Interkoneksitas
Ilmu Pengetahuan
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Yang
namanya universitas itu merupakan sarana dan upaya sistematis untuk mendekati
dan memahami universum bagi komunitas intelektual kampus. Orang yang
tamat jenjang tertinggi setelah studi di universitas, diharapkan mengenal
realitas hidup yang universal dan diharapkan mampu menyumbangkan pemikiran
untuk memecahkan problem sosial yang muncul. Makanya titelnya PhD, Philosphy of
Doctor. Ini tidak mesti berarti doktor filsafat, namun diharapkan mampu melihat
dan berpikir filosofis universal terhadap realitas hidup dan kehidupan.
Untuk
memasuki pintu universum itu maka dibukalah berbagai pintu fakultas, lalu dalam
fakultas dirinci lagi menjadi program studi atau departemen. Masalahnya,
fakultas itu sering kali berubah peran, dari pintu gerbang menjadi kamar
tertutup yang memenjarakan mahasiswanya sehingga terkurung tidak mampu melihat
dan mengapresiasi ilmu yang berkembang di fakultas lain.
Padahal
ilmu itu bekerja saling berhubungan dan memerlukan yang lain, sebagaimana
realitas hidup yang kompleks dan saling terkait. Ini juga tecermin dalam
realitas semesta yang elemenelemennya saling terhubung. Ketertutupan fakultas
dan program studi itu semakin rapat ketika muncul revolusi industri yang memesan
pada universitas untuk menyediakan dan memasok tenaga kerja dengan skill yang
spesifik guna memenuhi tuntutan kerja di pabrik. Maka muncul istilah link and
macth.
Belajar
ilmu itu mesti yang memiliki keterkaitan langsung dengan peluang pekerjaan yang
disediakan oleh dunia industri. Yang namanya sarjana, lalu berperan bagaikan
sekrup bagi mesin industri yang sekarang perannya mulai digantikan robot.
Salahkah konsep di atas? Tentu saja tidak salah.
Dalam
masyarakat industri memang sangat dirasakan adanya kebutuhan tenaga kerja yang
memiliki keahlian spesifik. Turunan dari konsep ini maka tataran di bawahnya
muncul SMK, sekolah menengah kejuruan. Tidak mengherankan makanya di Barat
beredar candaan, jika ingin jadi orang kaya jangan mengambil program doktor.
Doktor itu tidak cocok untuk bekerja mengejar kekayaan. Cukup MBA untuk
memasuki sebuah usaha yang menjanjikan secara ekonomi.
Doktor
itu pada awalnya memang dimaksudkan sebagai komunitas ilmuwan yang mencintai
riset, memberikan kritik dan pencerahan pada komunitas praktisi dan politisi.
Makanya titelnya PhD. Mereka mengembangkan tradisi berpikir filosofis agar
mendapatkan wisdom dan memberikan rambu-rambu atau tanda zaman pada masyarakat.
Doktor
itu diharapkan mampu membaca dan mengembangkan interkoneksitas keilmuan yang
tumbuh dalam berbagai fakultas. Interkoneksitas ilmu itu analog dengan jejaring
sosial, jejaring alam, bahwa variabel yang satu memengaruhi dan dipengaruhi
oleh yang lain. Hal ini juga mirip dengan kerja otak. Tak ada yang linier tapi
susunan saraf otak itu sangat lembut dan jumlahnya miliaran saling berkaitan.
Yang juga
menarik, interkoneksitas ilmu, saraf otak dan realitas sosial sangat mirip
dengan metode Alquran. Berbeda dari logika buku ilmiah yang linier, ayat-ayat
Alquran itu bagaikan lingkaran. Ayat yang satu menjelaskan yang lain. Makanya
mempelajari Alquran memerlukan metode tersendiri. Kadang terkesan
diulang-ulang, padahal konteksnya berbeda. Ini yang membuat Alquran tak pernah
habis dipelajari.
Memasuki
era informasi ini, semakin terasa kita dituntut untuk bisa menghubungkan ilmu
yang satu dengan yang lain. Kalau tidak maka akan kebingungan dibanjiri
informasi yang kadang sampah dan tidak logis. Dengan mengetahui prinsip-prinsip
dasar disiplin ilmu, kita akan terkondisikan berpikir interdisipliner sehingga
bisa memahami universum relatif utuh.
Bukan
terkurung oleh sekat fakultas. Semua ilmu itu mestinya bisa dipahami oleh orang
lain atau lintas fakultas terutama menyangkut kontribusinya terhadap masalah
kemanusiaan dan kenegaraan. []
KORAN
SINDO, 17 Juni 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar