Kamis, 10 Agustus 2017

Kang Komar: Reason in History



Reason in History
Oleh: Komaruddin Hidayat

JIKA sejarah diibaratkan panggung yang senantiasa berjalan tak kenal henti, aktor yang tampil di panggung sejarah ini silih berganti, sambung-menyambung baik pada konteks individu maupun generasi, entah sampai kapan kehidupan berlangsung, kita tidak tahu.

Setiap menit terjadi peristiwa kelahiran dan kematian, namun jumlah kelahiran rupanya lebih banyak ketimbang yang pamitan undur diri, sehingga jumlah manusia di muka bumi terus membengkak dan bertambah. Diperkirakan hari ini tidak kurang dari enam miliar manusia berada bumi.

Setiap pribadi dan generasi memiliki peran dan tantangan masing-masing. Ada di antaranya yang kreatif menciptakan teknologi dari bentuknya yang sangat sederhana, seperti halnya tongkat, lalu dikembangkan oleh generasi berikutnya dalam aspek bahan, bentuk, dan gunanya sehingga saat ini setiap bangunan mesti ada unsur tongkat sebagai penyangganya.

Inovasi yang juga abadi adalah teknologi roda. Mungkin dulu bentuk, bahan dan gunanya sangat simpel untuk ukuran sekarang.

Tetapi bayangkan dan amati, andaikan tak ada teknologi roda, maka sekian ragam kendaraan, mulai sepeda ontel, motor, mobil, hingga pesawat terbang pasti tidak akan berkembang seperti yang kita saksikan dan nikmati hari ini. Bahkan fungsi roda masuk ke sekian ragam produk teknologi, mulai jam tangan yang kecil dan rumit sampai dengan kursi, lemari, dan meja, banyak yang  menggunakan jasa roda.

Masyarakat modern tinggal menikmati dan mengembangkan warisan teknologi roda, sampai-sampai ada ungkapan: We should not reinvent the wheel.

Demikianlah, sejarah manusia telah menciptakan dan mewariskan sangat banyak temuan dan percobaan dalam berbagai bidang, baik dalam bidang sains, teknologi, pranata sosial, sistem politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun paham keagamaan.

Jika direnungkan, dalam perjalanan sejarah itu ada kekuatan logos dan reason yang ikut berperan mengarahkan jalannya kebudayaan. Di sana terdapat daya dan kekuatan penalaran logis yang selalu menyertai perjalanan dan pengembaraan manusia di muka bumi ini.

Pikiran waras lebih dominan ketimbang yang sakit. Sekalipun sering muncul drama dan episode konflik serta peperangan yang digerakkan dan digelorakan oleh nafsu atau emosi untuk menghancurkan yang lain, namun akal sehat akan tampil mengutuk, mengerem, dan menata kembali lakon sejarah yang berantakan dan berdarah-darah.

Misalnya saja, sadar dan menyesali akibat tragedi Perang Dunia (PD) I dan PD II yang mengerikan itu, maka akal budi memandang sangat urgen untuk membentuk Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) guna menata dan menjaga perdamaian dunia. Akibatnya jumlah peperangan di dunia semakin mengerucut jumlahnya, sekalipun tidak mungkin kerusuhan dan peperangan dihilangkan seluruhnya.

Begitu pun berbagai pranata atau institusi sosial sejak dari model pemerintahan sebuah negara sampai tingkat pemerintahan desa, semuanya itu produk inovasi dan evolusi penalaran akal budi manusia yang berkembang dari zaman ke zaman, tujuannya adalah bagaimana menciptakan keteraturan, keselamatan, dan kedamaian hidup masyarakat. Misalnya ide dan sistem demokrasi, teori dan praktiknya senantiasa berkembang dalam sejarah.

Sekali lagi, ini merupakan produk penalaran kolektif masyarakat yang berlangsung secara evolutif dari generasi ke generasi, dan ketika penalaran itu menjadi sebuah teori yang baku maka teori itu kemudian mengarahkan perilaku sosial masyarakat, bahkan sekarang berkembang artificial intelligence dan robot sebagai ekstensi cerdasan manusia.

Dengan mengamati semua ini, terlihat jelas adanya the power of reasoning in history, yang berkembang dan bekerja lintas generasi, bangsa, dan agama. Kekuatan ini bekerja secara otonom, invisible power, melahirkan hubungan dialektis antara manusia sebagai aktor dan hukum sejarah yang bersifat impersonal. Makanya ada istilah the iron law of history. Hukum besi sejarah.

Bagi yang percaya terhadap the reason in history, mereka akan memandang hidup lebih optimistis. Bahwa proses kehidupan ini bergerak semakin membaik dan naik bagaikan spiral.

Tetapi bagi yang kalah, mungkin mereka akan berpandangan sebaliknya. Bahwa hidup ini kian turun kualitasnya. Tanda bahwa kiamat sudah dekat. Perbedaan cara pandang itu muncul karena perbedaan mindset kepercayaan masing-masing pribadi. []

KORAN SINDO, 4 Agustus 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar