Selasa, 22 Agustus 2017

Buya Syafii: Sopir Taksi Tentang Politisi



Sopir Taksi Tentang Politisi
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Namanya Taufik, kelahiran Semarang tahun 1967. Ayahnya pensiunan Pertamina. Rampung kuliah di Fakultas Tehnik Sipil UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta pada 1995, setelah 10 tahun betah kuliah di kampus itu, Taufik malah tidak cari kerja sesuai dengan keahliannya. Pada 1998 dia mulai pegang stang taksi yang pada sore itu Rajawali dengan plat nomor AB 157 AE yang beroperasi di bandara Adisutjipto. Sudah berjalan selama 19 tahun, stang itu tidak pernah dilepaskannya dan tidak pindah ke perusahaan taksi yang lain yang mungkin lebih menjanjikan. Taksi Rajawali adalah milik pensiunan anggota AURI, satu-satunya taksi setengah resmi di sana dengan tarif yang pasti, tanpa perlu menggunakan argometer. Untuk tarif taksi lain berlaku hukum tawar menawar, dan tidak jarang dengan harga yang mencekik bagi tamu yang buta medan.

Entah apa yang mendorong hatinya sehingga ketagihan hidup bersama taksi, sekalipun dengan mengorbankan ilmu yang didapatnya di perguruan tinggi. Penghasilan sebagai sopir termasuk rendah, tetapi Taufik tampaknya tidak hirau dengan itu.  Baginya, hidup adalah sebuah pilihan, apa pun risikonya harus dilakoni, entah tahan berapa lama lagi dalam usia yang sudah berada pada angka 50. Punya isteri satu dan dua anak: cewek dan cowok. Cewek seorang sarjana dan jadi guru di Perguruan al-Azhar di kawasan kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Demikianlah, pada 12 Agustus 2017 antara jam 18.15-19.00, dalam perjalanan ke Nogotirto Bung Ir. Taufik  banyak bicara tentang situasi nasional dan kelakuan politisi. Rupanya sudah tiga kali si Bung ini mengantar saya ke rumah yang jaraknya sekitar 15 km dari bandara ke arah barat. Saya baru tahu si Bung seorang insinyur setelah ditanyakan apa latar belakang pendidikannnya. Artinya, saat menompong taksinya yang pertama dan yang kedua, kami belum saling membuka diri, sekalipun dia sudah tahu nama saya. Si Bung ini sebagai sopir tampaknya selalu ceria, setidaknya demikianlah kesan saya sore itu. Selama dalam perjalanan itu tidak ada keluhan dan caci-maki terhadap keadaan yang meluncur dari mulutnya. Si Bung adalah seorang anak manusia yang nrimo kahanan sak wontenipun (rela dengan keadaan apa adanya).

Setiap dipancing bicara tentang bangsa dan negara, si Bung yang akrab dengan internet itu, reaksinya cerdas dan masuk akal. Suasana cair yang semacam inilah yang kemudian mendorong saya untuk mengenal si Bung lebih jauh. Tanpa diminta si Bung memuji kinerja Ahok, tetapi mengapa dimusuhi, cetusnya. Sekalipun tidak dengan nada marah, si Bung sudah lama sebal dan kesal dengan kelakuan politisi Indonesia, baik yang duduk di DPR, DPRD, atau pun mereka yang masih ancang-ancang melangkah ke posisi sebagai wakil rakyat itu. Si Bung sebagai rakyat terkesan tidak merasa terwakili oleh politisi pada umumnya. Hanya tidak ditanya apakah dia turut memberikan suara dalam setiap pemilu atau cukup sebagai penonton atau golput (golongan putih).

Karena pembicaraan kami berlangsung tanpa henti dan asyik, akhirnya sampai ke tujuan untuk kemudian kami berpisah dengan mengantongi perasaan masing-masing. Bagi saya pandangan dan analisis politik si Bung terasa cukup mewakili nalar publik terhadap parpol dan politisi pada umumnya yang belum juga menampakkan kemajuan dan kedewasaan dalam kerja mengurus bangsa dan negara. Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi modern belum juga peka terhadap ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat atas kinerjanya, seperti yang dengan baik tergambar dalam pembicaraan si Bung, sang sopir Taufik.

Bagi tuan dan puan yang ingin membandingkan pembicaraan Resonansi ini dengan sopir  yang lain, bisa dibuka harian Republika ini tertanggal  26 Maret 2013 dan 30 September 2014, biasanya dimuat pada halaman 8. Sudah amat kerap saya berbicara dengan para sopir dari berbagai kelas, tetapi yang bergelar insinyur barulah si Bung ini. Selamat Bung Taufik dengan stang taksi, semoga tetap aman dan rezki, sekalipun kecil, nilai halalnya tidak diragukan. Tabik! Kemerdekaan bangsa salama 72 tahun memang belum berhasil menyuguhkan kehidupan yang lebih layak kepada para sopir taksi, walau dia menyandang gelar sarjana. []

REPUBLIKA, 22 Agustus 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar