Beragama secara
Substantif
Judul
: Jangan Membonsai Ajaran Islam
Penulis
: Fariz Alniezar
Penerbit
: Quanta PT Elex Media Komputindo
Tebal
: x + 156 halaman
Cetakan
: I, Maret 2015
Peresensi
: Fathoni Ahmad, Pengajar di STAINU Jakarta.
Agama merupakan jalan
hidup (the way of life) setiap manusia yang menginginkan koneksi dengan Tuhan.
Koneksi di sini bukan konotasi pragmatis, melainkan sadar bahwa Tuhan dengan
segala “Maha”-Nya turun melalui ayat-ayat Qauliyah maupun Kauniyah-Nya. Di
sinilah manusia harus memahami bahwa ayat-ayat Tuhan diperuntukan bagi kebaikan
segenap manusia di jagat raya, bukan semata-mata untuk kebaikan Tuhan sendiri.
Paradigma agama untuk
kebaikan manusia inilah yang sering disalahartikan manusia dari berbagai
golongan sehingga membuat diri dan kelompoknya merasa berhak mewakili Tuhan.
Akhirnya mereka memahami agama hanya sebagai simbol, bahkan untuk melegitimasi
setiap gerakannya yang tak jarang merugikan manusia secara materi maupun
imateri melalui perilaku-perilaku anarkis.
Mereka terjebak
dengan pemahaman simbolik yang berdampak pada pengerdilan ajaran agama yang
mulia dan adiluhung. Buku gubahan Fariz Alniezar, anak muda NU berjudul Jangan
Membonsai Ajaran Islam ini merupakan potret gamblang yang memberikan
argumentasi lugas terkait pemahaman agama yang kontraproduktif di atas.
Penulis buku ini
berupaya memberikan pemahaman agama dari sisi lain yang ditulis secara apik
dengan tidak lari dari kompleksitas kehidupan beragama yang selama berjalan,
baik di lingkungan sosial, budaya, politik, dan lain-lain. Di titik ini, buku
setebal 156 yang terdiri dari 35 artikel renyah namun substansial ini menemukan
public interest-nya. Artinya, setiap pembaca langsung mencapai rasa karena
kemungkinan besar terjadi di dalam pikiran dan laku setiap harinya. Atau
minimal melihat dan menyaksikan kejadian nyata yang diulas secara lugas dalam
buku tersebut.
Penulis buku ini juga
jernih dalam membaca kontekstualitas dengan tetap berangkat dari dinamisasi
tradisi, budaya, dan pemahaman agama yang berkembang di tengah masyarakat.
Substansi dalam buku ini banyak memotret sekaligus mengkritisi laku yang
berkembang dari umat beragama dengan menawarkan solusi yang dibalut dengan
argumen kuat.
Dalam salah satu
artikelnya berjudul ‘Berislam tanpa Menjadi Teroris’ (halaman 137), penulis
buku mengawali coretan panjangnya dengan menukil Bernard Lewis yang berbunyi:
Most Muslims are not fundamentalist, and most fundamentalist are not terrorist,
but most present-day terrorist are muslims and proudly identify themselves as
such. Dari kutipan Berbard Lewis tersebut, penulis buku ingin menunjukkan bahwa
berislam tidak harus menjadi teroris. Bahkan sangat tidak manusiawi membawa
panji-panji Islam sebagai legitimasi menyakiti dan membunuh orang lain.
Dari Bernard Lewis
itu juga sesungguhnya menjadi pukulan telak bagi umat muslim karena
kenyataannya tindakan teroris banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku
dirinya beragama Islam, namun tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
dalam berislam yang merupakan bagian integral dalam beragama. Narasi besar yang
tersirat dalam kutipan tersebut adalah fundamentalisme sebagai akar dari
tindakan terorisme, tetapi fundamentalis sendiri belum tentu teroris. Artinya,
akar dari segala akar terorisme adalah paham fundamentalisme yang menumbuhkan
radikalisme sehingga kristalisasinya adalah terorisme.
Di titik inilah
penulis buku menemukan konteksnya dalam menggubah argumentasi sehingga pembaca
dapat langsung memahami kondisi yang sedang berkembang dan terjadi di tengah
masyarakat. Tetapi betapa sangat memilukannya karena agama Islam sendiri
terstigma teroris sehingga gerakan kultural yang dilakukan oleh sebagian besar
warga Nahdlatul Ulama (NU) patut didukung oleh seluruh masyarakat dalam
menangkal akar-akar tindakan terorisme.
Penulis buku juga
dengan apik menjelaskan istilah jihad secara filosofis yang selama ini memang
banyak disalahpahami oleh sebagian kelompok agama. Penulis buku seperti yang
telah ditulis dalam artikelnya (halaman 146) mengajak kepada masyarakat untuk
merumuskan kembali makna jihad yang lebih tajam dan aktual untuk konteks masa
dan juga konteks masyarakat plural di Indonesia.
Jika ditelaah lebih
jauh, tulisnya, kata jihad merupakan satu rumpun (derivasi) dari kata jahada
yang berarti berusaha (fisik). Dekat juga artinya dengan kata ijtihad, segala
upaya yang lebih mengandalkan kerja otak dan intelegensia serta mujahadah,
yakni usaha yang lebih menekankan pada dimansi intuitif (bathiniyah). Artinya,
di titik ini bisa ditarik benang merah bahwa ideal seorang muslim (bahkan
mansuai secara umum) yaitu orang yang mendayagunakan keseluruhan
dimensi-dimensi spiritual tersebut.
Pendayagunaan
dimensi-dimensi tersebut secara anakronis (separuh-separuh, setengah-setengah,
sepenggal-sepenggal), berdampak pada pemahaman Islam yang juga
setengah-setengah. Perilaku ini tentu akan berdampak pada tereduksinya
kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan keyakinan sehingga seorang tersebut
menjelma menjadi manusia yang anti-budaya, anti-tradisi bahkan sampai pada
titik anti-perbedaan. Dalam hal ini, muncul diktum Birds born in a cage think
flying is an illness, burung yang lahir di sangkar akan berpikir bahwa terbang
adalah sebuah kejahatan. Untuk itulah keterbukaan akses pemikiran dalam
beragama tidak hanya teks, tetapi juga konteks yang melingkupi sehingga
beragama tidak melulu simbol namun bagaimana melihat substansi nilai.
Dalam semua
artikelnya, penulis buku juga berusaha ingin menyampaikan revitaliasi
spiritualitas dengan tetap berpegang pada tradisi yang berkembang di
masyarakat. Antara lain memaknai tradisi mudik yang dikorelasikan dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian nilai kesabaran dalam berpuasa
secara substantif di mana selama ini ritus-ritus tersebut hanya dipahami secara
retoris bahkan munafik, dan masih banyak lagi tulisan-tulisan ‘kriuk’ lainnya
yang dapat memberi pemahaman kepada pembaca terkait ajaran Islam yang
substantif dan inspiratif, bukan aspiratif yang hanya menggembar-gemborkan
Islam secara simbolik untuk kepentingan diri dan kelompoknya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar