Senin, 28 Agustus 2017

Azyumardi: Khilafah (4)



Khilafah (4)
Oleh: Azyumardi Azra

Jika di masa lalu dalam masa kerajaan atau kesultanan di Nusantara tidak ada preseden yang bisa menjadi dasar historis institusi khilafah, bagaimana mendapatkan landasannya untuk masa moderen atau kontemporer sekarang? Bentuk dan corak entitas politik Islam di Nusantara yang tidak mengadopsi paradigma dan praksis politik yang pernah berkembang di Dunia Arab masa pasca-Khulafaur Rasyidin tidak memberi suasana kondusif untuk adopsi gagasan khilafah di masa moderen.

Lagi pula wacana dan perdebatan pada masa pergerakan nasional dalam paroan pertama abad 20 bukanlah tentang khilafah. Sebaliknya terfokus pada bentuk dan dasar negara Indonesia ketika merdeka kelak. Kenyataan ini terlihat terutama dalam perdebatan antara Soekarno dan Mohammad Natsir.

Dalam perdebatan di antara mereka, bentuk negara Indonesia yang diperjuangkan bukan dawlah Islamiyah (negara Islam) atau pun khilafah. Sebaliknya Indonesia merdeka yang mereka masing-masing bayangkan adalah republik dengan dasar sekulerisme menurut Soekarno dan berdasarkan Islam dalam pandangan Natsir.

Akhirnya, Indonesia bukan negara sekulerisme dan juga bukan berdasarkan Islam. Sebaliknya Indonesia berdasarkan Pancasila yang netral agama, tetapi sekaligus tidak mencerminkan sekularisme. Oleh karena itu Pancasila dapat disebut sebagai dasar negara yang tidak terkait langsung dengan agama dan keyakinan (deconfessional basis of the Indonesian state).

Dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila sekaligus menjadi dasar negara yang bersahabat dengan agama (religiously friendly). Sebab itulah Pancasila dapat diterima beragam umat beragama, khususnya umat Islam yang merupakan mayoritas absolut sejak masa kolonial dan seterusnya.

Memang di tengah kebangkitan pergerakan nasional dan wacana tentang bentuk dan dasar negara Indonesia merdeka kelak, sempat terjadi kehebohan di kalangan pemimpin umat Islam Indonesia, Kenyataan ini terkait dengan pembubaran entitas politik Turki Usmani yang sering diklaim sebagai ‘khilafah’.

Pembubaran ‘khilafah’ Usmani oleh gerakan Turki Muda bermula dengan penurunan Sultan Abdul Hamid II pada 1906. Meski Sultan Usmani yang terakhir adalah Sultan Mehmed VI, tetapi justru pemakzulan Sultan Abdul Hamid II yang diratapi para pendukung khilafah seperti HTI.

Pemakzulan penguasa terakhir Usmani, Sultan Mehmed VI pada 17 November 1922, membuat Republik Turki yang didirikan Majelis Nasional Tertinggi Turki pada 1 Nopember 1922 berkuasa efektif. Berbeda dengan Dinasti atau Kesultanan Usmani yang pada dasarnya berpijak pada semangat keislaman, Republik Turki sebaliknya berdasar sekularisme (Kemalisme).

Dalam pertarungan dengan golongan Turki Muda, Kesultanan Usmani diklaim sebagai ‘khilafah’ oleh kalangan istana di Istanbul. Klaim ini kemudian diterima kalangan Muslimin di mancanegara. Kalangan Muslim India misalnya membentuk Gerakan Khilafat (1919-24). Gerakan ini menuntut kepada pemerintah kolonial Inggris di India untuk memulihkan kembali ‘Khilafah Usmaniyah’—tuntutan yang tidak dihiraukan Inggris.

Sedangkan di Indonesia kalangan kaum Muslimin yang diwakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kiyai-kiyai dari pesantren membentuk ‘Komite Khilafat’, 4 Oktober 1924 di Surabaya. Komite Khilafat yang diketuai Wondosoedirdjo (juga dikenal sebagai Wondoamiamiseno) dengan Wakil Ketua K.H.A. Wahab Hasbullah (kemudian menjadi salah satu pendiri NU pada 1926).

Tujuan pembentukan Komite Khilafah ini adalah untuk ikut menuntut pengembalian Khilafah Usmaniyah. Dalam upaya itu, Komite Khilafah Hindia Belanda (Indonesia) berencana mengikuti Kongres Dunia Islam di Kairo Mesir pada Mei 1926. Sebagaimana dicatat Hendrik Kramer dalam Islam Assembled: The Advent of Muslim Congresses (1986), tiga orang delegasi Indonesia, termasuk HOS Tjokroaminoto sampai sampai di Kairo. Pertikaian dalam Komite Khilafat membuat Muhammadiyah mengirim dua utusannya sendiri yang dipimpin Haji Abdul Malik Amrullah (Haji Rasul).

Penting dicatat, Kongres Dunia Islam Kairo, ujung-ujungnya tidak berusaha membangkitkan kembali ‘Khilafah Usmaniyah’. Sebaliknya mengusulkan pembentukan ‘Khilafah Islamiyah’ yang berkedudukan di Mesir dengan Raja Fu’ad sebagai khalifah-nya.

‘Khilafah Kairo’ tidak pernah terwujud. Kenyataan ini sekaligus mencerminkan kompleksitas cita ideal ‘khilafah’ yang ujung-ujungnya utopian.

Nampaknya karena kompleksitas dan utopianisme khilafah itulah Haji Agussalim, yang dijuluki the grand old man karena keluasan ilmunya menganggap khilafah sebagai tidak relevan dengan Indonesia. Menurut dia, despotisme para khalifah—termasuk ‘khilafah Usmaniyah’ bukanlah contoh yang layak dicontoh dan diikuti kaum Muslimin; tidak hanya di masa lalu, tapi juga hari ini dan ke depan. []

REPUBLIKA, 24 Agustus 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar