Tito Melawan Terorisme
Oleh: Azyumardi Azra
Seperti sudah diduga, 10 fraksi di Komisi III DPR secara aklamasi,
Kamis (23/6), menyetujui pencalonan Komisaris Jenderal Muhammad Tito Karnavian
sebagai kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Publik menaruh banyak
harapan kepada Tito. Ia memiliki pribadi dan karier istimewa yang membuatnya
tampil menjanjikan untuk melanjutkan reformasi Polri menjadi institusi penegak
hukum yang profesional, kredibel, akuntabel, demokratis, berkeadilan, dan
menghormati hak asasi manusia.
Dari sudut pengalaman kepolisian, menjadi kepala Polri merupakan
puncak karier Tito yang melejit seperti meteor; menjadikannya sebagai Kapolri
termuda (51 tahun). Meski masih muda, kariernya relatif lengkap; sebagai kepala
dua kepolisian daerah strategis (Papua dan DKI Jakarta); kepala satuan khusus
Polri (Densus 88) dan lembaga untuk memerangi terorisme (BNPT).
Tito juga memiliki karier keilmuan-kesarjanaan (scholarly) cukup
meyakinkan. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian (Akpol) 1987 sehingga memperoleh
Adhi Makayasa, Tito menyandang gelar S-1 dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK); BA dari Universitas Massey, Selandia Baru; dan MA dari Universitas of
Exeter, Inggris, dalam bidang Ilmu Kepolisian. Puncak karier akademik ia capai
dengan gelar PhD (2013) dari Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, dalam
Kajian Internasional Strategis.
Dengan karier akademik yang juga cemerlang, tidak aneh kalau Tito
pernah mendapat penghargaan Bintang Cendekiawan dari PTIK. Sebagai sarjana
(scholar) cendekiawan, Tito menjadi pembicara reguler banyak konferensi
internasional tentang keamanan dan terorisme. Pernah tampil bersama Tito
sebagai narasumber pada beberapa konferensi internasional, penulis kolom ini
beruntung menyimak pemikirannya tentang bagaimana sepatutnya meresponi
radikalisme dan terorisme.
Dengan latar belakang pengalaman dan keilmuan relatif lengkap, tak
heran beberapa anggota Komisi III DPR mempertanyakan langkah yang telah dan
akan dilakukan Polri dalam menangani radikalisme dan terorisme. Anggota DPR ada
yang mempersoalkan pendekatan dan cara Densus 88 yang dinilai melanggar HAM
dalam menghadapi kelompok teroris. Karena itu, mereka mengusulkan pembentukan
Dewan Pengawas Densus 88 guna mencegah terjadi kebrutalan polisi (police
brutality).
Meresponi persoalan ini, Tito Karnavian memprioritaskan penanganan
intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Caranya, dengan peningkatan deteksi
dini perkecambahan dan aksi individu kelompok berideologi dan berpraksis
seperti itu. Tito menekankan pentingnya membangun daya cegah dan daya tangkal
warga terhadap orang dan kelompok radikal melalui kerja sama dengan para
pemangku kepentingan.
Dalam forum uji kelayakan dan kepatutan, Tito menyatakan bakal
mengintensifkan kegiatan dialogis (dengan organisasi dan lembaga masyarakat) di
kantong-kantong kelompok intoleran dan radikal. Dengan pendekatan dan cara itu,
Tito menolak wacana pembentukan Dewan Pengawas Densus 88. Sayang, alasan yang
ia kemukakan tidak substantif, tetapi lebih teknis menyangkut keterbatasan anggaran
negara.
Mencermati penjelasan Tito, terlihat konsisten dengan kerangka
kajian keilmuan yang ia dalami. Ini terlihat dalam disertasi PhD-nya di
Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, yang sudah diterbitkan, Explaining
Islamist Insurgencies: The Case of al-Jamaah al-Islamiyyah and the
Radicalisation of the Poso Conflict, 2000-2007 (London: Imperial College:
2015). Selain membahas komprehensif akar dan faktor kemunculan kelompok radikal
dan teroris, Tito juga memberi lima implikasi kebijakan dari kajiannya dalam
bentuk program.
Ada lima program yang ia tawarkan sebagai kontra-radikalisasi
untuk melemahkan pertumbuhan kelompok radikal dan teroris. Pertama, melemahkan
naratif ideologis untuk membuat paham dan ideologi radikal tak menarik dan
tidak populer. Tito menyarankan dua cara simultan: melakukan kampanye
pendidikan publik yang melibatkan ulama dan membangun naratif baru untuk
meng-counter dan menetralisasi konsep sentral dalam ideologi radikal.
Program kedua adalah melemahkan para perekrut (recruiters) dengan
memetakan dan mengidentifikasi mereka sehingga diketahui siapa yang berpengaruh
dan siapa yang tidak. Para perekrut ini juga harus dilemahkan melalui penegakan
hukum.
Program ketiga adalah melumpuhkan mereka yang terekrut (recruits)
melalui pemetaan wilayah dan kelompok terpapar dan terpengaruh ideologi
radikal. Selanjutnya perlu dilakukan kampanye pelibatan komunitas untuk
memastikan mereka memahami bahaya pemikiran dan aksi radikal agar tidak
terkontaminasi untuk kemudian berperan aktif meng-counter jaringan radikal.
Program keempat adalah melumpuhkan metode radikalisasi. Ini
memerlukan kombinasi riset akademik dan analisis intelijen. Program kelima,
pengembangan konteks berbeda antara satu kasus paham dan gerakan radikal dengan
yang lain sehingga dapat dilakukan pencegahan penyebaran ideologi radikal yang
tidak sama.
Indonesia dipandang banyak kalangan internasional sebagai termasuk
paling berhasil memerangi radikalisme dan terorisme. Dengan pengalaman dan
pengetahuannya, Tito dapat membuat Indonesia lebih aman dan damai; kian bebas
dari intoleransi, radikalisme, dan terorisme. []
KOMPAS, 28 Juni 2016
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan/ Partnership (untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
di Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar