Kamis, 14 Juli 2016

Buya Syafii: Calon Hakim Agung



Calon Hakim Agung
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Saya yang bukan sarjana hukum untuk ketiga kalinya diminta KY (Komisi Yudisial) mewancarai calon-calon Hakim Agung dan Hakim Tipikor untu memenuhi permintaan dari M.A. (Mahkamah Agung). Kali ini saya diberi topik yang bertalian dengan masalah kebangsaan dan penguatan karakter kebangsaan.

Berikut ini adalah pengalaman wawancara saya terhadap delapan calon hakim itu yang berlangsung pada 20-21 Juni 2016 di ruang sidang KY. Semula hanya direncanakan satu hari untuk empat calon, tetapi karena DR. K.H. Ma’ruf Amin, Ketua MUI, berhalangan datang, maka saya yang diminta  menggantikannya mengenai masalah yang sama. Jumlah calon
seluruhnya ada 19 yang memakan waktu selama lima hari.

Dalam Resonansi ini nama-nama calon tidak disertakan, tetapi sebagian besar berasal dari hakim karier yang telah cukup lama malang melintang di dunia peradilan di berbagai daerah dan ada sedikit dari perguruan tinggi yang belum pernah berprofesi sebagai hakim, termasuk seorang guru besar yang pakar dalam HKI (Hak Kekayaan Intelektual).  Wawancara ini
adalah proses tahap keempat setelah lolos dalam hal administrasi, rekam jejak, dan penulisan makalah pribadi.

Masing-masing calon diberi waktu paling lama 90 menit untuk menjawab pertanyaan para panelis yang berjumlah sembilan: tujuh dari komisioner KY dan dua sebagai pewawancara undangan. Setiap penanya dialokasikan waktu paling lama 10 menit. Pada hari pertama dan kedua selain saya sebagai pewawancara undangan, untuk hukum pidana oleh DR. Parman Soeparman, mantan Ketua Muda M.A. dan DR. Harifin A. Tumpa, mantan Ketua M.A. untuk hukum perdata.

Untuk hari Rabu, Kamis, dan Jum’at, para penalis undangan adalah Prof. DR. Franz Magnis-Suseno (Kebangsaan),

Widayatmo Sastro, S.H., M.Sc. (TUN),  Iskandar Kamil, S.H. (Pidana Militer), Prof. DR. Nasaruddin Umar (Kebangsaan), DR. Ahmad Kamil S.H., M.Hum (Agama),  Prof. DR. Azyumardi Azra (Kebangsaan), dan DR. Djoko Sarwoko, S.H., M.H. (Tipikor).

Karena tugas saya bukan yang berkaitan dengan masalah hukum, pertanyaan yang saya ajukan lebih bersifat umum, tetapi berpusat pada masalah-masalah proses pembentukan keindonesiaan menjadi bangsa dan negara sebagai pewaris Hindia Timur Belanda. Termasuk dalam lingkup ini adalah pergerakan nasional sejak permulaan abad ke-20, kegiatan P.I.
(Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda dan mitranya gerakan pemuda dalam negeri yang berpuncak pada Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Juga ditanyakan tentang tujuan kemerdekaan berupa tegaknya keadilan bagi semua, hakekat bhinneka tunggal ika sebagai fakta sebuah bangsa yang majemuk. Masalah-masalah penting ini diharapkan diketahui secara lebih dalam oleh semua calon hakim dalam kariernya sebagai penjaga gawang tegaknya keadilan. Apalagi akhir-akhir ini, M.A. mendapat sorotan tajam dari publik gara-gara pejabatnya melakukan perbuatan yang sangat tercela.

Juga ditanyakan tentang pilar-pilar penguat dan faktor-faktor pelemah dalam proses pembentukan kebangsaan Indonesia, di dalamnya peran bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu itu sebagai pilar pemersatu yang mutlak. Bangsa ini berutang kepada etnis Melayu Riau yang telah menyumbangkan bahasa yang semula digunakan oleh kelompok kecil di sana kepada kita semua. Faktor pemersatu lain seperti persamaan nasib, peran Islam yang kemudian dianut oleh mayoritas penduduk juga tidak kurang pentingnya. Gejala nasionalisme lokal dengan menonjolkan putera daerah untuk jadi pejabat utama yang dapat melemahkan persatuan nasional perlu  diantisipasi.

Sebagian calon dapat menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tetapi karena terbatasnya waktu, untuk pendalaman lebih lanjut tidak memungkinkan. Sebagian yang lain, mungkin karena kurang membaca masalah-masalah di luar kepentingan profesi mereka, tampak gagap dalam memberi penjelasan. Tentu saja harapan kita semua agar para hakim ini membudayakan kebiasaan membaca, termasuk sumber yang tidak langsung menyangkut masalah hukum agar wawasan keindonesiaannya semakin tajam dan semuanya ini pasti besar manfaatnya bagi mendukung karier mereka sebagai penegak keadilan yang dirasakan rakyat masih belum terpenuhi. []

REPUBLIKA, 12 Juli 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar