Menziarahi Sufisme di
Eropa
Judul
: Sufi-Sufi Diaspora: Fenomena Sufisme di Negara-Negara Barat
Penulis
: Jamal Malik & John Hinnels (ed)
Penerbit
: Mizan, 2015
ISBN
: 978-979-433-879-7
Peresensi
: Munawir Aziz, Peneliti Islam Nusantara, aktif di Gerakan Islam Cinta
(islamcinta.co)
Di tengah
perkembangan agama Islam ke negeri-negeri Barat, khususnya di kawasan Amerika
dan Eropa, muncul sebuah dinamika tentang tasawuf. Migrasi keluarga muslim dari
beberapa negara Asia dan Turki, menjadi bagian dari terbentuknya diaspora
muslim yang kemudian menunjukkan identitas berupa aliran tasawuf. Perkembangan
ini, juga menarik minat dari warga negara di kawasan Eropa dan Amerika, tentang
makna sufisme sebagai gerakan alternatif yang mengusung toleransi, cinta kasih
dan keindahan.
Buku Sufi-Sufi
Diaspora: Fenomena Sufisme di Negara-Negara Barat yang diedit oleh Jamal Malik
& John Hinnels menjadi karya menarik untuk menjelajahi perkembangan sufisme
di kawasan Eropa dan Amerika. Jika, selama ini negara-negara Eropa dan Amerika
dianggap sebagai negeri sekuler, ternyata sufisme memiliki daya tarik yang
mempesona di negara-negara tersebut.
Buku ini, menunjukkan
bahwa sufisme pada umumnya, dan sufisme di negara-negara Barat pada khususnya,
menyediakan beragam artikulasi budaya yang saling berinteraksi dalam ranah
publik yang makin beragam, di tengah masyarakat post-modern dan post-sekular.
Dalam konteks ini, sufisme memiliki model artikulasi yang beragam dan bersifat
altenatif, serta pembentukan visinya tentang Islam yang kaya dalam khazanah
spiritualitas dan budaya, menjadikan sufisme menarik perhatian orang-orang
Barat.
Gelombang sufisme
Dalam catatan Gisela
Webb, sufisme masuk di dunia Barat dalam tiga tahapan: pertama, dimulai pada
1920-an yang didasarkan pada pengetahuan oriental. Gelombang ini, membawa kaum
sufi ke Amerika Serikat dalam rangka membawa ajaran mereka ke belahan dunia
yang dapat diduga hampir tidak ada spiritualitas apapun. Gelombang kedua,
berlangsung sepanjang 1960-an dan 1970-an, dan ditandai dengan
kebangkitan-kebangkitan warisan muslim yang hilang dan pencarian spiritualitas
di kalangan orang Amerika. Sedangkan, gelombang ketiga, ditandai dengan
kehadiran Bawa Muhaiyadden Fellowship yang dimulai pada 1970an di Philadelphia,
yang memfokuskan diri pada spiritualitas universal (hal. 36).
Sufisme tidaklah
tunggal (monolitik) sebagaimana tidak tunggalnya hukum Islam. 'ortodoksi Islam'
atau fundamentalisme Islam. Sebaliknya, menurut Jamal Malik, sufisme sangatlah
pluralistik, kompleks, berbeda-beda, bahkan terkadang bertentangan. Sebab, ada
perbedaan kepribadian di kalangan guru sufi dalam mengajarkan sufisme, sehingga
ide-ide sufisme berubah dari orang ke orang, dari kelompok ke kelompok,
bergantung pada konteks dan fungsinya (hal. 17). Dengan demikian, lingkungan
dan konteks sosial politik sangat mempengaruhi perkembangan serta identitas
kelompok sufi di negeri-negeri Barat.
Menurut Jamal Malik,
persoalan yang menarik dari fenomena perkembangan sufisme di Barat adalah
perdebatan tentang identitas. Menurutnya, hal penting yang terkait dengan isu
kontruksi dan rekonstruksi sejarah dan tradisi dalah persoalan identitas
anggota-anggota gerakan dan tarekat: dari perspektif internal maupun eksternal.
Menurut analisis Jamal Malik, identitas campuran dianggap sebagai prosedur
dalam pergaulan antara referensi diri dan referensi yang-lain. "Identitas
bisa diubah dengan mengikuti konteks, dan karenanya relatif bersifat
situasional, majemuk atau kolektif. Identitas lebih bersifat terbuka ketimbang
tertutup. Dengan demikian, identitas bukan sesuatu yang terberi, melainkan
dalam proses menjadi, yang menjadi bermakna di dalam konteks" (hal. 50).
Tipe sufisme
Dalam buku, Marcia
Hermansen membagi gerakan sufi di Barat menjadi tiga tipe: gerakan hibrida,
perenial dan cangkokan. Tipe hibrida, adalah gerakan yang menunjukkan kaitan
erat dengan sumber muatan Islam, yang menempel dalam kerangka non-Islam.
Gerakan ini, menarik minat kalangan imigran, orang-orang yang terlahir di Barat
ataupun yang tersosialisasi di lingkungan baru. Tipe perenial, umumnya mewakili
kelompok yang dekat dengan ide bahwa kebenaaran merupakan dasar semua agama
(hal. 32).
Perkembangan sufisme
di negara Barat, karena terkait konteks dan persaingan antar institusi juga
mengakibatkan konflik di kalangan mereka. Konflik ini, baik dalam skala
internal maupun eksternal menjadi bagian dari dinamika persebaran sufisme di
Barat. Dalam narasi buku ini, konflik tidak perlu dianggap sebagai patologi
sosial atau penyimpangan, akan tetapi juga dipandang sebagai kontribusi dalam
stabilitas dan daya rekat masyarakat yang berkembang. Berbagai kecenderungan
konflik dan pola saling bergantungan ini, terekam dalam transformasi Tarekat
Sulaymanci yang diulas dalam riset Jonker, transformasi tarekat Nimatullahi
yang dianalisis Lewishon, serta Tarekat Haqqaniyah yang dikaji Damrel dan
Nielsen.
Tentu saja, konflik
bukan berarti perkelahian ataupun pertentangan yang berlarut-larut. Konflik
yang ada merupakan bagian dari dinamika untuk menghadirkan pandangan-pandangan
Islam yang selaras dalam diri warga Barat. Salah satu contohnya, perkembangan
sufisme di negeri Inggris. Ron Geaves mengkaji tentang bagaimana dinamika
kelompok sufisme di Inggris Raya. Dalam catatan Geaves, perkembangan sufisme di
Inggris tidak mudah, karena diwarnai dengan perdebatan dan kritik dari pengikut
neo-wahabisme. Kelompok neo-wahabi ini, sebagian besar dari anak-anak muda yang
sudah tidak terlalu terikat dengan asal-muasal negeri orang tuanya. Imigran
dari Timur Tengah, maupun Turki yang masuk ke Inggris menjadi diaspora muslim,
yang kemudian mewujudkan identitasnya dalam beberapa tradisi sufisme.
Di Inggris, perkembangan
sufisme juga mendapat pertentangan berupa kritik dari kaum neo-wahabisme. Kaum
muda yang cenderung mengikuti pandangan neo-wahabisme, seringkali mengkritik
bahwa sufisme hanya sebagai takhayul yang menyimpang yang tertanam dalam
praktik dan kepercayaan tradisi pedesaan sub-benua India itu, serta dicemari
oleh kontak Islam dengan agama Hindu (hal.278). Persoalan tentang imigran juga
menjadi bahan kritik terhadap kaum sufi, yang dianggap hanya mengagungkan
negeri asal, tanpa mau beradaptasi dengan perkembangan negeri di kawasan
Inggris.
Buku ini, memberi
sumbangan yang berharga karena menghadirkan narasi sufisme yang berbeda dengan
arus mainstream di dunia Islam. Perkembangan sufisme di negeri Barat, tidak
hanya tentang hadirnya Islam, akan tetapi lebih dari itu sebagai sebuah
transformasi identitas. Sufisme dengan demikian, menjadi simbol toleransi dan
humanisme, karena tidak dogmatis, fleksibel dan anti-kekerasan, tidak berupaya
ke arah pembentukan suatu tatanan ketuhanan yang monolitik. Sufisme dianggap
sebagai titik awal untuk adaptasi Islam, terutama dalam konteks praktik Islam
versi Eropa serta bagi perjumpaan antar agama. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar