Selasa, 01 Agustus 2017

Zuhairi: Masjid al-Aqsa Simbol Kemerdekaan Palestina



Masjid al-Aqsa Simbol Kemerdekaan Palestina
Oleh: Zuhairi Misrawi

Masjid al-Aqsa bergejolak. Israel terpojok. Benar, kali ini Israel terpojok, mungkin saja terperosok. Israel tidak bisa lagi dengan seenaknya mengambil langkah-langkah otoriter, sepihak, dan kerap merugikan Palestina.

Barangkali Israel berpandangan, pihaknya bisa bertindak dan memperlakukan apa saja di lingkungan Masjid al-Aqsa. Israel melakukannya berkali-kali sejak 1948, ketika negara Israel berdiri; pada 1967 Israel meraih kemenangan melawan negara-negara Arab, hingga meletus intifada pada 1987, 2000 hingga 2005, dan 2015 hingga sekarang ini. Israel selalu "memenangkan" setiap pertarungan yang melibatkan Masjid al-Aqsa. Faktanya, Masjid al-Aqsa masih berada di bawah otoritas Jordania.

Apalagi rezim Israel yang berkuasa saat ini lebih condong ke kanan, bahkan garis keras, yang di antara mimpinya mendirikan Kuil Sulaiman di lingkungan Masjid al-Aqsa. Israel ingin mengontrol sepenuhnya masjid tersebut. Pada suatu saat nanti garis keras Israel ingin menggantikannya dengan Kuil Sulaiman. Mimpi yang absurd dan utopis.

Namun, kalkulasi Israel kali ini salah total. Ketika Israel mulai mengusik lingkungan Masjid al-Aqsa, yang muncul justru perlawanan yang sangat massif. Ribuan warga Palestina berhamburan di pintu masuk menuju masjid. Mereka menolak melakukan salat di dalamnya, yang biasa digunakan sebagai tempat salat lima waktu, terutama Salat Jumat yang biasanya dihadiri ribuan jemaah.

Kali ini, perlawanan yang dilakukan warga Palestina adalah perlawanan damai. Mereka tidak melakukan aksi brutal, seperti yang lalu-lalu. Mereka justru melaksanakan salat di pintu masuk menuju masjid. Mereka menolak untuk salat di masjid, hingga alat pemindai metal yang dipasang di pintu masuk dibongkar total.

Bahkan, saat Israel sudah mundur beberapa langkah karena desakan dunia internasional, termasuk desakan dari Indonesia agar membongkar alat pemindai metal, lalu Israel menggantikannya dengan kamera pengawas yang supercanggih, yang konon harganya mencapai ratusan miliar, justru warga Palestina tetap bergeming.

Mereka tetap pada pendirian semula, yaitu meminta Israel agar memberikan kebebasan penuh kepada warga Palestina untuk melaksanakan salat di Masjid al-Aqsa tanpa ada kamera pengawas sekalipun. Warga Palestina sepakat agar tidak dikontrol oleh Israel saat mereka melaksanakan salat. Alasannya sederhana, karena warga Palestina juga tidak memantau warga Israel saat mereka melaksanakan ibadah di Tembok Ratapan.

Jerusalem menjadi kawasan status quo. Setiap umat agama-agama samawi --Muslim, Kristen, dan Yahudi-- dapat melaksanakan ibadah dengan bebas, tanpa ada pengawasan dari pihak mana pun. Karenanya, tidak ada alasan sama sekali bagi Israel untuk mengawasi, apalagi membatasi umat Islam untuk melaksanakan ibadah di Masjid al-Aqsa, yang mempunyai nilai sakralitas dan historisitas itu.

Krisis yang terjadi di Masjid al-Aqsa ini memberikan hikmah yang sangat luar biasa, yaitu persatuan Palestina. Semua faksi di Palestina sepakat, bahwa mereka menolak segala tindakan yang semena-mena dari Israel dalam mengawasi Masjid al-Aqsa. Istimewanya lagi, kali ini warga Palestina melakukannya dengan damai. Mereka tetap memilih salat di pintu masuk menuju masjid.

Sudah lama Palestina terpecah-belah akibat perbedaan ideologi dan kepentingan politik, sehingga kemerdekaan Palestina tak kunjung terwujud. Kini, Masjid al-Aqsa menjadi simbol pemersatu Palestina. Dan, semestinya seluruh pihak di Palestina bersatu untuk melawan kesewenang-wenangan Israel.

Buktinya Israel sekarang tidak bisa berbuat apa-apa. Di Jerusalem, Israel mendapatkan perlawanan damai dari ribuan warga Palestina. Sementara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Israel mendapatkan desakan dari dunia internasional agar tidak menggunakan cara-cara yang otoriter dan diktator dalam menyelesaikan permasalahan dengan Palestina.

Apalagi pemantik masalah di Masjid al-Aqsa adalah konflik internal Isreal antara faksi Arab Israel dengan pihak kepolisian Israel. Hal ini juga membuktikan bahwa di dalam internal Israel sendiri menyimpan persoalan sosial-politik yang tidak kalah pelik, khususnya cara rezim Israel dan faksi garis kerasnya dalam memperlakukan warga Arab Israel.

Dari segi kuantitas, warga Arab Israel mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat signifikan. Namun, mereka kerap diperlakukan secara diskriminatif oleh rezim Israel. Penembakan warga Arab Israel terhadap polisi di lingkungan Masjid al-Aqsha diduga kuat sebagai pembalasan terhadap perlakuan warga Arab Israel terhadap rezim Israel saat ini.

Terlepas dari itu semua, krisis yang melanda Masjid al-Aqsha dapat menjadi kekuatan simbolik untuk mempersatukan seluruh faksi Palestina, khususnya Fatah dan Hamas. Salah satu prasyarat penting menuju kemerdekaan Palestina adalah persatuan di antara pihak-pihak yang berseteru di dalam internal Palestina. Jika Palestina dapat bersatu, maka Israel tidak bisa berbuat apa-apa.

Apalagi situasi global saat ini sedang berpihak kepada Palestina. Negara-negara Eropa juga memandang dan menyadari bahwa biaya yang harus dibayar dari konflik Israel-Palestina sangat besar, khususnya gelombang radikalisme dan terorisme yang selalu memanfaatkan isu Palestina. Di samping, isu Israel-Palestina dapat menciptakan instabilitas global.

Sikap aktif Indonesia sejak era Presiden Jokowi juga menjadi salah satu kekuatan Palestina. Presiden Jokowi sejak di dalam kampanye sudah menegaskan komitmennya mewujudkan kemerdekaan Palestina. Di samping itu, politik luar negeri Indonesia sangat aktif dalam mendorong kemerdekaan Palestina.

Dalam krisis yang berlangsung di Masjid al-Aqsa, Indonesia dan Turki menjadi negara terdepan dalam mendorong dunia internasional, khususnya PBB, OKI, dan Liga Arab untuk memberikan perhatian terhadap Palestina. Kata kuncinya adalah mendorong semua pihak untuk memilih jalur damai dan dialog untuk memecahkan masalah Israel-Palestina, serta menghargai kedaulatan dan regulasi global.

Kini, jalan kemerdekaan Palestina terbuka lebar. Bermula dari persatuan dalam menyikapi krisis, maka kemerdekaan Palestina bukan hal yang mustahil di masa mendatang. []

DETIK, 27 Juli 2017
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah, The Middle East Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar