Hidup
yang Membunuh Kehidupan
Oleh:
Yudi Latif
Kewarasan
memantulkan kesadaran bahwa hidup ini pendek, sedangkan kehidupan itu panjang.
Demi keberlangsungan kehidupan, tiap-tiap saluran pendek sang hidup harus
sama-sama mengalir menuju sungai panjang kehidupan yang menghanyutkan air
hingga samudra impian kebahagiaan hidup bersama. Maka, janganlah sekali-kali
keserakahan hidup mengorbankan kehidupan.
Agar
hidup menumbuhkan kehidupan, fitrah manusia dibekali lentera kehanifan yang
memandu nurani mengutamakan kebenaran dan keadilan lintas ruang dan waktu.
Namun, cinta dunia dan ketergesa-gesaan membuat penglihatan manusia rabun jauh;
terperangkap dalam zona nyaman jangka pendek. Dalam kungkungan kepentingan
sesaat, pancaran nurani redup tak mampu memandu jalan hidup. Sang hidup tak
lagi merasa bersalah telah mengkhianati kehidupan.
Masa kini
tega membunuh masa depan. Anak-anak harapan diberi asupan vaksin palsu.
Pendidikan sekadar ajang indoktrinasi dan komersialisasi, abai mengembangkan
potensi dan kreasi insani. Kedalaman ilmu dan kegairahan intelektual tergerus
etos instrumentalisme. Pelajar yang harus dididik mandiri malah diminta diantar
orangtua.
Kekayaan
alam dikuras, lupakan kesinambungan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dikejar
tanpa mengindahkan nilai tambah. Keuangan negara dibobol dan dikemplang,
tipiskan modal kemajuan jangka panjang. Gairah berutang tak kenal henti,
wariskan beban bagi generasi mendatang.
Jalanan
bukan tempat aman. Musim penghujan ajang menambal jalan berlubang untuk segera
rusak saat kemarau tiba, melupakan keselamatan pengguna. Bahkan keriangan
ritual mudik Lebaran pun harus ditebus dengan kematian dan penderitaan.
Demi
hidup, penduduk negeri mengorbankan prinsip kehidupan. Padahal, tak ada
kemuliaan bagi kaum yang tak mengindahkan kaidah kehidupan. Tak ada kemajuan
tanpa kesanggupan menunda kesenangan. Barangsiapa tak bisa menanam benih
harapan, tak bisa memanen kejayaan masa depan.
Tujuan
bernegara adalah mewujudkan kebahagiaan hidup bersama. Dalam impian Bung Hatta:
"Aku ingin membangun dunia di mana semua orang merasa bahagia di
dalamnya." Untuk itu, negara dan warganya harus punya jiwa pelayanan.
Rakyat dan pemimpinnya ibarat harimau dan hutannya. Kehidupan harimau tergantung
kelestarian hutannya, sedangkan keselamatan hutan tergantung penjagaan
harimaunya.
Warga
negara bertanggung jawab menentukan karakter pelayanan pemimpinnya. Lagi kata
Bung Hatta, "Bukan karena kokok ayam matahari terbit, tapi karena matahari
terbitlah, ayam berkokok." Artinya, "Pergerakan rakyat tumbuh bukan
karena pemimpin bersuara, melainkan pemimpin bersuara karena ada pergerakan
atau ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak dapat rakyat mengeluarkannya....
Pemimpin mengemudikan apa yang sudah dikehendaki rakyat."
Negara
bertanggung jawab melayani dan mendidik rakyat. Tugas kepemimpinan negara
bukanlah mengobral khayal. Tugas pemimpin adalah menuntun rakyat menyadari
kenyataan dan merasakan kehadiran krisis. Dalam istilah Bung Karno, pemimpin
harus dapat "mengaktivir kepada perbuatan": mengaktivir bangsa yang
ia pimpin kepada perbuatan. Kalau cuma menyerukan perbuatan, tetapi kenyataan
tak mampu mengaktivir rakyat kepada perbuatan, buat apa bermimpi jadi pemimpin?
"Mengaktivir
kepada perbuatan," lanjut Soekarno, "berarti harus mengaktivir lebih
dahulu kepada wil", yang dalam perikehidupan kebangsaan berarti
mengaktivir collective will. Untuk membangkitkan kemauan kolektif, para
pemimpin haruslah terlebih dahulu menyalakan spirit. Itulah trilogi yang
didengungkan Soekarno sejak tahun 1932: nationale geest (spirit kebangsaan),
nationale wil (kemauan kebangsaan), dan nationale daad (perbuatan kebangsaan).
Menurut
Bung Karno, besar kecilnya spirit-kemauan rakyat untuk berjuang ditentukan oleh
tiga hal. Pertama, menarik tidaknya tujuan atau cita-cita politik yang
diperjuangkan pemimpin. Kedua, rasa mampu di kalangan rakyat. Ketiga, tenaga
yang tersedia di kalangan rakyat sendiri. Pemimpin harus cakap melukiskan daya
tarik cita-cita politiknya, mampu membangkitkan kepercayaan rakyat, serta
sanggup menyusun tenaga rakyat demi tujuan politik.
Dengan
tanggung jawab bersama, negara dan warganya, perjuangan hidup didedikasikan
untuk menumbuhkan kehidupan penuh harapan. Dalam mewujudkan politik harapan,
Donna Zajonc memerikan tentang keharusan suatu bangsa keluar dari tahap anarki,
tradisionalisme, apatisme menuju penciptaan pemimpin yang sadar. Tahap pertama,
seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan
pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Tahap kedua, untuk
mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan meminggirkan orang lain. Tahap
ketiga, peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, justru
membuat apatis.
Tahap
keempat, tahap politik harapan, pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan
dan optimisme pada situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan
realitas serta kesediaan bekerja sama menerobos batas politik lama. Kekuasaan
digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain
mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya terlibat dalam politik dan
aktivisme sosial untuk mewujudkan kebajikan dan kebahagiaan hidup bersama. []
KOMPAS,
26 Juli 2016
Yudi Latif | Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar