Jumat, 18 Agustus 2017

BamSoet: Mengawal Dana Desa



Mengawal Dana Desa
Oleh: Bambang Soesatyo

MARAKNYA laporan dugaan penyelewengan dana desa harus disikapi dengan sangat serius. Bukan hanya karena jumlah dana desa yang demikian besar, melainkan tujuan mulia dari kebijakan itu yang harus diamankan. Inilah momentum bagi Polri dan Kejaksaan Agung memulihkan dan menunjukan reputasi mereka dalam mengawal pemanfaatan anggaran negara.

Pada Januari 2017, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT) mengumumkan laporan tentang dugaan penyalahgunaan dana desa sudah berumlah 600 laporan. Sebanyak 300 di antaranya sudah ditindaklanjuti, sedangkan sebagian tidak lengkap dan dinilai hanya pelanggaran administratif. Per 2016, Kemendes bahkan menerima 932 laporan terkait dana desa. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menerima laporan serupa. Sepanjang periode Januari-Juni 2017, ada 459 laporan terkait dana desa yang diterima KPK melalui telepon, SMS, surat elektronik, atau datang langsung.

Semua laporan itu mencantumkan beragam versi penyimpangan. Setelah dikelompokan, tergambar ada 10 modus penyimpangan pengelolaan dan pemanfaatan dana desa. Antara lain meliputi tidak adanya pembangunan di desa; pembangunan atau pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi; dugaan mark up oleh aparat desa; tidak adanya transparansi; masyarakat tidak dilibatkan; penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi hingga laporan mengenai lemahnya pengawasan dana desa oleh inspektorat. Ada juga laporan mengenai kongkalikong pembelian material bahan bangunan, proyek fiktif serta penggelapan.

Hampir 75.000 desa diproyeksikan menerima dana desa dengan jumlah yang variatif. Tetapi, per desa minimal menerima Rp 800 juta. Hingga kini, jumlah dana desa yang sudah dicairkan mendekati Rp 127 triliun. Tahun ini saja, total pagu dana desa dalam APBN 2017 mencapai Rp 60 triliun untuk 434 desa. Memang, jumlah laporan masyarakat tentang dugaan penyalahgunaan dana desa bisa dibilang masih kecil jika dihadapkan pada data jumlah dana yang sudah dicairkan tadi dan juga data tentang jumlah desa yang mendekati 75.000 itu.

Tapi baik laporan ke Kemendes maupun ke KPK itu sudah cukup memberi gambaran atau indikasi tentang maraknya potensi penyelewengan dana desa. Apalagi, harus diingat juga, belum semua desa yang warganya peduli atau berani membuat laporan. Jika warga di puluhan ribu desa proaktif melakukan pengawasan, jumlah laporan dugaan penyalahgunaan dana desa mungkin sangat banyak.
Fakta penangkapan Bupati Pamekasan karena dugaan penyelewengan dana desa mengingatkan semua pihak akan pentingnya pengawasan. Kepada 10 ribu perwakilan relawan Jokowi dari seluruh Indonesia yang berkumpul di Hall 2/3 JI-Expo, Kemayoran, Jakarta pada Jumat (11/8), Pesiden Joko Widodo mengajak mereka mengawal dan mengawasi dana desa.

Kasus dugaan penyelewengan dana desa di Pamekasan memang sudah keterlaluan, karena melibatkan perangkat pemerintah di kabupaten itu. Seperti diketahui, kasus ini melibatkan Bupati Pamekasan, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Inspektorat dan Kepala Bagian Administrasi, hingga Kepala Desa. Para pejabat daerah ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Tahun 2016, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperbesar alokasi penyaluran dana desa menjadi Rp 1 miliar per desa. Peningkatan alokasi itu mengacu pada proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,3 persen hingga 5,9 persen pada tahun ini. Siapa yang paling layak diberi tugas mencegah korupsi dana desa?

Tupoksi

Dalam konteks itu, semua pihak harus melihat Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) sejumlah institusi berwenang memerangi korupsi. Selain KPK, Polri dan Kejaksaan Agung juga hadir di medan perang melawan korupsi. Untuk tugas itu, Mabes Polri selama ini mengerahkan Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dit Tipikor) Bareskrim Polri. Sedangkan Kejaksaan Agung sejak 2015 telah membentuk Satuan Tugas Khusus Penanganan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK) beranggotakan 100 jaksa terpilih dari sejumlah daerah untuk mempercepat pemberantasan Korupsi.

KPK memang sudah berhasil meraih kepercayaan publik. Karena itu, KPK hendaknya fokus pada Tupoksinya. UU No.30/2002 tentang KPK menetapkan bahwa dalam melaksanakan tugas, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Dengan asumsi bahwa dana desa yang maksimal Rp 1 miliar per desa itu tidak seluruhnya dikorupsi, maka tugas pengawalan dan pengawasan tidak masuk dalam area Tupoksi KPK. Pengawalan dan pengawasan dana desa lebih layak dibebankan kepada Polri dan Kejaksaan. Tentu saja pemisahan ini tidak boleh kaku atau menumbuhkan sentimen ego sektoral atau ego intitusi. KPK , Polri dan Kejaksaan Agung tetap harus bersinergi dalam memerangi korupsi. Namun, ada baiknya jika ketiga institusi itu berbagi fokus tentang target kasus berdasarkan perkiraan besaran kerugian negara. []

SUARA MERDEKA, 18 Agustus 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar