Kamis, 03 Agustus 2017

(Ngaji of the Day) Ceroboh dan Gegabah dalam Mengeluarkan Fatwa



Ceroboh dan Gegabah dalam Mengeluarkan Fatwa

Lisan kita adalah salah satu anggota tubuh yang berpotensi melakukan banyak kemaksiatan seperti caci-maki, ghibah, namimah, bohong, sumpah palsu, tuduh, dan lain sebagainya. Karenanya tidak heran kalau Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya mengaitkan keimanan kepada Allah serta Hari Kiamat dengan perkataan yang baik atau diam sama sekali.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyebut secara rinci 20 jenis maksiat yang dilakukan oleh lisan manusia. Menurutnya, pada 20 tempat ini anak manusia kerap terperosok dalam maksiat lisan. Tidak ada yang selamat di 20 tempat ini selain mereka yang berdiam mengunci mulut.

Mengeluarkan fatwa tanpa didasari pengetahuan yang pasti dan yakin adalah termasuk salah satu kemaksiatan lisan. Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi dalam karyanya Is’adur Rafiq wa Bughyatus Shadiq memasukan hal ini dalam deretan kemaksiatan lisan.

ومنها (الفتوى بغير علم) جازم فيما يفتي فيه. قال عليه الصلاة والسلام أجرأكم على الفتوى أجرأكم على النار. قال ابن قاضى في مختصر الفتاوى ليس لمن قرأ كتبا أو كتابا ولم يتأهل للإفتاء أن يفتي إلا فيما علم من مذهبه علما جازما كوجوب نية الوضوء ونقضه بمس الذكر

Artinya, “Salah satu maksiat lisan adalah (berfatwa tanpa ilmu) yang yakin atas materi fatwa tersebut. Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang paling berani di antara kalian berfatwa adalah ia yang paling berani pada api neraka.’ Ibnu Qadhi dalam Mukhtasharul Fatawi mengatakan, orang yang membaca beberapa kitab atau satu kitab misalnya–sementara ia bukan ahli fatwa–tidak berhak mengeluarkan fatwa selain apa yang ia ketahui dengan yakin dalam madzhab yang dianutnya seperti fatwa wajibnya niat dalam mengambil air sembahyang dan batalnya kesucian karena menyentuh kemaluan,” (Lihat Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi, Is’adur Rafiq, juz 2,  halaman 90).

Dari petikan di atas dapat disimpulkan bahwa kita dilarang keras mengeluarkan fatwa tanpa dasar pengetahuan yang utuh dan mendalam. Pasalnya, fatwa memiliki kedudukan istimewa. Seorang mufti dituntut untuk memenuhi syarat-syarat terkait kapasitas seperti segenap perangkat pengetahuan dasar tentang keislaman dan kebahasaan Arab yang memadai.

Pengetahuan dasar itu antara lain adalah penguasaan ilmu bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghah, manthiq), pengetahuan akan ayat dan hadits-hadits hukum, pengetahuan akan pasal-pasal hukum dalam madzhabnya, pengetahuan akan argumentasi sebuah putusan hukum yang dikeluarkan imam madzhabnya, dan memahami benar persoalan yang dihadapi mustafti (orang yang datang meminta fatwa), dan sejumlah pengetahuan lainnya.

Hal ini tidak menafikan kebolehan para kiai kita yang alim dan faqih untuk berfatwa. Imbauan ini ditujukan bagi kita yang awam untuk tidak mengambil peran dalam proses keluarnya fatwa mengingat keterbatasan kapasitas yang kita miliki dan kemampuan kita yang tidak memadai.

Untuk kita yang awam, sebaiknya kita tidak perlu bernafsu untuk ikut-ikutan mengeluarkan fatwa. Karena orang yang berfatwa akan bertanggung jawab di akhirat atas fatwanya. Kita yang awam sebaiknya tidak perlu mengambil risiko itu agar tidak terjerumus dalam tanggung jawab yang kita tidak mengerti.

Fatwa yang dikeluarkan tanpa pendalaman sebuah masalah, tanpa kajian seksama sebelumnya dapat menyesatkan orang banyak. Kita juga khawatir kalau ada sebagian ustadz hanya dalam hitungan menit ditanya oleh seorang jamaah lalu mengeluarkan fatwa. Bahkan kalau masalah yang ditanyakan agak pelik yang memerlukan riset lapangan dan studi pustaka kitab-kitab kuning mendalam, sebagian ustadz kita langsung berfatwa seketika itu juga dari balik meja, tanpa turun ke lapangan dan studi pustaka.

Semoga kemaksiatan lisan dengan segala bentuknya tidak menjadi bagian dari keseharian kita. Semoga Allah memelihara kita dari segala dampak negatif atas kemaksiatan lisan tersebut. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar