Rabu, 23 Agustus 2017

Riwayat Pemilihan Pemimpin di NU dan PMII



Riwayat Pemilihan Pemimpin di NU dan PMII

NU memiliki riwayat pemilihan pemimpin tertinggi atau Rais ‘Aam dengan nuansa tawadhu. Pada Muktamar ke-24 NU di Bandung, Juli 1967 KH Bisri Sansoeri dipilih muktamirin menjadi Rais ‘Aam menggantikan KH Wahab Chasbullah. 

Namun, Kiai Bisri menolaknya. Selama Kiai Wahab, seniornya, masih hidup, dia tak sudi menyandangnya. Lalu, setelah Kiai Wahab wafat, Kiai Bisri baru bersedia menggantikan jabatan tersebut pada 1971. Sebelumnya, Kiai Wahab sendiri mau menggantikan pemimpin tertinggi di NU dengan syarat mengganti istilah Rais Akbar menjadi Rais 'Aam. Bagi dia, istilah itu hanya cocok untuk satu orang, gurunya, Hadratussyek KH Hasyim Asy'ari.

Pada Muktamar ke-33 NU di Jombang 2015, KH A. Mustofa Bisri juga menolak menjadi Rais ‘Aam PBNU meski muktamirin memilihnya. Media sosial begitu ramai menyambutnya dengan trending topic. Namun dia menolak hingga akhirnya KH Ma’ruf Amin yang mengembannya. 

Hal serupa diperlihatkan beberapa kiai saat disodori posisi Rais ‘Aam yang kosong saat Kiai Bisri wafat. KH R As'ad Syamsul Arifin Situbondo dan KH Machrus Ali Lirboyo tak mau menyandangnya.

”Meski Malaikat Jibril turun dari langit untuk memaksa, saya tetap akan menolak, yang pantas itu Kiai Machrus Ali, Lirboyo,” tukas Kiai As’ad.

Jawaban Kiai Machrus pun tak kalah ‘angker’, ”Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia!

Di tubuh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), memiliki sejarah kepemimpinan yang kurang lebih sama. Ketua Umum pertama PB PMII dipilih ketika orangnya tidak hadir pada kongres itu. Sementara 13 orang pendiri tidak ada yang mau mencalonkan diri. Padahal H. Mahbub Djunaidi saat itu justru berada di teras kepamimpinan organisasi mahasiswa lain. Ia kemudian memimpin PMII beberapa periode yaitu 1960-1961,1961-1963, dan 1963-1967.  

Ketua Umum PB PMII selanjutnya, Zamroni, juga terpilih ketika dia sedang tidak mengikuti kongres karena sedang berobat di Jepang. Ia kemudian memimpin organisasi itu pada 1967-1970 dan 1970 -1973. 

Lalu bagaimana organisasi yang memiliki slogan “dzikir, pikir, dan amal saleh” pada Kongres Ke-19 di Palu, Sulawesi Tengah saat ini? Konon calon Ketua Umum-nya saja ada 15 orang. Luar biasa! Padahal orang-orang yang mendirikannya tidak pernah ada yang pernah menjadi ketua umum. []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar