Kamis, 03 Agustus 2017

Buya Syafii: Desa Tenggulun, Terorisme, dan BNPT (II)



Desa Tenggulun, Terorisme, dan BNPT (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Jarak antara Ibu Kota kabupaten Lamongan dengan Desa Tenggulun sekitar 36 km. Sebagian ruas jalannya sempit, dengan mobil kawal polisi memerlukan satu jam baru sampai di desa penting itu. Demikianlah pada 21 Juli 2017 itu saya berangkat dengan pesawat dari Yogyakarta jam 06.00 pagi sampai di bandara Juanda jam 07.00, baru sampai di Desa Tenggulun jam 09.15, saat acara peresmian akan dimulai. Acara berlangsung sangat lancar, tidak ada gangguan yang berarti. Di antara yang hadir, terlihat Hj. Tariyem (80-an), ibu kandung Amrozi-Ali Ghufron (terpidana mati pada 9 Nopember 2008, akibat terlibat dalam bom Bali, 12 Oktober 2002), di deretan mantan kombatan. Ibu sepuh ini didampingi putera sulungnya H. Muhammad Chozin yang juga tampan berwibawa.

Pada acara itu diadakan konferensi jarak jauh antara Suhardi Alius dengan saudara Amrozi bernama Ali Imron, (terpidana seumur hidup) dari Jakarta yang sudah lama saya kenal. Kami pernah diajak Jenderal Surya Dharma dari Densus 88 untuk duet bersama di depan forum aparat kepolisian yang cukup ramai. Sekalipun agak terganggu karena kendala sinyal, konferensi itu mendapat perhatian penuh dari yang hadir, termasuk Hj. Tariyem yang terlihat terpaku menonton Ali Imron di layar lebar. Saya tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk dalam hati ibu sepuh ini melihat Ali Imron menjawab dengan lancar dan lantang semua pertanyaan yang diajukan Komjen Suhardi Alius. Sikap sebagai mantan kombatan pada diri Ali Imron masih bertahan, sekalipun sudah hampir satu dasawarsa dalam tahanan.

Dalam suasana duka akibat bom Bali yang menewaskan 202 manusia (terbanyak Australia dan sebagian Indonesia) itu, ada seorang jenderal TNI AD ketika itu yang mengembangkan teori konspirasi: bom itu adalah rekayasa pihak Barat, tidak mungkin orang Indonesia mampu merakit bom dengan ledakan dashsyat seperti itu! Tetapi kicauan semacam ini segera terbantahkan karena Ali Imron dalam buku yang ditulisnya dengan tegas mengatakan bahwa para kombatan itu sudah pakar dalam seni merakit bom dengan kekuatan yang besar sekalipun.

Seperti telah dituliskan pada seri pertama Resonansi ini, pengakuan Kurnia Widodo yang juga ahli pembuat bom, bagi kelompok ini pekerjaan rakit-merakit itu amatlah mudah. Oleh sebab itu teori konspirasi telah gugur dengan sendirinya. Tidak perlu dikembangkan lagi, karena pasti menyesatkan dan memandang remeh anak bangsa ini. Energi kepakaran manusia Indonesia tidak kalah dibandingkan manusia bangsa lain, hampir di semua lini kehidupan, untuk kebaikan atau untuk menghancurkan. Energi itulah kini yang sedang disalurkan BNPT untuk tujuan-tujuan positif, demi martabat dan kemuliaan dan kemajuan masa depan bangsa ini.

Desa Tenggulun memang luar biasa. Siapa nyana sebelumnya bahwa desa kecil  yang jumlah penduduknya pada tahun 2008 hanyalah 2022 telah melahirkan para kombatan yang menggoncangkan jagat raya. Dari segi pendidikan, desa ini cukup maju. Bagi anak usia sekolah 7-15 tahun, hanya lima anak saja tidak bersekolah. Sebagian tanahnya juga subur. Banyak rumah penduduk yang bagus, berkat hasil  jerih payah perantaunya ke Melaysia, termasuk sebagian kombatan yang juga pernah belajar ideologi Islam garis keras dengan mentor orang Indonesia keturunan Arab yang hijrah ke Johor tahun 1980-an. Menurut keterangan Ali Fauzi kepada saya DR Azahari Husin yang tertembak di Batu, Malang, pada 2005, pernah belajar agama kepadanya. Ini artinya, seorang Ali Fauzi punya keunggulan dalam pengetahuan agama dibandingkan doktor Malaysia itu.

Masih menurut Ali Fauzi, atau nama lengkapnya Ali Fauzi Manzi, kelompok teroris amat piawai dalam penyamaran: “Bergantung dari komunitas yang didekatinya. Kalau komunitas itu pedagang furniture, maka dia tidak segan-segan  untuk berdagang furniture. Kalau komunitas itu pegadang bakso, mereka juga tidak segan-segan ikut berdagang bakso.” Bahkan abangnya Amrozi, kata Fauzi, ketika berada di Pontianak pernah jadi tukang buat roti. Kombatan yang terlatih ini amat lihai bergumul dengan berbagai situasi, berkat teologi kebenaran tunggal yang bersarang di otak dan di hati mereka. []

REPUBLIKA, 01 Agustus 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar