Arab
Saudi dan NIIS
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Aksi bom
bunuh diri beruntun yang dilakukan Negara Islam di Irak dan Suriah di Arab
Saudi-Qatif, Jeddah, dan Madinah (5/7/2016)-membuka lembaran baru relasi negara
kaya minyak itu dengan kelompok teroris paling brutal saat ini.
Semua
tahu, geneologi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) tidak bisa dipisahkan
dari perta- rungan politik antara rezim yang berkuasa dan pihak oposisi di Irak
dan Suriah. Instabilitas politik di dua negara itu telah memunculkan lahirnya
kelompok- kelompok perlawanan yang membawa bendera agama.
Di
Suriah, Arab Saudi bersama negara Teluk lainnya menyokong pihak oposisi. Alasan
mereka, melengserkan rezim Bashar al- Assad sama halnya dengan melemahkan
pengaruh Iran di kawasan. Arab Saudi dan sekutunya punya target yang tak main-main
memerankan kartunya di Timur Tengah: mengubah peta geopolitik. Karena itu,
seluruh kelompok oposisi yang punya misi menjatuhkan rezim Assad mendapat
dukungan finansial dan persenjataan yang sangat luar biasa.
Namun,
satu hal yang tak dikalkulasi Arab Saudi dan negara Teluk, di antara kelompok
oposisi tersebut punya misi terselubung. Kelompok oposisi punya mimpi
masing-masing perihal masa depan Irak dan Suriah. Menumbangkan rezim Assad
hanya sasaran antara. Tujuan utamanya mendirikan negara agama, glorifikasi
negara masa lalu.
NIIS
salah satu kelompok oposisi yang terang-terangan mendirikan negara di tengah
kecamuk politik yang tak berujung itu. Mereka menjadikan kota-kota yang
dikuasai, seperti Mosul (Irak) dan Raqqa (Suriah), basis mengendalikan kekuasaannya.
Bahkan, NIIS belakangan mendeklarasikan sebagai jaringan global dengan tak lagi
menjadikan Irak dan Suriah basisnya. Mereka menyebut kelompoknya sebagai Negara
Islam yang tersebar di seantero dunia dengan menggunakan media sosial sebagai
komunikasi internal.
Pertanyaannya,
kenapa NIIS yang semula mendapatkan sokongan dari Arab Saudi dan negara Teluk
kini justru menyerang balik Arab Saudi? Bukankah ideologi NIIS sejalan dengan
ideologi yang dianut Arab Saudi?
Sepintas
serangan NIIS ke Arab Saudi sehari menjelang Idul Fitri memang terlihat aneh
dan ganjil. Tidak terbayangkan NIIS akan melancarkan aksi brutal ke negara yang
telah jadi inspirasi dan penyokong gerakan mereka dalam melawan rezim Assad dan
gerakan melumpuhkan pengaruh Iran di kawasan. Lebih-lebih serangan tersebut
dilancarkan pada hari umat Islam sedang mengakhiri puasa Ramadhan.
Beberapa
alasan
Ada
beberapa alasan yang dapat menjelaskan di balik serangan NIIS ke Arab Saudi.
Pertama, Arab Saudi cenderung mengamini gerakan global melawan NIIS. Setidaknya
dalam koalisi besar Amerika Serikat, Eropa, Rusia, dan Iran dalam menggempur
NIIS, Arab Saudi dianggap menjadi bagian dari koalisi tersebut. Sikap Arab
Saudi yang cenderung netral dan pasif sangat tidak menguntungkan NIIS.
Serangan
NIIS ke tiga kota di Arab Saudi itu merupakan sinya- lemen penting, apakah
Kerajaan Arab Saudi akan bersama atau justru sebaliknya melawan NIIS. Secara
implisit, melalui serangan berantai di tiga kota, NIIS sedang melakukan
tawar-menawar politik dengan rezim Arab Saudi.
Apalagi
posisi NIIS belakangan ini terdesak, baik di Irak maupun Suriah. Mosul yang
dalam dua tahun terakhir dikuasai NIIS juga sudah berhasil diambil kembali
pasukan rezim Irak. Begitu pula Aleppo yang berhasil diambil alih NIIS, kini juga
berhasil dikuasai kembali pasukan Assad. Praktis mereka sekarang hanya bertahan
di Raqqa. Itu pun posisi NIIS makin terdesak akibat gempuran koalisi besar AS,
Rusia, Eropa, dan Iran.
Kedua,
NIIS menyerang tiga kota simbolik Arab Saudi. Qatif merupakan salah satu kota
yang dihuni penganut Syiah. NIIS sepertinya meminta rezim Arab Saudi serius dan
konsisten memerangi Syiah. Arab Saudi dianggap menerapkan standar ganda. Di
satu sisi menggempur beberapa faksi yang berafiliasi dengan Iran, seperti di Bahrain,
Irak, Suriah, Yaman, dan Lebanon, tetapi Arab Saudi justru membiarkan jutaan
penganut Syiah hidup di Arab Saudi bagian timur.
Konsulat
jenderal di Jeddah merupakan simbol agar Arab Sa- udi tak bermain mata dengan
AS. Kita tahu bahwa Arab Saudi punya hubungan mesra dengan AS. Presiden Barack
Obama dalam kunjungannya ke Arab Saudi menegaskan hubungan yang kian kuat dalam
berbagai sektor kehidupan. Intinya, AS akan selalu menjaga keamanan Arab Saudi
dari rongrongan pihak lain.
Serangan
ke Madinah, kota Nabi Muhammad SAW, merupakan simbol penting bahwa NIIS siap
mengambil alih Kota Suci yang merupakan salah satu kota penting bagi dunia
Islam. Selain Madinah, NIIS sebenarnya mengirimkan ancaman akan melancarkan
serangan ke Mekkah. Keistimewaan Arab Saudi karena menjadi penguasa penuh atas
dua Kota Suci umat Islam: Mekkah dan Madinah. Jika NIIS berhasil menebar teror
di kedua Kota Suci itu, hal tersebut akan jadi pukulan telak bagi Arab Saudi.
Ketiga,
NIIS ingin menegaskan mereka eksis di Arab Saudi. Modal ideologis yang identik
dengan ideologi yang dianut rezim Arab Saudi merupakan salah satu kekuatan NIIS
untuk melakukan rekrutmen. Salah satu medium yang digunakan NIIS merekrut
anggota dengan menggunakan media sosial. NIIS menjadikan anak muda sasaran
meneguhkan eksistensi mereka di Arab Saudi.
Serangan
NIIS ke tiga kota simbolik di Arab Saudi merupakan ancaman serius terhadap rezim
saat ini. Mereka tak boleh main-main lagi dengan eksistensi NIIS. Apalagi
menurut survei Tabah Foundation, meski mayoritas warga Arab Saudi menyebut Al
Qaeda dan NIIS sebagai bentuk pemutarbalikan ajaran Islam, masih ada 28 persen
yang dapat memaklumi aksi kelompok teroris. Ada 5 persen warga yang menyebut
aksi mereka dapat dibenarkan, dan beberapa aksinya tak dapat diterima. Sekitar
10 persen warga Arab Saudi menyebut aksi Al Qaeda dan NIIS tak bertentangan
dengan ajaran Islam (www.nytimes.com).
Berjanji
Kini
rezim Arab Saudi berjanji akan melawan NIIS. Mereka akan meningkatkan keamanan
dan melindungi kaum muda dari infiltrasi kaum teroris, khususnya Al Qaeda dan
NIIS. Fakta yang tak terbantahkan, teroris tak hanya menggempur AS dan
sekutunya, tetapi justru mengganggu keamanan Arab Saudi. Apalagi di tengah
gejolak anjloknya harga minyak, Arab Saudi saat ini mengandalkan pendapatan
dalam negerinya dari penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Jika NIIS
berhasil menanamkan rasa takut di dua kota suci, Mekkah dan Madinah, maka akan
jadi pukulan telak bagi devisa Arab Saudi yang dikabarkan defisit cukup serius
tahun ini. Maka, Arab Saudi tak boleh menganggap sepele menghadapi ancaman
NIIS. Diperlukan kebijakan yang komprehensif, yang dimulai dengan reformasi
paham keagamaan yang lebih toleran dan humanis, serta tak membiarkan kelompok
yang berafiliasi dengan Al Qaeda dan NIIS.
Di Timur
Tengah mulai muncul seruan melirik keberagamaan ala Asia Tenggara, khususnya
Indonesia, yang terbukti berhasil mempersempit ruang gerak kelompok teroris dan
mampu menangkal pikiran ekstrem. Hemat saya, saatnya Arab Saudi belajar dari
Indonesia mewujudkan ajaran Islam rahman lil 'alamin, bukan sebaliknya. []
KOMPAS,
12 Juli 2016
Zuhairi Misrawi | Peneliti Pusat Kajian Pemikiran dan Politik
Timur Tengah, The Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar