KH Ahmad Dimyati dan
Perjuangannya Merintis Pesantren
KH Ahmad Dimyati,
lahir pada 12 Februari 1955 di Kampung Bauwan, Serang, Banten. Ayahnya,
Nurhalim bin Ilyas, berprofesi sebagai pedagang daging sapi dan kerbau. Ibunya,
Siti Mardiyah binti Nawiyah, adalah ibu rumah tangga biasa.
KH Ahmad Dimyati
adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kakak-kakaknya adalah: Atiyah (almh),
H. Damanhuri, A Sanusi (alm), Halimah, Hj Juwairiyah dan Hj Qibtiyah.
Tahun 1966, ketika
Ahmad Dimyati duduk di kelas 4 SD, ayahndanya berpulang ke rahmatullah.
Selajutnya, karena keadaan ekonomi yang kekurangan, oleh ibunya, Ahmad Dimyati
diserahkan pengasuhannya kepada salah satu kakaknya yaitu Hj Juwairiyah.
Setelah beberapa lama
tinggal bersama kakaknya, ia dibawa oleh Drs KH Ahmad Rifa’i Arief ke Pondok
Pesantren Daar El-Qolam, dan mengaji kepada Ustad Sukarta. Selama belajar di
Pesantren Daar El-Qolam, Ahmad Rifai termasuk santri yang paling berprestasi.
Sejak kelas 1 sampai 6, ia selalu menjadi juara kelas. Kemampuannya yang
palaing menonjol adalah dalam bidang nahwu dan Bahasa Arab. Oleh sebab itu, ia
menjadi santri kesayangan KH Ahmad Rifa’i Arief.
Pada tahun 1976,
Ahmad Dimyati lulus sebagai alumni ke-3 Pondok Pesantern Daar El-Qolam. KH
Ahmad Rifa’i memintanya untuk mengabdi di almamaternya. Saat masa pengabdian
itu juga, ia melanjutkan proses studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Serang, dengan beasiswa dari Pesantren.
Tahun 1980, ia lulus
dari IAIN Serang sebagai Sarjana Muda. Dua tahun kemudian, ia menikah dengan
Nyai Hj Sa’diyah, BA yang sama-sama kuliah di IAIN Serang. Nyai Hj Sa’diyah
adalah putri dari KH Elon Syuja’i pendiri Pesantren Asy-Syujaiyah, Bantar
Kemang, Bogor.
Sejak menikah itulah,
KH Ahmad Dimyati hampir setiap hari bolak-balik Serang-Bogor. Pagi hari bakda
subuh, ia mengajar di Pesantren As-Syuja’iyah Bantar Kemang. Setelah itu ia
pergi ke Serang untuk mengajar di Daar El-Qolam. Barulah pada tahun 1985, ia
mendapat restu dari gurunya untuk menetap di Bantar Kemang.
Restu dari gurunya,
sungguh-sungguh dimanfaatkan oleh KH Ahmad Dimyati. Ia pun mulai berpikir
bagaimana caranya agar Pesantren Asy-Syujai’iyah berkembang menjadi pesantren
yang lebih baik. Dalam perkembangannya, Pesantren Asy’Syujaiyah berubah nama
menjadi Pesantren Modern Daarul ‘Uluum.
Pesantren Daarul
‘Uluum memiliki jenjang pendidikan resmi dengan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris
sebagai pengantarnya, mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Jumlah
santrinya terus bertambah, hingga mencapai 800-an orang. Semua itu adalah berkat
nama besar KH Elon Syuja’i dan juga buah dari gaya manajerial Drs KH Ahmad
Dimyati.
KH Ahmad Dimyati
begitu memperhatikan para santrinya. Menurutnya, santri adalah amanat dari para
wali santri yang menitipkan anaknya ke pesantren. Tentang para santri, ia
berprinsip, “Jagalah amanat itu dengan sebaik-baiknya.”
Perkembangan
pesantren yang begitu pesat, tak sebanding dengan lahan yang ada yang hanya
berukuran beberapa ribu meter saja. KH Ahmad Dimyati berinisiatif untuk
mengembangkan Pesantren Daarul ‘Ulum di tempat lain. Ia bercita-cita bahwa
Daarul ‘Ulum harus ada dan bersinar di mana-mana.
Awalnya ia
mendapatkan tanah di Gelam, Serang. Namun, sayang keadaan di Gelam sulit air,
sehingga terpaksa ditinggalkan. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada tahun
1994, ia mendapatkan tanah di daerah Tapos. Keadaan tanah di Tapos bagus,
airnya banyak, dan suasananya sangat cocok untuk didirikan pesantren. Namun
lagi-lagi, tanah itu harus ditinggalkan karen tidak mendapatkan izin dari
pemerintah saat itu, dengan alasan tempat itu adalah daerah resapan air yang
tak boleh didirikan bangunan.
Begitu sulit mencari
lahan untuk mengembangkan pesantren. Namun, ia yakin dengan prinsip “Faidza
azzamta fatawakkal ‘alallah.” Kata-kata itu sering diucapkan oleh KH Ahmad
Dimyati dan merupakan falsafah hidup bagaimana sikap seseorang dalam menghadapi
kehidupan.
Tahun 1995,
Pemerintah Kota Bogor menunjuk KH Ahmad Dimyati sebagai pembimbing jamaah haji.
Pada saat itulah ia bermunajat kepada Allah di Multazam, meminta agar Allah SWT
memberikan jalan baginya untuk mendapatkan lahan untuk pembangunan pesantren.
Ia sangat yakin bahwa Allah akan membukakan jalan bagi hamba-Nya yang berjuang
di jalan Allah. Semingu setelah pulang dari tanah suci, ia mendapatkan tanah di
daerah Cigombong, perbatasan antara Sukabumi dan Bogor, tepatnya di Desa
Ciburuy.
Tanggal 24 Juni 1996,
tanah yang dibeli dari hasil keringat dan menjual rumah itu diresmikan menjadi
sebauh pesantren yang diberi nama Pesantren Modern Daarul ‘Uluum Lido. Nama
Lido di belakangnya sengaja dipakai bukan karena dekat dengan Danau Lido,
tetapi nama itu singkatan dari ‘Limpahan Doa’ sebagai rasa syukur atas
terkabulnya doa yang dipanjatkan ketika berada di Multazam.
Karena aturan
birokrasi untuk mengembangkan pesantren di lokasi yang baru itu, didirikanlah
Yayasan Salsabila. Nama Salsabila diambil dari salah satu mata air di surga.
Diharapkan Daarul ‘Uluum Lido dapat menajdi mata air yang menyejukkan umat
kelak.
KH Ahmad Dimyati
meninggal dunia pada tahun 1998, meninggalkan tujuh orang putra-putrinya. Kini
Pesantren Daarul ‘Uluum Lido dikelola oleh putra-putri dan menantunya dan terus
berkembang menjadi pesantren yang maju dengan jumlah santri mencapai 1900-an
orang pada tahun 2016 ini. []
(Kendi Setiawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar