Rabu, 16 Agustus 2017

Buya Syafii: Republika dan Bung Hatta



Republika dan Bung Hatta
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sebagai seorang pengagum Bung Hatta sejak puluhan tahun yang lalu, sudah pasti saya amat gembira dengan harian Republika terbitan 10 Agustus 2017, yang telah mengupas dan menyoroti sosok dan pemikiran Bung Hatta. Tidak tanggung-tanggung, sepanjang lebih dari tujuh halaman harian ini telah memusatkan perhatiannya untuk kembali menampilkan pemikiran negarawan moralis cerdas ini yang dinilai cukup relevan bagi perjalanan bangsa di tengah hantaman neo-liberalisme yang antikeadilan sosial.

Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Republika, Irfan Junaidi, pada halaman 17 dalam kata pengantarnya menulis: “Kekuatan gagasan ekonomi Bung Hatta menjadi sulit dinegasi karena memang sangat relevan dan sangat diperlukan bangsa ini untuk maju. Gagasan yang menolak penguasaan sumber daya ekonomi pada segelintir kekuatan modal terbukti sulit untuk memajukan bangsa. Hatta sangat keras mendorong agar dampak positif bagi kesejahteraan rakyat sebagai indikator utama perekonomian.”

Alangkah baiknya, sekiranya media lain juga berbuat serupa agar impian besar Bung Hatta tentang keadilan sosial  dan konsep daulat rakyat benar-benar dibawa turun ke bumi kenyataan, tidak hanya mengawang di langit tinggi, sebagaimana yang kita rasakan sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Fasal 33 UUD 1945 yang dikenal sebagai Fasal Hatta adalah perwujudan kongkret dari sila kelima Pancasila: ‘Keadilan sosial bagi sekuruh rakyat Indonesia.” Cobalah disimak ulang  ayat 3 dari Fasal 33 itu: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Jika ayat itu disandingkan dengan realitas bangunan perekonomian Indonesia modern, kita pasti akan terperangah dan menjerit karena betapa jauhnya jarak antara idealisme Hatta dan realitas kekinian yang ditanggung oleh bangsa ini. Sudah berulang disampaikan banyak pihak bahwa betapa ringkihnya kekuasaan negara dalam menerjemahkan ayat 3 itu dan betapa kuatnya cengkeraman pihak sewasta (domestik dan asing) dalam menguasai kekayaan alam kita. Presiden Jokowi dalam pembicaraan selama 50 menit dengan saya di Istana Negara pada 17 Juli 2017 menyadari benar realitas getir ini dan telah berusaha keras untuk membalik jarum jam. Tetapi alangkah beratnya, karena semuanya adalah akibat dari rantai panjang yang membelenggu dari kebijakan para pendahulunya, khususnya sejak tahun 1966.

Ingatan kolektif kita tentu masih segar bahwa sejak permulaan Orba (Orde Baru), gagasan “kiri” Hatta telah mulai digasak habis oleh gagasan kanan para ekonom yang dikenal dengan kelompok “Mafia Berkeley.” Kelompok inilah yang membuka pintu lebar-lebar bagi pasar bebas, sementara Indonesia sama sekali tidak siap, dari sisi mana pun kita memandangnya. Benar, gagasan Hatta yang intinya tercermin dalam Fasal 33 itu tidak akan pernah basi, kecuali jika bangsa ini mau terus berkhianat kepada tujuan utama kemerdekaan.

Konstruk utuh pemikiran Hatta tentang arah bangsa dan negara merdeka tidak sulit didapatkan, karena para pencinta negarawan ini telah berhasil mengumpulkan hampir seluruh gagasannya dalam tiga jilid buku di bawah judul Karya Lengkap Bung Hatta (Jakarta: LP3ES yang terbit berturut-turut tahun 1998, 2000, dan 2001), dieditori oleh intelektual Indonesia: Emil Salim, Taufik Abdullah, M. Dawan Rahardjo, dan sederetan nama tenar lainnya, termasuk puteri sulungnya DR. Meutia F. Swasono). Semestinya pemikiran Hatta ini terus saja dikaji oleh berbagai kalangan melalui disiplinnya masing-masing agar arah kiblat bangsa ini tetap berada pada posisi yang lurus, tidak melenceng seperti berlaku sejak setengah abad belakangan. Percayalah, Hatta adalah di antara sedikit pendiri bangsa dan negara yang dengan kaca mata jernih, konprensif, dan penuh cinta telah memetakan bangunan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia sebelum dan pasca kemerdekaan.

Bung Hatta adalah pelaku dan pembuat sejarah, bukan pengamat yang duduk di menara gading. Perasaian bangsa ini dilaluinya dengan tabah selama puluhan tahun di bawah sistem penjajahan dan di era kemerdekaan. Oleh sebab itu, seluruh gagasannya tentang Indonesia adalah hasil anyaman teori dan pengalaman empirik yang hidup dalam rentang waktu yang panjang dan berliku, pahit dan manis. Dalam autobiorafinya dengan nuansa nostalgia Hatta menulis:

Pada 27 Desember 1949 di Amsterdam diadakan Upacara [U besar sesuai dengan aslinya] penyerahan Kedaulatan Kerajaan Belanda kepada R.I.S. Pada upacara itu R.I.S. diwakili oleh Perdana Menteri [Hatta] serta beberapa orang Menteri, di antaranya Sultan Hamid. Pada tanggal yang sama berlaku di Istana Gambir penyerahan Kedaulatan Kerajaan Belanda atas Indonesia oleh H.V.K. Lovink kepada pemerintah R.I.S. yang diwakili oleh Sultan Hamengkubuwono IX disertai dengan menurunkan Bendera Belanda dan menaikkan Bendera Merah Puitih ke atas tiang. (Lih. Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm. 562-563).

Bagi saya, catatan nostalgia Bung Hatta ini terasa sangat dalam dan manis. Amat disayangkan, perjalanan Indonesia merdeka tidak sedalam dan semanis yang didambakan oleh kita semua! []

REPUBLIKA, 15 August 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar