Budaya
Mudik Lebaran
Oleh:
Komaruddin Hidayat
RASULULLAH
mengingatkan umatnya, ibarat memacu kuda maka mendekati garis finis hendaknya larinya
semakin kencang agar menjadi pemenang. Begitu pun dalam ibadah puasa Ramadan,
di 10 hari terakhir hendaknya diperbanyak ibadah karena hari-hari itu justru
akan menentukan kualitas dan keutuhan ibadah Ramadan. Namun, rupanya yang lebih
heboh ialah agenda pulang mudik. Semoga saja mudik Lebaran pun akan tercatat
sebagai ibadah.
Fenomena
Lebaran telah berakar kuat dalam masyarakat dan ini akan tetap bertahan terus
terlebih ketika urbanisasi juga semakin meningkat.
Pengamat
asing mengatakan orang Indonesia, khususnya Jawa, they are very much attached
to their lands. Masyarakat kita sangat terikat kuat dengan tanah air dan
kampung halaman.
Itu
terbukti, ketika keluarga yang mengalami rumah hancur terkena tanah longsor
ditawari pindah tempat oleh pemerintah, mereka menolak pindah. Jadi, masyarakat
Indonesia bukan bangsa yang senang berdiaspora. Mangan ora mangan asal ngumpul.
Tentu
saja di kalangan generasi muda sudah mulai kendur ikatan etnik dan kedaerahan,
mereka berkarier dan hidup di rantau. Namun, sangat jauh jika dibandingkan
dengan masyarakat Tionghoa, Turki, India, dan Yahudi, yang tinggal dan
membangun komunitas di luar negeri.
Dugaan
saya, kata lebaran berasal dari bahasa Jawa, yang berarti seseorang sudah
selesai menyelenggarakan sebuah hajatan. Itulah hajatan melaksanakan perintah
puasa selama Ramadan. Dengan hadirnya Hari Lebaran, seseorang diajarkan untuk
lebur, yaitu menyatu kembali dengan sesama hamba Tuhan, apa pun status
sosialnya, setelah kembali ke fitrahnya.
Itu
ditandai dengan diselenggarakannya acara halalbihalal di lingkungan perkantoran
dan masyarakat, sebuah forum untuk saling memaafkan dan memperkukuh rajutan
sosial.
Lebaran
juga mendorong munculnya sikap luber, yaitu sikap filantropis, senang berbagi
rezeki, mensyukuri anugerah Tuhan yang diterimanya selama ini. Karena itu,
banyak keluarga muslim yang mengeluarkan zakat tahunan serta sedekah sehabis
Ramadan, di luar zakat fitrah. Tradisi mudik pulang kampung juga menjadi medium
untuk mengekspresikan rasa syukur setelah puasa sebulan yang di dalamnya
terkandung semangat lebur dan luber.
Kreasi
masyarakat
Tradisi
yang memiliki dimensi keagamaan sulit hilang atau dihilangkan dari masyarakat,
seperti di Bali tempat agama dan budaya telah menyatu. Di Indonesia, budaya
Lebaran justru semakin meriah dan menguat karena dampak ekonomi dan sosialnya
sangat positif bagi masyarakat dan negara.
Budaya
Lebaran secara signifikan ikut memperkukuh kohesi sosial dan mendukung
pemerataan ekonomi. Mobilitas warga yang sedemikian masif telah mendorong
pembangunan infrastruktur dan menghidupkan bisnis transportasi nasional dengan
segala turunannya. Tradisi pulang mudik yang awalnya hanya populer di kalangan
masyarakat Jawa sekarang juga menular ke luar Jawa.
Festival
yang telah mentradisi yang diciptakan negara ialah peringatan kemerdekaan 17
Agustus. Namun, dampak sosial ekonominya tidak sebesar dan seheboh Lebaran.
Begitu pun pesta tahun baru. Gebyarnya hanya sesaat dan miskin aura
keagamaannya. Namun, suasana Ramadan yang ditutup dengan Idul Fitri sangat
kental aura religiositasnya.
Banyak
orang yang mengeluarkan zakat dan sedekah pada bulan Ramadan sehingga ketika
tiba Hari Lebaran suasana batin terasa lega. Masing-masing merasa saling
memaafkan dan dimaafkan.
Suasana
yang demikian ini bukan hasil rekayasa politik, melainkan benar-benar tumbuh
dari bawah, keluar dari hati yang selalu ingin memperbaiki kualitas hidup dan
merasakan nikmatnya kebersamaan, toleransi, dan kedamaian yang muncul dari
penghayatan iman.
Konon
sejarahnya, di Eropa hari libur Sabtu dan Minggu disebut holiday karena
diinspirasi Bibel bahwa Tuhan istirahat mengurus dunia pada Sabtu. Karena itu,
manusia juga istirahat dari kerja mengejar duniawi lalu diganti dengan acara
ritual memuja Tuhan sehingga pada holy-day, hari suci, orang pergi ke gereja
atau kuil untuk memuja Tuhan.
Namun,
sekarang telah terjadi proses sekularisasi, nilai-nilai keagamaan justru hilang
pada holiday, yang menonjol ialah pesta duniawi yang penuh hura-hura. Ketika
saya jalan-jalan ke Eropa Timur masih terdapat sisa-sisa tradisi Kristen kuno.
Ketika datang Sabtu dan Minggu, toko-toko tutup sekalipun banyak turis. Itu
pengaruh metafora Bibel, bahwa Sabtu Tuhan pun istirahat sehingga manusia juga
mesti istirahat lalu diganti dengan memperbanyak berdoa dan bekerja bakti,
tidak mencari uang.
Dari
sekian banyak tradisi, jika di dalamnya ada unsur keagamaan, biasanya itu akan
mampu bertahan lama. Contoh yang fenomenal ialah masyarakat Hindu Bali, antara
ritual keagamaan dan budaya telah menyatu, bahkan menjadi daya tarik turis yang
mendatangkan devisa.
Bagi
masyarakat Islam Indonesia, selama Ramadan juga berkembang tradisi berbuka
bersama. Jusuf Kalla, wakil presiden, pernah berujar kepada saya, puasa itu
hanya sebulan, tapi acara berbuka puasa bisa 50 kali, karena mesti menghadiri
undangan acara buka bersama di berbagai tempat.
Ketika
Lebaran tiba, yang paling utama dari segi agama ialah mendirikan salat Idul
Fitri di lapangan atau masjid agung. Namun, yang membuat heboh ialah acara
pulang mudik kumpul keluarga, dilanjutkan dengan silaturahim saling memaafkan
dan menikmati hidangan Lebaran bersama tetangga dan sanak saudara.
Silaturahim
itu juga diselenggarakan di perkantoran, biasanya pada minggu pertama masuk
kerja, diikuti semua karyawan lintas agama.
Mengingat
animo pulang mudik tetap tinggi, syukurlah pemerintah selalu berusaha
meningkatkan kenyamanan dan keamanan acara mudik berupa perbaikan infrastruktur
sehingga budaya Lebaran semakin terasa ramah dan menggembirakan. Orang bilang,
kalau tidak mudik, Lebarannya serasa hanya separuh. []
MEDIA
INDONESIA, 02 Juli 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Fakultas Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar