Rabu, 09 Agustus 2017

Azyumardi: Politik dan Kenegarawanan



Politik dan Kenegarawanan
Oleh: Azyumardi Azra

Pemilihan presiden yang akan digelar serentak dengan pemilu legislatif pada 17 April 2019 dari segi waktu bisa dianggap masih relatif lama atau, sebaliknya, sudah sangat dekat. Dengan demikian, para pemangku kepentingan memandang perlu melakukan langkah cepat.

Sejak sepekan terakhir, nuansa dan eskalasi politik menjelang pemilihan presiden (pilpres) sudah terasa. Di sejumlah tempat di Jakarta, misalnya, sudah ada baliho pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden yang akan bertarung di Pilpres 2019. Lebih seru lagi, di media sosial, foto bakal capres muncul dengan bakal cawapres yang berbeda.

Eskalasi politik juga terlihat dalam penetapan Undang-Undang Pemilu, Jumat (21/7). Pengesahan UU yang antara lain menetapkan ambang batas pencalonan presiden, yaitu 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional, itu diwarnai aksi meninggalkan rapat oleh Fraksi Gerindra, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).

Pembahasan dan penetapan UU Pemilu ini memperlihatkan friksi di antara partai pendukung pemerintah. PAN yang merupakan partai pendukung pemerintah ”menyempal”, sementara F-PDIP, F-PG, F-Nasdem, F-PPP, F-PKB, dan F-Hanura solid mendukung Presiden Joko Widodo yang diproyeksikan menjadi capres mereka pada 2019.

Ada pula tantangan terhadap Presiden Jokowi menjelang Pilpres 2019 yang turut meningkatkan eskalasi politik. Kali ini datang dari pertemuan pada Kamis (27/7) antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang juga digadang bakal maju kembali sebagai bakal capres di Pilpres 2019.

Pertemuan yang berlangsung di Cikeas itu, menurut ahli gestur, kelihatan kaku (awkward). Ini mengisyaratkan masih ada penghalang psiko-politik di antara kedua elite politik itu yang perlu diatasi untuk dapat membangun koalisi politik padu.

Namun, bukan gestur SBY dan Prabowo yang terpenting. Yang paling kontroversial dan ramai dibicarakan publik adalah pernyataan SBY di konferensi pers seusai pertemuan. SBY antara lain menyatakan, power must not go unchecked (kekuasaan harus tidak dibiarkan tak terkendali). ”Artinya, kami (SBY dan Prabowo) harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan tidak melampaui batas sehingga masuk ke dalam yang disebut sebagai abuse of power (atau penyalahgunaan kekuasaan).”

Dalam pernyataan bernada ”keras” ini, SBY memang tidak menyebut siapa yang dia maksud dengan ”pemegang kekuasaan” itu. Dia juga tidak menyodorkan bukti konkret tentang pelaku penggunaan power goes unchecked yang ”masuk ke dalam abuse of power”. Namun, publik paham, yang dimaksudkan tidak lain adalah Presiden Jokowi.

Hal ini terbukti dengan reaksi Presiden Jokowi. Berselang sehari, Jumat (28/7), Jokowi menyatakan, tidak ada kekuasaan absolut dalam pemerintahan. Menurut dia, pemerintahan di bawah kepemimpinannya berjalan dengan pengawasan dari berbagai pihak, mulai dari pers, lembaga swadaya masyarakat, parlemen, hingga masyarakat luas.

Lebih jauh Jokowi menyatakan, ”Salah satu bukti Pemerintah Indonesia tidak menganut sistem kekuasaan absolut tergambar dari keberadaan Mahkamah Konstitusi. Lembaga tinggi negara ini bisa mengkaji kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atau DPR; di dalamnya termasuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Agaknya perlu tambahan kutipan untuk lebih menegaskan respons Jokowi. ”Baik masyarakat maupun kelompok masyarakat yang tidak setuju bisa mengajukan keberatan melalui jalur hukum. Kita ini, kan, negara demokrasi sekaligus negara hukum. Jadi, proses itu sangat terbuka sekali, kok. Kalau ada tambahan demo juga, kan, tidak apa-apa. Jadi, jangan dibesar-besarkan hal yang sebetulnya tidak ada,” kata Presiden.

Tidak perlu diskusi panjang lebar. Publik bisa menilai pernyataan siapa yang lebih sesuai kenyataan di masa pemerintahan Jokowi-Kalla. Satu hal sudah pasti, sejak demokrasi liberal multipartai berlaku di Indonesia pada 1999 sampai sekarang, hampir tidak ada langkah kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang—menyesuaikan ungkapan SBY goes unchecked—tidak terhalangi atau tidak terkontrol; sebaliknya sering menghadapi kontestasi dari kalangan masyarakat, LSM, dan ormas tertentu.

Dalam konteks ini, untuk menjaga Indonesia dari eskalasi politik menjelang Pilpres 2019, sepatutnya setiap dan seluruh elite politik menahan diri dari pernyataan kontroversial. Jika tidak sesuai kenyataan dan kebenaran, pernyataan itu dapat menimbulkan kegaduhan politik yang tidak perlu.

Para elite politik perlu lebih menampilkan sikap kearifan dan kenegarawanan. Menurut J Rufus Fears, guru besar sejarah, untuk jadi negarawan, pemimpin perlu memiliki dan menampilkan empat kualitas penting.

Pertama, prinsip yang teguh dan tak berubah pada kebenaran. Seorang gagal menjadi negarawan jika dia tak memiliki prinsip yang bertitik tolak dari kebenaran karena kepentingan politik sesaat. Kedua, panduan moral dan etis yang kuat. Seorang gagal jadi negarawan jika dia adalah relativis yang mudah mengubah kebenaran moral dan etis.

Ketiga, visi yang jelas tentang ke arah mana negara-bangsa mau dibawa. Negarawan visioner tahu hal yang harus dia lakukan untuk membawa negara dan rakyatnya ke kemajuan. Keempat, kemampuan membangun konsensus untuk mewujudkan visi kemajuan. Seorang pemimpin gagal menjadi negarawan jika dia justru menimbulkan perpecahan dan konflik internal bangsa sehingga menciptakan keadaan tidak kondusif bagi kemajuan negara dan rakyatnya. []

KOMPAS, 1 Agustus 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar