Jumat, 25 Agustus 2017

BamSoet: Menyoal Kualitas Keterbukaan KPK



Menyoal Kualitas Keterbukaan KPK
Oleh: Bambang Soesatyo

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) belum transparan. Dari kelambanan merespons kasus tudingan Miryam S Haryani tentang dugaan pelanggaran etika oleh pegawai KPK, dugaan intimidasi hingga dugaan rekayasa dalam proses pemeriksaan sehingga muncul kesimpulan bahwa KPK masih mencoba menutup-nutupi persoalan internal yang berpotensi merusak kredibilitas lembaga antirasuah itu.

Tudingan adanya tujuh penyidik KPK yang bertemu dengan anggota Komisi III DPR dan permintaan uang pengamanan Rp2 miliar itu harus segera dibawa ke ranah hukum dan tidak cukup diselesaikan di ranah komite etik internal KPK. Sebab dalam UU KPK sangat jelas diatur. Jika benar ada penyidik menemui pihak-pihak terkait perkara dalam penanganan perkara, tindakan tersebut adalah pidana. Setiap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 

Pasal 66 dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang; a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa alasan sah; b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau keturunan dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan; c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya berhubungan dengan jabatan tersebut.

Ini persoalan hukum serius. Apalagi menyangkut integritas KPK dan DPR. Ini bukan delik aduan. Jadi, Polri harus segera melakukan penyelidikan dan memeriksa para pihak yang mengungkapkan hal itu dalam rekaman di pengadilan. Apakah itu fakta atau hanya rekayasa tanpa fakta hukum yang hanya bertujuan menarget pihak-pihak tertentu akibat dugaan adanya konflik internal.

Pemeriksaan bisa dimulai dari pemutaran rekaman secara utuh tanpa potongan atau editan dan pengecekan soal keaslian rekaman tersebut di Laboratorium Forensik Mabes Polri. Dari situ nanti akan jelas tergambar siapa bicara apa dan dalam nada apa.

Paralel dengan itu, Polri bisa melakukan pemeriksaan, pertama, terhadap Miryam sebagai orang yang menyebut nama anggota Komisi III mengaku bertemu tujuh penyidik KPK dan meminta uang pengamanan Rp2 miliar. Kedua, melakukan pemeriksaan terhadap penyidik KPK yang memeriksa Miryam untuk mengonfirmasi isi rekaman CCTV tersebut karena banyak kalimat-kalimat tidak jelas dan mutu rekaman jelek. Apakah nama-nama itu keluar dari mulut Miryam atau keluar dari mulut penyidik.

Ketiga, Polri harus memanggil dan segera memeriksa anggota Komisi III DPR yang mengaku bertemu dengan tujuh penyidik KPK dan melakukan konfrontasi dengan penyidik KPK yang dituding bertemu dan meminta uang pengamanan Rp2 miliar tersebut. Keempat, Polri harus segera mengumumkan hasil pemeriksaan dan penyelidikan tersebut ke publik. Apakah tudingan itu benar atau hanya isapan jempol atau fitnah. Jika tudingan itu tidak benar dan fitnah, Polri harus meningkatkannya ke penyidikan, baik terhadap Miryam, anggota DPR yang mengaku bertemu tujuh penyidik KPK, maupun penyidik yang memeriksa Miryam karena adanya dugaan rekayasa dan kesaksian palsu di pengadilan.

Jika tudingan itu benar, Polri harus meningkatkan status saksi terhadap anggota Komisi III DPR dan tujuh penyidik dan pegawai KPK tersebut menjadi tersangka dan dilanjutkan proses hukumnya ke pengadilan sesuai hukum berlaku. Namun jujur, saya ragu dengan tudingan adanya tujuh penyidik KPK menemui anggota Komisi III. Karena itu hanyalah pengakuan sepihak dengan mengutip ucapan pihak lain dan belum menjadi bukti hukum. Apa yang disampaikan Miryam dalam rekaman tersebut, bukanlah sesuatu dialami, dilihat dan didengar sendiri secara langsung oleh dirinya sebagai saksi. 

Pengawas Internal 

Baru-baru ini pengawas internal KPK akhirnya harus bekerja untuk membuktikan atau mengklarifikasi keterangan atau tudingan yang dilontarkan terdakwa kasus penghalang penyidikan kasus korupsi proyek e-KTP, Miryam S Haryani, tentang dugaan pelanggaran etika oleh oknum pegawai dan penyidik KPK. Inisiatif KPK itu diumumkan kepada publik pada Jumat, 18 Agustus 2017. 

Seperti diketahui, publik baru mengetahui adanya masalah ini dari rekaman video yang ditayangkan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam video itu, Miryam yang menjadi saksi kasus korupsi proyek e-KTP mengungkapkan kepada penyidik KPK bahwa dia mendengar dari anggota Komisi III DPR ada sejumlah pegawai KPK menemui anggota Komisi III DPR untuk memberitahukan jadwal pemeriksaannya. Kepada penyidik KPK, Miryam menunjukkan sebuah catatan diduga memuat identitas oknum pegawai KPK yang menemui anggota Komisi III DPR. Selain itu, Miryam juga mengaku diminta menyerahkan uang Rp2 miliar agar dapat diamankan.

Pertanyaannya adalah mengapa inisiatif melakukan pemeriksaan internal itu baru dilakukan KPK pada Agustus 2017? Memangnya kapan sebenarnya penyidik dan pimpinan KPK menerima informasi atau pengakuan Miryam tentang adanya pertemuan antara orang-orang KPK dengan anggota Komisi III DPR itu? Pertanyaan berikutnya, apakah inisiatif pemeriksaan internal itu akan tetap dilakukan KPK jika rekaman video tentang tudingan Miryam itu tidak ditayangkan di ruang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin (14/8) sehingga otomatis diketahui masyarakat luas? Masih ada beberapa pertanyaan mengusik yang bisa dimunculkan lagi, misalnya, siapa sesungguhnya yang ingin disasar atau menjadi target dari pemutaran rekaman sepotong-sepotong atau tidak utuh hampir setahun lalu tersebut di pengadilan? Mengingat sudah menjadi rahasia umum publik mengetahui adanya konflik dan gesekan tajam antara penyidik berasal dari Polri dan penyidik mantan Polri yang beberapa waktu lalu mengundurkan diri. 

Keterangan atau kesaksian Miryam pada rangkaian penyidikan kasus korupsi proyek e-KTP memang tidak harus dipercaya seluruhnya. Akan tetapi, tudingan Miryam tentang dugaan pelanggaran etika oleh oknum KPK itu tetap saja mengusik. Sebab KPK tidak segera dan terbuka merespons tudingan itu. Bahkan, dari aspek waktu dan proses pengungkapannya, muncul kesan kalau KPK mencoba menutup-nutupi tudingan itu. 

Ada kesimpulan lain yang bisa dimunculkan bahwa informasi tentang dugaan pelanggaran etika yang diungkap Miryam itu tidak dilaporkan ke pimpinan KPK. Karena tidak dilaporkan, pimpinan KPK tidak segera memerintahkan tim pengawas internal KPK melakukan pemeriksaan atau klarifikasi. Belum jelas benar kapan persisnya Miryam mengungkap kasus dugaan pelanggaran etika itu. Tetapi, rekaman video itu memperlihatkan bahwa pemeriksaan dilakukan pada 1 Desember 2016. Artinya, pada hari pemeriksaan itu Miryam mengungkap kasus dugaan pelanggaran etika dimaksud. Dengan demikian, selama delapan bulan, kasus dugaan pelanggaran etika itu didiamkan begitu saja. Karena tudingan itu tidak segera disikapi, kesan yang muncul adalah niat menutup-nutupi persoalan. 

Aspek transparansi KPK akan diacungi jempol jika tudingan itu langsung direspons pada periode Desember 2016 secara terbuka dan menjadi konsumsi publik. Benar atau tidaknya tudingan Miryam itu memang sangat penting. Namun, bukankah tidak ada beda signifikan antara merespons persoalan itu pada Desember 2016 dengan respons KPK pada pertengahan Agustus 2017.  

Karena itu, jika benar pimpinan KPK baru mengetahui kasus ini setelah penayangan rekaman video itu di pengadilan tipikor. Ketua dan para wakil ketua KPK harus jujur kepada publik bahwa mereka sebelumnya tidak pernah tahu mengenai adanya kasus dugaan pelanggaran etika itu. Kalau sebelumnya tidak tahu, berarti para pimpinan KPK tidak pernah menerima laporan resmi mengenai kasus ini dari para bawahan mereka. Padahal dalam konteks menjaga kredibilitas KPK, dugaan pelanggaran etika itu harusnya disikapi dengan sangat serius. 

Tantangan Pimpinan  

Dari kelambanan KPK merespons tudingan Miryam itu, tampak jelas bahwa ada masalah internal harus dibenahi pimpinan KPK. Ketika pimpinan KPK tidak mendapat laporan tentang adanya dugaan pelanggaran etika oleh oknum pegawai KPK, maka itu merupakan aib bagi citra kepemimpinan. Sebab seorang pemimpin wajib hukumnya dan harus tahu apa yang terjadi dalam institusi yang dipimpinnya. 

Kalau pimpinan tidak mendapatkan laporan yang komprehensif dari bawahannya, dia harus menegur dan melakukan pembenahan internal. Tetapi, orang luar akan tetap menyoal dan menyalahkan sang pemimpin. Sekali lagi, dalam konteks ini, pimpinan KPK harus jujur kepada publik.

Pemeriksaan terhadap terduga pelanggar etika merupakan keharusan. Akan tetapi, sangat penting bagi pimpinan KPK mempelajari dan menelusuri faktor-faktor yang menyebabkan dugaan pelanggaran etika itu baru terungkap sekarang. Sedangkan waktu kejadiannya sudah berumur sekitar delapan bulan. Banyak orang tertawa sinis ketika melihat reaksi pimpinan KPK terhadap sebuah masalah yang terjadi delapan bulan lalu itu. 

Lalu, apakah dugaan pelanggaran etika itu cukup direspons dengan pemeriksaan internal di KPK? Mestinya tidak. Persoalannya harus dibuat sejelas mungkin dengan membawa  kasus ini ke ranah hukum. Apalagi ada permintaan uang pengamanan Rp2 miliar. Patut diingatkan lagi bahwa Undang-Undang KPK sudah mengatur masalah ini dengan sangat jelas. UU KPK menegaskan, jika ada penyidik KPK menemui pihak-pihak terkait perkara dalam penanganan perkara, tindakan itu adalah pidana dengan ancaman sanksi penjara paling lama lima tahun.  

Sekali lagi, tudingan Miryam mestinya disikapi sebagai persoalan hukum yang serius karena berkait dengan integritas KPK dan DPR. Dengan begitu, cukup alasan bagi Polri untuk segera melakukan penyelidikan dan memeriksa para pihak yang mengungkapkan hal itu dalam rekaman di pengadilan. Apakah semua itu fakta atau hanya rekayasa tanpa fakta hukum dengan tujuan ingin menarget pihak-pihak tertentu? 

Sebab saya ragu dengan tudingan adanya tujuh penyidik KPK menemui anggota Komisi III. Mengingat itu hanya pengakuan sepihak Miryam dengan mengutip ucapan pihak lain. Jadi, bukanlah sesuatu yang dialami, dilihat, dan didengar sendiri secara langsung oleh dirinya sebagai saksi. []

KORAN SINDO, 24 Agustus 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar