Tak
Peduli Ramadhan, Bom Itu Terus Saja Menyalak
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Masih ada
catatan bulan Ramadhan 1437 Hijriah yang perlu diingat lagi. Dalam jawaban terhadap
SMS Prof.
Azyumardi Azra yang memuji artikel saya dalam Kompas, 5 Juli 2016, saya
katakan: “Jika tidak ada Alquran yang menghibur, rasanya beban menjadi umat ini
hampir tak tertanggungkan.”
Jawaban
ini dijawab lagi: “Benar Buya; kelakuan biadab mereka membuat akal dan hati
kita sulit memahami. Ada lagi orang kita yang meniru kebiadaban itu; bom bunuh
diri di Mapolresta Solo.” Sudah berjalan hampir satu setengah dasa warsa sejak
Bom Bali pada 2002 yang menggoncangkan jagat raya dan serentekan bom-bom
sesudah itu, komentar apa lagi yang patut kita sampaikan? Kita seperti tak
berdaya mencegahnya.
Itu baru
di Indonesia, di bumi Muslim yang lain, bom itu tak berhenti menyalak sampai
detik ini. Bulan Ramadhan ini digoncangkan lagi oleh ledakan bom di Istanbul,
Madinah, Jeddah, Baghdad, Bangladesh, dan entah di bumi mana lagi. Sebagian
bumi Muslim sudah tidak lagi aman dan nyaman untuk didiami. Media sosial Barat
dengan penuh semangat menyimpulkan bahwa Islam itu adalah agama teror,
tidak lebih dan tidak kurang. Padahal yang terlibat dalam tindakan teror ini
hanyalah segelintir manusia putusasa, baik terhadap penguasa Muslim, ulama, dan
pihak Barat yang mengendalikan penguasa di bumi panas yang selalu bergolak itu.
Pada saat
dunia Muslim sedang jatuh terpuruk, rupanya sangat mudah bagi sebagian kecil
umat ini kehilangan keseimbangan, akal sehat dan hati nurani tidak lagi
berfungsi. Bahwa Barat benci Islam, kita semua sudah faham, dan kebencian itu
sudah berjalan berabad-abad. Ada sentimen politik, sentimen agama, dan sentimen
sejarah yang melatari semuanya
ini.
Tetapi apakah kebencian mereka itu harus dilawan dengan cara yang biadab,
melalui bom bunuh diri, misalnya? Barat masuk ke dunia Muslim dengan gampang
karena suasana internal kita amatlah rapuh, cinta duniawi sudah berada di
puncak. Islam yang ada di otak sebagian kita bukan lagi Islam Alquran atau
Islam kenabian yang memandang umat manusia sebagai satu kesatuan yang tak
terbelah. Pesan surat al-Anbiyâ’ ayat 107: “Dan Kami tidaklah mengutusmu [Muhammad]
kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta” haruslah dibaca dalam konteks misi
universal Islam yang tak tergoyahkan sampai hari kiamat.
Maka
tindakan biadab yang menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan yang dilakukan oleh
sekelompok kecil orang yang memakai nama Arab atau nama lain tidak diragukan
lagi adalah sebagai sebuah pengkhianatan telanjang terhadap misi kenabian yang
teramat mulia itu. Bom bunuh diri itu akan membinasakan siapa saja yang
dipandang musuh oleh pimpinan penganut teologi maut ini, tidak peduli apa pun
agamanya, dan di lokasi mana harus diledakkan. Pendek kata, bagi manusia yang
sedang gelap mata, perbuatan yang paling terkutuk dan teramat keji sekalipun
menurut pandangan kita yang normal, bagi mereka dianggap biasa saja, bahkan
dinilai sebagai syahid. Alangkah sesatnya cara berfikir yang semacam ini.
Ketika
apa yang dikenal dengan Musim Semi Arab di akhir tahun 2010 dan beberapa tahun
kemudian dalam upaya mendapatkan keadilan dan demokrasi, banyak terbetik
harapan bahwa bangsa Arab akan memasuki era baru yang lebih cerah dan
menjanjikan. Tetapi semua harapan ini menjadi tenggelam, dunia Arab kembali
dilanda gelombang kekerasan dan ketidakpastian. Amerika Serikat dan Rusia turut
bermain di kawasan itu bukan untuk menciptakan perdamaian, tetapi lebih banyak
untuk saling berebut pengaruh di negara-negara yang nyaris hilang kedaulatannya
itu. Beberapa hari yang lalu, Turki pun digoncang percobaan kudeta, banyak
pula yang terbunuh dan ditangkap. Erdogan jangan sampai gelap mata, memusuhi
rakyatnya sendiri.
Belakangan
yang terparah adalah Suriah: jutaan rakyatnya harus mengungsi ke negara-negara
lain, demi melangsungkan hidup karena bumi tempat tinggal mereka telah terkoyak
oleh perang saudara yang tidak jelas ujung pangkalnya. Dalam suasana kacau ini,
muncullah seorang yang bernama Abu Bakr al-Baghdadi, mantan pejabat tidak
terlalu penting di era Saddam Hussein, yang menyatakan dirinya sebagai
khalifah bagi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Di tengah kepanikan
rakyat yang tak berdaya, ISIS oleh sebagian dianggap sebagai juru selamat.
Pendukung ISIS inilah yang kini meledakkan bom bunuh diri di mana-mana. Ibarat
api liar, ISIS telah buat onar di mana-mana, termasuk malapetaka beruntun di
bulan Ramadhan 1437 hijriah yang lalu.
Dalam
bacaan saya, kekacauan dan kekerasan yang kini sedang berlaku pada beberapa
negara Arab adalah bagian dari krisis peradaban Arab Muslim yang identitas
keislamannya sudah kabur samasekali. Alquran tentu masih dibaca oleh sebagian
rakyat yang sedang kehilangan arah itu, tetapi sebagai petunjuk kehidupan
kolektif manusia sudah lama tidak berfungsi. Apakah peradaban Arab Muslim ini
akan terus meluncur ke titik yang paling buruk atau akan bisa bernafas kembali,
saya tidak tahu. Jika pun akan bernafas, pasti memerlukan tempo minimal satu
generasi. Itu pun jika para elitenya: penguasa, intelektual, dan ulama mereka
benar-benar sadar betapa dalamnya krisis identitas yang sedang melanda mereka.
[]
REPUBLIKA,
26 Juli 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar