Kamis, 10 Agustus 2017

BamSoet: Mencegah Korupsi Dana Desa



Mencegah Korupsi Dana Desa
Oleh: Bambang Soesatyo

PADA akhirnya, kebijakan dana desa harus meng­adopsi prinsip kehati-hatian (prudent) agar niat menggerakkan perekonomian desa tidak menjadi target bagi para pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Tata kelola, peman­faatan, dan pengawasan dana desa harus diperbaiki.

Tidak ada yang salah dengan kebijakan dana desa. Oleh karena itu, banyak pemerintah daerah lalai terhadap desa, negara memang harus berani progresif dalam politik membangun desa. Alokasi dana desa dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tiga tahun terakhir ini patut dipahami sebagai kebijakan progresif pemerintah dalam membangkitkan dan memaksimal potensi ekonomi ribuan desa di Tanah Air. Akan tetapi, atas nama asas manfaat dan pertanggungjawaban keuangan negara, pemerintah tidak boleh jor-joran dalam menggelontorkan dana desa.

Kearifan atau kehati-hatian menjadi sebuah keharusan. Dalam konteks ini, pemerintah—juga Badan Anggaran di DPR RI—perlu belajar dari kegagalan sejumlah pemerintah provinsi dan kabupaten dalam memaksimalkan pemanfaatan anggaran.

Hingga paruh pertama tahun ini, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan mencatat simpanan pemerintah daerah di perbankan pada akhir Juni 2017 berjumlah Rp222,6 tri­liun terdiri atas giro, deposito, dan tabungan.

Selain itu, pe­merintah juga perlu melihat penyebab kegagalan berkembangnya sebagian besar daerah otonom baru hasil pemekaran. Dua indikator ini menjelaskan bahwa ratusan triliun dana negara yang dialokasikan ke daerah belum bisa dimanfaatkan secara efektif.

Berdasarkan kecenderungan yang terbaca dari dua indikator itu, kehati-hatian dalam mencairkan dana desa menjadi sangat beralasan. Pemerintah harus yakin terlebih dulu bahwa desa penerima dana harus sudah siap dari aspek tata kelola, prioritas pemanfaatan, hingga keterbukaan aparatur desa untuk diawasi oleh warga desa. Alokasi dana desa terus meningkat.

Sejak diterapkan tiga tahun lalu, jumlah dana desa yang sudah dicairkan men­dekati Rp127 triliun. Jelas bukan jumlah yang kecil. Hingga pertengahan tahun ini, pemerintah telah mencairkan dana desa tahap I Rp33 triliun atau sekitar 55% dari total pagu dana desa dalam APBN 2017 yang mencapai Rp60 triliun. Dana tersebut diberikan ke­pada 398 desa dari total 434 desa yang mendapatkan anggaran.

Target pencairan tahap I tidak tercapai karena masih banyak desa belum memenuhi syarat pengajuan laporan kepada pemerintah daerah yang kemudian diteruskan ke pusat. Bahkan, Kemenkeu juga menemukan dana yang diendapkan dulu di bank alias tidak langsung ditransfer ke desa pe­nerima.

Pemerintah juga harus menyikapi kecenderungan terus bertambahnya jumlah desa, setelah pemerintah menerapkan kebijakan dana desa. Kementerian Keuangan pernah mengemukakan harapan agar Kementerian Dalam Negeri bisa mencegah penambahan jumlah desa baru hasil pemekaran. Jumlah desa yang bertambah akan mengganggu anggaran negara. Permintaan Kemenkeu itu merupakan respons atas banjirnya permintaan pemekaran desa.

Tahun 2016, Kemendagri menerima 1.800 permohonan pemekaran menjadi desa baru. Dalam menghitung kebutuhan anggaran dana desa, Kemenkeu berpatokan pada jumlah 74.000 desa sesuai dengan data Kemendagri. Untuk memperkecil kegagalan dana desa, pemerintah tidak cukup hanya dengan memberi dana. Standar dan kualitas pemerintahan desa hendaknya juga ditingkatkan. Terutama pada aspek kapabilitas, kapasitas, dan kompetensi. Artinya, oleh karena pada desa era sekarang juga mengelola dana APBN, sangat ideal jika syarat menjadi kepala desa juga ditingkatkan.

Untuk meningkatkan standar dan kualitas pe­merintahan desa, pemerintah hendaknya hadir dalam proses pemilihan kepala desa. Fungsi pe­me­rintah dalam proses itu adalah membina. Satu hal pasti, jabatan kepala desa kini diminati begitu banyak orang. Padahal sebelum lahirnya kebijakan dana desa, nyaris tak ada yang peduli dengan jabatan itu karena tidak ada untungnya.

Pengawasan 

Kendati diapresiasi, kebijakan dana desa yang minim pengawasan memang sudah menimbulkan kekhawatiran sejak awal. Sejak akhir tahun pertama dana desa dicairkan, sudah banyak cerita beredar tentang dugaan penyimpangan dalam pemanfaatan dana desa itu. Akan tetapi, mungkin karena cerita tersebut berkembang di desa-desa sehingga luput dari perhatian para elite di kota. 

Gejala itu kemudian terkonfirmasi dengan penangkapan Bupati Pamekasan dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan oleh KPK. KPK lalu ”menggoreng” kasus penyalahgunaan dana desa yang dilaporkan masyarakat itu hingga menjadi isu nasional. 

Kisah dari Pamekasan ini boleh disebut sebagai contoh. Sebab kasus dengan modus yang hampir sama terjadi di desa-desa lainnya. Jumlah laporan masyarakat setidaknya sudah mengindikasi kecenderungan ter­sebut. Hingga pekan-pekan terakhir ini, KPK sedikitnya sudah menerima 362 laporan me­ngenai dugaan penyalahgunaan dana desa.

Sedangkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah me­nyerahkan 60 laporan penyelewengan dana desa kepada KPK. Kementerian ini juga menerima 200 laporan pelanggaran administrasi dari 600 laporan ten­tang dugaan penyelewengan dana desa.

Banyaknya laporan itu menjadi bukti bahwa potensi korupsi dalam penyaluran dana desa tinggi. Dana desa bahkan sudah menjadi target para pelaku tipikor. Mereka masuk ke pelosok-pelosok desa, mendekati aparatur desa untuk memperkaya proyek. Tipikor dalam pengelolaan dana desa sangat terbuka karena minimnya pengawasan.

Selama ini pemerintah hanya mengerahkan satu instrumen untuk mengamankan dana desa, yakni Satuan Tugas Dana Desa yang dikerahkan Kementerian Desa. Upaya pencegahan lainnya adalah sosialisasi pengelolaan dana desa yang melibatkan Ke­menterian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, KPK, serta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan).

Jelas bahwa upaya pencegahan tipikor dana desa itu belum cukup. Jangan lupa desa se­karang ini kedatangan banyak orang kota yang juga ingin menikmati dana desa. Mereka adalah calon-calon pelaku tipikor yang menargetkan dana desa karena peluang di kota semakin kecil. Mereka mampu mengelabui Satuan Tugas Dana Desa. Gerombolan seperti inilah yang perlu diwaspadai.

Pencegahan korupsi dana harus dimulai dengan evaluasi menyeluruh pada aspek tata kelola dan tata cara penyaluran hingga kejelasan pemanfaatannya. Setelah itu, dilengkapi de­ngan satu institusi pengawasan. Tidak bisa diterima akal sehat, jika dana desa yang men­capai ratusan triliun rupiah itu tidak didukung dengan institusi pengawasan. Niat bersama membangkitkan dan memaksimalkan potensi ekonomi desa akan berantakan jika kebijakan dana desa diterapkan dengan asal-asalan pula.

Kebijakan dana tampaknya akan sulit dihentikan karena pemerintah tidak ingin kehilangan simpati dari warga di puluhan ribu desa itu. Karena kebijakan ini akan berlanjut, pemerintah harus lebih serius dalam mengawasi dana desa. Jangan menyederhanakan masalah, pun jangan pula minimalis. Keberhasilan dana desa membuat pemerintah makin populer. Sebaliknya, akibat kegagalan dana desa pun harus ditanggung pemerintah. 

Dengan lebih dari 74 ribu desa yang berpotensi mendapatkan dana desa, tentu diperlukan institusi pengawasan dengan jaringan luas hingga ke desa-desa. Daya jelajah seluas itu hanya ada di Polri. Karena itu, konteks pengawasan dana desa itu relevan untuk dikaitkan dengan rencana Polri membentuk Detasemen Khusus (Densus) Tipikor. Apalagi rencananya Densus Tipikor akan dihadirkan pada semua kepolisian daerah (polda).

Tidak ada salahnya jika pemerintah segera ikut mendorong mewujudkan terbentuk­nya Densus Tipikor dan memberi kepercayaan kepada Densus Tipikor Mabes Polri bersama kejaksaan untuk melakukan upaya pencegahan korupsi dana desa. []

KORAN SINDO, 8 Agustus 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar