sekelompok orang atas nama agama melakukan sweeping tempat maksiat yang tentu saja tidak benar secara hukum karena mengambil alih tugas kepolisisan, mereka disebut radikalis Islam. Namun, manakala sekelompok orang atas nama nasionalisme dan bela NKRI melakukan sweeping atau mengusir kelompok lain yang berbeda haluan politik dan beda paham agama, tidak disebut radikalis.

Lebih-lebih manakala tindakan radikal atas nama bela Tanah Air itu menggunakan slogan “hubbul wathan”, maka terbangunlah citra nasionalisme tulen. Padahal sama radikalnya, yang melahirkan paradoks tentang radikalisme!

Objektivasi Pandangan

Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalamdunia pemikiran dan gerakan. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata radikal berasal dari akar kata radix (Latin) berarti origin (asli) atau root (akar).

Mereka yang menganut paham radikal artinya yang ingin kembali ke sesuatu yang asli atau akar yang sifatnya mendasar. Jika beragama, berarti kembali ke fondasi yang murni dan mendasar, yaitu keyakinan seperti akidah, demikian pula radikal dalam ideologi atau sikap hidup lainnya.

Radikal ialah usaha bersama untuk mengubah status-quo (Collins Dictionary of Sociology, 1991). Gerakan sosial radikal ialah “gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan yang berkuasa” (Kartodirdjo, 1973).

Adapun radikalisme ialah suatu paham atau gerakan mengambil sesuatu hingga ke akarnya (taking things by the roots), tulis Anthony Giddens (1994). Dalam kajian Giddens, menjadi radikal berarti memiliki wawasan tertentu untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu. Beberapa mereka yang radikal memang revolusioner meski tidak indentik semuanya revolusioner.

Karenanya, pada awalnya tidak ada yang salah dengan radikal. Boleh jadi karena ingin kembali ke asli atau akar, sebagian kaum radikalis menjadi “true believers” atau kelompok fanatik buta, dari sinilah benih radikalisme yang eksklusif, monolitik, dan intoleran. Namun, sikap kepala batu seperti ini milik semua kaum radikal, termasuk radikal nasionalisme yang dikenal “ultra-nasionalis”, sebagaimana kaum “New-Left” atau “Kiri Baru”, bukan hanya di kalangan agama.

Dalam kenyataan, tidak ada satu golongan tertentu yang mewakili genre radikal dan radikalisme. Gerakan petani radikal bahkan sudah melegenda menjadi realitas sejarah, yang menjadi perhatian khusus ilmu-ilmu sosial dalam studi gerakan sosial sebagaimana ditemukan dalam kajian sejarah dan ilmu-ilmu sosial, seperti karya JC Scott (1976, 1983), E Wolf (1969), Kartodirjo (1973), dan Kuntowijoyo (1983).

Dalam banyak gerakan sosial yang bersifat “Ratu Adil” atau “Millenari” para tokoh radikal malah menjadi idola rakyat untuk pembebasan. Sangat keliru kalau paham radikal dipatok ke satu paham dan golongan tertentu sambil tutup mata dari radikal paham dan golongan lain.

Sejarah paham dan pergerakan radikal dimulai di Eropa, khususnya Inggris, pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1797, gerakan "radikal" dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox dengan mendeklarasikan "reformasi radikal" dalam sistem pemilihan untuk reformasi parlemen.

Setelah itu, sejak abad ke-19, pemikiran dan gerakan radikal bertumbuh menjadi liberalisasi politik untuk melakukan reformasi atau perubahan kehidupan politik yang progresif. Gerakan “Kiri Baru” di banyak negara termasuk dalam radikalisme, sering diadopsi oleh gerakan-gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk di Indonesia.

Gerakan radikal dan radikalisme lebih banyak dijumpai dalam gerakan dan kelompok politik, selain kelompok sosial. Termasuk di dalamnya radikal ideologi, yang sangat mengabsolutkan paham tertentu, tidak kecuali paham kebangsaan atau nasionalisme.

Komunisme merupakan lanjutan paham marxisme radikal, yang dalam sejarah dunia di mana pun menimbulkan gerakan-gerakan kekerasan karena pandangannya yang serba monolitik dan diktatorial dalam pemerintahan maupun proletarianisme yang mendewakan populisme. Di Indonesia, banyak peristiwa kelam akibat gerakan komunis.

Paham kebangsaan yang radikal juga dapat dijumpai di banyak negara, yang sering disebut dengan ultranasionalisme. Pekik, ujaran, tulisan, pandangan, serta aksi-aksi yang berlebihan atau mengandung unsur pengabsolutan disertai ekstremitas sampai mengandung unsur kekerasan atas nama nasionalisme dapat dikategorisasikan ke dalam paham radikal atau radikalisme. []

SINDONEWS, 24 September 2018
Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar