Kamis, 31 Agustus 2017

Buya Syafii: Alquran, untuk Tuhan atau untuk Manusia?



Alquran, untuk Tuhan atau untuk Manusia?
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Jika Alquran ditanya: “Engkau untuk kepentingan Tuhan atau untuk kepentingan manusia?” Jawabannya tuntas dan langsung: “Aku datang dari Tuhan untuk kepentingan manusia!” (Lih. s. al-Baqarah: 2 dan 185). Oleh sebab itu, sebuah agama yang bercorak serba teosentris harus ditolak jika Alquran yang dijadikan landasan tempat berangkat. Dalam logika yang sederhana berdasarkan iman, Tuhan sama sekali tidak memerlukan manusia atau bahkan tidak memerlukan alam semesta, tetapi manusia dan alam semestalah yang memerlukan Tuhan.

Manusia tidak akan pernah mampu menjawab pertanyaan, mengapa dia datang ke muka bumi, dari proses lahir, hidup, dan kemudian mati. Begitu pula alam semesta tidak akan pernah dapat menjelaskan keberadaan dirinya, tetapi iman mengatakan bahwa kreasi alam semesta ini menunjuk kepada sesuatu yang berada di luar dirinya. Itulah Maha Pencipta yang tidak bisa dijelaskan oleh kehebatan daya jangkau intelektual manusia. Alquran menyebutnya sebagai sesuatu yang ghaib: Dia ada, tetapi wujudNya berada di luar gambaran nalar manusia, betapa pun canggihnya struktur nalar itu.

Lalu bagaimana dengan fakta bahwa perkataan Allâh, nama diri Tuhan, yang terdapat lebih 2500 kali dalam Alquran, selain ungkapan al-Rabb, al-Rahmân dan banyak yang lain, apakah memang bukan Tuhan yang menjadi perhatian utama Alquran, bukan manusia? “Alquran,” tulis Fazlur Rahman, “adalah sebuah dokumen yang secara tepat diperuntukkan untuk keperluan manusia” (Lih. F. Rahman, Major Themes of the Qur’ân. Minneapolis-Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hlm. 1), bukan untuk keperluan Tuhan.

“Mengapa harus Tuhan?”, tulis Rahman. “Mengapa tidak membiarkan alam dengan segala isi dan prosesnya tegak di atas kakinya sendiri tanpa membawanya kepada sesuatu yang lebih tinggi, yang hanya menyebabkan realitas jadi ruwet dan memberikan beban yang tak perlu bagi intelek dan jiwa manusia?”  Di sinilah tugas Alquran menjelaskan “kepercayaan kepada dan sadar akan perkara yang ghaib.” (Ibid., hlm. 3). Melalui perantaraan wahyu, sesuatu yang ghaib menjadi nyata bagi manusia tertentu semisal nabi, sekalipun tidak mungkin dikenal sepenuhnya, kecuali oleh Tuhan sendiri. Inilah di antara misteri iman yang tidak selalu mudah dijelaskan.

Tetapi tanpa kehadiran iman dalam diri seseorang, dia otomatis akan kehilangan rujukan moral tertinggi dalam hidupnya. Dia akan menjadi seorang penganut nihilisme yang menurut F. Nietzsche “dapat diringkas dengan kematian Tuhan atau dengan ambruknya nilai-nilai tertinggi” (lih. Gianni Vattimo, The End of Modernity, terj. Jon R. Snyder. Baltimore: The John Hopkins University Press, 1991, hlm. 20). Dunia modern dengan segala kemajuan dan kegaduhannya sebenarnya sedang berada dalam situasi “ambruknya nilai-nilai tertinggi” itu. Adapun negeri-negeri Muslim sekalipun secara formal masih sering menyebut nama Tuhan sebagai sumber moral tertinggi, dalam realitas kehidupan kolektif mereka situasinya mungkin lebih buruk dari pada dunia modern yang sering mereka sumpahi itu. Kehidupan Muslim penuh ironi, sesuatu yang sangat berbeda dengan filosofi Alquran.

Maka nalar biasa akan bertanya: “Jika demikian, untuk apa agama?” Dalam bacaan saya, manusia yang beragama secara tulus dan autentik tidak mungkin mengalami pecahnya kongsi antara iman yang benar dan kelakuan yang dipertunjukkan.  Artinya, kelakuan buruk adalah manifestasi dari iman yang palsu atau iman yang sedang labil. Alquran dengan sangat terang dan tajam menggambarkan suasana pecah kongsi ini: “Dan janganlah kamu ibarat orang yang melupakan Allah, maka [Allah] akan menyebabkan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itu adalah orang-orang yang fasiq (pendurhaka, pendosa, tidak hirau dengan Tuhan sebagai rujukan moral tertinggi).” (Lih. Alquran. al-Hasyr: 19). Di antara ciri pendurhaka adalah bahwa imannya—jika iman itu ada--tidak ada kaitannya dengan kelakuannya, karena semuanya serba palsu, serba topeng.

Akhirnya, Alquran diturunkan dari Langit untuk kepentingan dan kebaikan bumi sepenuhnya. Manusia sebagai aktor utama perlu senantiasa mawas diri dan sadar bahwa hidup akan berujung dengan kematian. Hidup dan mati harus dipertanggung jawabkan kepada Sang Pencipta secara pribadi! []

REPUBLIKA, 29 Agustus 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar