Kemenangan Demokrasi di Turki
Oleh: Zuhairi Misrawi
Kudeta atas rezim Recep Tayyip Erdogan di Turki yang diprakarsai
sekelompok militer tidak berumur panjang alias gagal total. Banyak pihak yang
menyebutkan, kudeta tersebut terlalu dipaksakan dan tidak mendapatkan dukungan
publik secara luas.
Turki dalam beberapa bulan terakhir sedang menghadapi masalah yang
sangat serius. Aksi bom bunuh diri di Istanbul dan Ankara menjadi mimpi buruk
setiap warga karena bisa terjadi kapan dan di mana tanpa ada pihak yang bisa
mendeteksi dan mengantisipasi aksi tersebut. Aparat keamanan sekalipun tak
mampu menghentikan niat jahat para teroris. Tidak berlebihan apabila Turki
layaknya Irak dan Suriah yang tidak pernah sepi dari aksi bom bunuh diri.
Kebebasan berpendapat juga mati suri. Sejumlah media kontra
pemerintah dibredel dan para jurnalisnya ditangkap. Mereka yang menguliti rezim
Erdogan akan menghadapi perlakuan diskriminatif hingga diseret ke balik jeruji
penjara. Sejumlah media sosial, seperti Twitter, Facebook, dan Youtube, ditutup
pemerintah. Itu artinya arus perlawanan terhadap Erdogan menguat di balik ambisinya
untuk mengubah konstitusi demi kekuasaan sebagai Presiden Turki.
Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Suriah dan Irak,
Turki terimbas konflik politik yang berkepanjangan. Turki mendapatkan limpahan
pengungsi, termasuk mereka yang hendak eksodus ke Eropa. Belum lagi, Turki
menjadi pintu masuk bagi pasukan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Akibat
ditutupnya pintu masuk ke Suriah, NIIS langsung melancarkan serangan mematikan
di Bandara Ataturk, Istanbul. Selama ini Erdogan diduga sangat ramah dengan
pasukan NIIS dari Eropa dan Asia yang hendak masuk ke Suriah dan Irak.
Belum lagi, masalah dengan faksi Kurdi yang cenderung memanas.
Meskipun mereka mempunyai kursi di parlemen, tetapi faksi Kurdi masih terus
menggelorakan kemerdekaan. Erdogan memilih menggunakan pendekatan yang keras
terhadap faksi Kurdi.
Beberapa fakta di atas rupanya membangkitkan nafsu sebagian
tentara untuk melakukan kudeta. Kesabaran dan kepercayaan mereka terhadap
Erdogan menipis sehingga mengambil langkah kudeta. Bagi sebagian tentara,
kudeta merupakan bagian dari sejarah politik di Turki. Dinasti Ottoman dikudeta
sejumlah anak muda tahun 1908, yang disertai dengan lahirnya Turki Modern pada
1923. Kudeta juga berlangsung tahun 1960, yang diprakarsai militer. Kemudian,
kudeta juga terjadi pada 1971, 1980, dan terakhir 1997.
Sebenarnya pada tahun 2012, sejumlah tentara juga merencanakan
kudeta terhadap Erdogan. Namun, upaya tersebut tercium terlebih dahulu sehingga
mampu digagalkan Erdogan. Setidaknya 236 tentara ditangkap atas rencana kudeta
tersebut.
Gagal
Kudeta yang berlangsung Jumat lalu sebenarnya tergolong serius.
Ada ribuan tentara yang terlibat. Mereka menduduki gedung parlemen, bandara,
dan jembatan Bosphorus. Namun, kudeta tidak berlangsung lama. Di Turki, aksi
sebagian militer yang menghendaki kudeta tak mendapatkan dukungan publik secara
luas. Bahkan, partai-partai oposisi yang diharapkan memberikan dukungan kepada
militer pro-kudeta ternyata menolak karena kudeta dianggap mencederai
demokrasi.
Begitu pula, Obama langsung mengeluarkan pernyataan yang secara
eksplisit memberikan dukungan kepada Erdogan yang terpilih secara demokratis.
Amerika Serikat mendukung sepenuhnya pemerintahan yang dipilih secara
demokratis dan institusi demokrasi berjalan normal di Turki. Secara implisit
Obama sangat berkepentingan kepada Erdogan untuk melawan NIIS. Instabilitas
politik di Turki akan menjadi mimpi buruk bagi AS dan sekutunya yang gencar
membombardir NIIS.
Konsekuensinya, kudeta tidak populer, baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Ini kekalahan kedua sejumlah militer yang mempunyai rencana
mengudeta Erdogan dari kekuasaannya. Maka dari itu, kegagalan kudeta di Turki
merupakan kemenangan bagi demokrasi. Terbukti demokrasi telah menyelamatkan
Erdogan, bukan hanya pendukungnya yang turun ke jalanan untuk mendukungnya.
Yang patut diapresiasi dalam menggagalkan kudeta di Turki adalah
pihak oposisi yang sedari awal tidak tergoda dengan sejumlah tentara yang
menginginkan kudeta. Pihak oposisi memilih menempuh prosedur demokrasi dalam
mengalahkan Erdogan meskipun secara faktual langkah tersebut sangat sulit. AKP,
partai Erdogan, masih terlalu tangguh untuk dikalahkan dalam pemilu yang
digelar pada November nanti. Dalam pemilu sela Juni 2015, AKP justru semakin
kuat dengan kemenangan di atas 50 persen.
Selanjutnya, apresiasi juga harus diberikan kepada AS yang memilih
mendukung tegaknya demokrasi di Turki, khususnya apresiasi kepada Presiden
Obama. Meskipun banyak pihak di AS yang menyebut Islamisme di Turki semakin
kuat sejak dipimpin Erdogan, Obama tidak tergoda dengan kudeta. Obama memilih
demokrasi berkibar di Turki daripada kudeta militer.
Demokrasi di Turki merupakan demokrasi terbesar kedua di dunia
Islam setelah Indonesia. Dalam 13 tahun terakhir, demokrasi dan sekularisme
berdiri kokoh di Turki. Menurut M Hakan Yavuz dalam Secularism and Muslim
Democracy in Turkey, AKP sebagai partai penguasa di Turki telah membuktikan
sebagai penjaga demokrasi dan sekularisme. AKP fokus pada kesejahteraan ekonomi
dan pembangunan dengan tujuan utama Turki sebagai bagian dari Eropa.
Dalam banyak kesempatan, Erdogan selalu menegaskan sekularisme
merupakan ideologi yang harus dipertahankan sebagai identitas Turki. Padahal,
AKP mempunyai hubungan dekat dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Namun, Erdogan
memilih sekularisme, bukan Islamisme.
Tantangan
Meskipun demikian, gagalnya kudeta bukan akhir dari seluruh
problematika politik di Turki. Bahkan ditengarai, kudeta merupakan awal dari
gejolak politik yang lebih besar. Apalagi jika Erdogan tak mengambil langkah-
langkah yang tepat pasca kudeta gagal tersebut.
Yang diperlukan saat ini adalah jalan menuju rekonsiliasi. Erdogan
harus menjadikan demokrasi sebagai upaya untuk membangun kembali rekonsiliasi
nasional. Ambisi untuk menggenggam kekuasaan dengan cara-cara otoriter terbukti
hanya membuka jalan bagi militer untuk melakukan kudeta.
Maka dari itu, mau tidak mau, Erdogan harus kembali ke jalan
demokrasi yang substansial: menjamin kebebasan pers dan membangun jembatan
dengan pihak oposisi. Erdogan juga perlu memikirkan ulang ambisinya untuk
melakukan amandemen konstitusi yang bertujuan untuk memperkuat kekuasaannya.
Alangkah eloknya jika Erdogan memikirkan regenerasi kepemimpinan di Turki
dengan menjadikan kepentingan Turki di atas kepentingan dirinya dan
kelompoknya.
Langkah Erdogan menuduh Fathullah Gullen sebagai aktor utama di
balik kudeta sebenarnya tidak tepat. Langkah tersebut semakin membuka
perseteruan politik dengan para pengikut Gullen yang cukup besar di Turki.
Selama ini Erdogan sudah terlalu banyak mempunyai musuh, yaitu faksi Kurdi,
media, dan tentara. Memusuhi Gullen berarti Erdogan sedang menambah musuh baru
yang sangat tidak menguntungkan dirinya.
Turki merupakan kiblat demokrasi dunia Islam. Dalam sejarahnya,
Turki membuktikan bahwa demokrasi dapat menjaga konstitusi yang demokratis.
Bahkan, Turki mampu membangun ekonomi yang tangguh. Namun, kini Turki terjebak
dalam otoritarianisme Erdogan, yang secara nyata telah membuka jalan bagi
kudeta militer.
Maka, gagalnya kudeta tersebut harus menjadi momentum untuk
konsolidasi demokrasi. Semua pihak mesti menjaga demokrasi. Langkah ini harus
diambil Erdogan jika ia tidak ingin terjerumus ke dalam jurung yang lebih dalam
lagi. []
KOMPAS, 19 Juli 2016
Zuhairi Misrawi | Peneliti Pusat Kajian Pemikiran dan Politik
Timur Tengah, The Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar